"Tak ada yang abadi selain perubahan,” demikian bunyi sebuah ungkapan. Kalimat itu meniscayakan peneguhan atas perubahan demi perubahan hidup. Terlebih dikaitkan situasi-kondisi berbagai bidang kehidupan saat ini
SITUASI serba berubah. Perubahan, bahkan terjadi sangat cepat. Tidak sekadar dinamis, fenomena yang kita lihat berlangsung sangat kompleks. Maka tak syak lagi, dalam kondisi demikian, sebuah keniscayaan bagi segala sesuatu agar lebih adaptif terhadap perubahan.
Menurut hemat penulis, sikap adaptif itu kunci. Sikap adaptif, dapat mendorong spirit: maju dan berkembang. Kemampuan beradaptasi, dapat membendung ketakutan yang acap kali menghadirkan sesuatu yang mencemaskan. Dengan sikap adaptif, perubahan tidak menjadi sebuah ketakutan. Sebaliknya, perubahan mampu membuat sesuatu yang kita perbuat survive dan bertambah eksis. Sikap adaptif mendorong kemajuan. Dalam upaya itu, apapun bentuk sesuatu itu (aktivitas bisnis), dengan sendirinya dapat mengendalikan perubahan. Bukan malah terkapar dalam ketidakberdayaan. Namun hasrat besar menginginkan kondisi tersebut, menuntut pula sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Dalam pada ini, kreatif dan inovasi muncul secara otomatis. Perubahan yang semula dianggap tantangan mampu ditepis dan dianggap sebagai peluang melakukan dan memberikan yang terbaik. Bukankah ini kunci adaptif terhadap kondisi perkembangan mutakhir?.
Perubahan serba cepat, dinamis, yang dihadapi saat ini, menggambarkan fenomena bisnis. Lebih khusus, berkaitan urusan finansial terutama pada layanan perbankan. Dalam konteks ini, penulis alamatkan pada perbankan syariah. Perbankan syariah merupakan sub sektor industri keuangan syariah. Institusi keuangan ini berfungsi, sebagai penyalur dana, penghimpun dana, dan memberikan pelayanan jasa perbankan berlandaskan nilai syariah.
Amanah yang diemban perbankan syariah dalam tugas dan fungsi, mengharuskan institusi ini dapat meningkatkan kapasitas sistem di tengah akselerasi bank-bank layanan digital. Di suatu kesempatan, Hery Gunardi, Direktur Utama BSI mengungkapkan, “Memang terjadi transformasi digital di sektor perbankan nasional. Hal itu terlihat dari tren munculnya bank digital di tanah air”.
Bank syariah rupanya telah menyiapkan segalanya agar mampu mengikuti perkembangan mutakhir (nasional-global). Hery meyakinkan publik. Dia menyatakan : banyak langkah-langlah yang akan dilakukan. Sederet persiapan setidaknya meliputi beberapa penting. Yaitu bagaimana kesiapan mempercepat kapasitas digitalisasi, meningkatkan stabilitas sistem mobile, menambah dan memperbaharui fitur-fitur (enhance), dan fokus pada peningkatan pengalaman pengguna atau user experience (UX) yang menitikberatkan pada bagaimana pengalaman pengguna dalam memanfaatkan produk digital.
Dengan peningkatan sederet kapasitas diharapkan layanan perbankan berbasis digital dapat diakses kapan pun (any time) dan di mana pun (any where) serta meminimalisir interaksi fisik secara langsung. Kata lainnya, nasabah tidak perlu repot-repot menghabiskan waktu ketimbang membuang sia-sia job yang mendesak diselesaikan.
Dengan demikian operasional bank dapat dilakukan secara efisien dan pelayanan kepada nasabah dapat terjaga. Di titik ini, akan menyeimbangi laju tren positif bank syariah. Keuntungannya, cita-cita bersama mengembangkan industri keuangan—di mana ia salah satu bagian dari ekonomi syariah menjadi ikhtiar kolektif yang berkelanjutan. Belum lagi, potensi pasar layanan digital perbankan bagi masyarakat yang saban hari masyarakat pengguna internet di tanah air terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomis Nasional (Susenas) Tahun 2020 bahkan menegaskan, “Sebanyak 53,73% populasi Indonesia telah mengakses internet sepanjang tahun 2020. Meningkat cukup signifikan dari tahun 2016 yang hanya tercatat sebanyak 25,37%.
Diperkuat pula, asumsi sejumlah riset yang telah dilakukan bahwa, “Masyarakat pengguna internet cenderung menggunakan telepon seluler sebagai alat mengakses layanan keuangan”.
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Jumlah populasi muslim dunia mengalami peningkatan. Generasi millennial bertumbuh. Kelompok ini cenderung punya kemampuan melek teknologi. Akses terhadap berbagai layanan bank yang sudah bergeser ke arah transaksi digital. Kondisi ini membawa angin segar bagi industri keuangan syariah baik nasional dan global. Lebih konkret lagi, dunia global cenderung memilih lambang halal untuk memenuhi aneka ragam kebutuhannya.
Pergeseran dunia global terhadap label ‘halal’ satu pertanda baik bagi upaya pengembangan ekonomi syariah, khususnya bank syariah yang menjadi bagian penting dalam mendukung ekonomi syariah di bidang industri keuangan.
Merujuk data Global Islamic Economy Index (GIEI) 2018/19, meyakinkan publik, bahwa tren peningkatan industri keuangan syariah Indonesia menempati posisi ke-8 di dunia. Posisi bank yang diyakini memiliki masa depan gemilang itu meningkat dua poin setelah di tahun sebelumnya Indonesia menempati peringkat ke-10.
Sumber data lain sebagaimana dirilis ICD Thomson Reuters tahun 2018, aset keuangan syariah Indonesia mengalami peningkatan. Masuknya Indonesia ke dalam 10 besar pemilik aset keuangan syariah terbesar, sebuah pertanda baik—yang bisa menyakinkan dunia bahwa Indonesia memiliki modal besar dalam mengembangkan ekonomi syariah—yang tengah diminati dan menjadi perhatian publik dunia.
Kenyataan tren digital bank syariah, menyimpan banyak catatan. Massif dan sulitnya mengontrol kasus-kasus tawaran menggiurkan berkedok penipuan harus menjadi perhatian industri keuangan (bank syariah). Kekuatan sistem dan adanya jaminan terhadap simpanan nasabah menjadi pekerjaan rumah yang tidak bisa dianggap remeh.
Di satu sisi, digitalisasi bank menghadirkan rasa aman dan nyaman kemudahan bertransaski. Di sisi lain, terbuka lebarnya oknum-oknum tidak bertanggungjawab turut serta dalam desah nafas yang sama di dunia digital, adalah ancaman, dan ini harus terus diwaspadai. Untuk itu, sosialisasi, edukasi dan literasi di tengah perkembangan dunia digital dan turut sertanya bank-bank menerapkan sistem digitalisasi di tanah air harus mampu membersamai nasabah dalam mempercayakan urusan keuangannya dengan bank syariah. Tidak pula tertutup kemungkinan, bahwa masih banyak masyarakat yang berada di daerah-daerah tertentu, masih gagap beradaptasi melakukan transaski keuangan sesuai tren yang sedang berkembang.
BACA JUGA : Mengapa perlu memanfaatkan akun medsos yang kita punyah
Ketika itu yang terjadi, maka di sinilah peran perbankan. Terutama bank berbasis syariah, untuk syogyannya konsisten melakukan sosialiasi dan edukasi agar tren digitalisasi perbankan sejalan dengan problem yang dihadapi masyarakat, terutama mengikuti tren digitaliasi bank syariah. Jika tidak, fenomena yang dinamis dan penuh gejolak dalam deras IPTEK hanya akan menjadi batu kerikil yang berarti bagi langkah bank syariah—yang memang dianggap berbeda dengan lembaga keuangan lainnya. Lagi-lagi, sosialisasi dan edukasi harus massif dilakukan. Apa pentingnya sosialisasi, edukasi, tersebut? Ada baiknya mengutip pepatah lama berikut, “Tak kenal maka tak sayang,”. Untaian kalimat ini menjadi kian relevan di tengah keadaan yang terus berkembang, berubah.
Upaya itu semua, dalam pandangan aliran institusionisme—dipelopori Henri Bergson (1859-1941) adalah ikhtiar yang dipandang dapat memahami kebenaran yang utuh dan tetap. Yang dimaksudkan, adalah sebuah sikap evolutif masyarakat mengenai pemahaman sekaligus bagaimana ia memandang bank syariah, dari beragam perspektif. Bukan dalih teologis semata, namun lebih pada preferensi manfaat. Terutama tujuan bank syariah memberikan kontribusi bagi perekonomian bangsa. Juga mengembangkan ekosistem islami di tanah air.
*) Penulis : Mashur, Habibul Umam Taqiuddin. Keduanya adalah Dosen Fakultas Ekonomi UNU NTB
إرسال تعليق