Prisma adalah monumen terindah yang menandai kegairahan intelektual di Indonesia pada masa-masa awal Orba dulu
By : KH Ulil Absar Abdalla
(Cendekiawan Muslim Indonesia)
SUATU sore di pertengahan tahun 80an, saat saya masih duduk di kelas 3 Aliyah di madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati (asuhan almarhum Kiai Sahal Mahfudz), saya mengayuh sepeda onthel tua merek Phillips milik ayah saya. Sore itu saya hendak mengunjungi desa lain yang berjarak kira-kira tujuh kilo meter dari desa saya, Cebolek. Desa yang saya tuju itu bernama Semerak yang berdekatan dengan desa lain yang lebih terkenal: Tayu.
Sore itu, saya tidak sedang hendak mengunjungi pacar atau calon mertua. Tetapi yang hendak saya tuju adalah Pak Masykur Maskub, guru yang saya kagumi. Ia sosok yang banyak membentuk perjalanan pemikiran saya sejak masa yang amat dini. Di madrasah tempat saya belajar itu, ia mengajar ilmu kewarga-negaraan atau civic. Pengetahuaannya tentang sejarah Indonesia, terutama detik-detik menjelang kemerdekaan dan tahun-tahun setelahnya, amat mengesankan saya. Ia mengutip banyak sumber, termasuk majalah, jurnal, dan buku-buku yang tidak saya jumpai di perpustakaan sekolah. Dari mana Pak Masykur memperoleh informasi yang kaya ini, gumam saya dalam hati. Waktu itu saya berumur kira-kira tujuh belas tahun.
Sore itu saya “karoyo-royo” ngonthel ke desa Semerak untuk satu tujuan saja: ingin melihat koleksi buku-buku yang dimiliki oleh Pak Masykur (begitu saya memanggilnya ketika itu). Kira-kira jam 4 sore saya sampai di rumahnya. Saya disambut dengan ramah, dipersilahkan duduk di kursi tua yang dudukannya terbuat dari rotan, disuguhi kopi kental, dan jajanan kampung ala kadarnya. Tetapi saya tidak tertarik dengan suguhan tersebut. Saya mengedarkan mata untuk mencari rak buku di ruang tamu yang amat sederhana itu. Benar saja. Di pojok ruangan, saya melihat almari yang sudah agak lusuh. Di sana berjejer buku-buku terbitan LP3ES dan penerbit-penerbit lain.
Di antara deretan buku-buku itu, ada sebuah jurnal yang baru saya kenal selama hidup saya. Jurnal Prisma. Mata saya tak bisa lepas dari jurnal ini. Ada tumpukan edisi lama jurnal Prisma di rak itu. Saya lupa pada kopi dan kudapan yang disuguhkan oleh Mbak Nur (begitu saya memanggil isteri Pak Masykur). Saya tenggelam dalam jurnal itu, dan mencoba “ngobrol” dengan guru saya itu mengenai jurnal Prisma. Rupanya bacaan-bacaan ini yang membuat pengajaran Pak Masykur menjadi amat menarik di kelas, kata saya dalam hati.
Tak terasa waktu Maghrib tiba. Saya minta pamit sebentar untuk salat di sebuah langgar di depan rumah Pak Masykur. Usai salat, saya tenggelam lagi dalam jurnal itu. Kira-kira jam 8 malam, saya pamit sambil “merengek-rengek” untuk meminjam beberapa edisi Prisma. Pak Masykur, guru saya yang amat-amat tawadlu’ itu, mengizinkan. Betapa bahagianya saya. Saya ingin bersorak, tetapi saya tahan. Saya membawa beberapa edisi Prisma plus satu buku terbitan LP3ES. Buku itu berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan” karya Syafi’i Ma’arif.
Saya mengayuh sepeda, menembus gelap malam, melintasi sawah dan ladang tebu, dengan agak menggesa. Saya sudah tak sabar ingin segera sampai rumah dan melahap bahan-bahan bacaan yang saya pinjam dari guru saya itu. Sesampai di rumah, saya langsung dengan tak sabar membuka jurnal Prisma. Ada banyak artikel di sana, salah satunya yang menarik minat saya adalah tulisan Ignas Kleden (saya sudah lupa judulnya) dan Dewi Fortuna Anwar berjudul “Kaabah dan Garuda”. Artikel Anwar itu, kalah tak salah ingat, mengulas upaya Orde Baru untuk menjinakkan kekuatan politik Islam melalui “partai buatan pemerintah” bernama PPP.
Jujur saja, saya tak mampu memahami seluruh tulisan-tulisan dalam jurnal itu. Otak santri saya yang baru sebatas dipakai belajar Taqrib dan Fathul Mu’in belum mampu mencerna sepenuhnya isi Prisma, apalagi tulisan Ignas Kleden yang amat rumit dan bertaburan istilah-istilah asing yang baru pertama kali saya gauli.
Sejak dipinjami Prisma oleh Pak Masykur sore itu, jurnal tersebut menjadi bacaan favorit saya hingga kelak saat saya kuliah di Jakarta tahun 80an akhir dan awal 90an. Saat masih mahasiswa dulu, saya biasa berburu jurnal Prisma edisi lama yang banyak dijual di pasar loak di kawasan Senen. Per majalah biasanya dijual sekitar Rp. 1500. Saya memborong banyak edisi lama Prisma dari tahun-tahun 70an dan 80an. Berburu jurnal ini, bagi saya, merupakan “pengalaman intelektual dan mistik” sekaligus. Tak bisa digambarkan kegembiraan saya saat berjumpa dengan edisi Prisma yang menyajikan tema yang penting. Saya bersorak bukan main, misalnya, saat menemukan edisi Prisma dari akhir tahun 70an yang memuat laporan tentang “Limit to Growth” hasil sebuah komisi yang disebut Club of Rome. Dalam edisi itu ada tulisan cendekiawan Indonesia paling karismatik zaman itu: Soedjatmoko.
Sore ini, menjelang bedug Asar, ada seseorang yang mengetuk pagar; rupanya seorang kurir yang hendak mengantar paket. Saya buka, dan isinya jurnal Prisma edisi terakhir. Saya disergap kegembiraan yang meluap. Sebab di sana ada tulisan saya: tentang ulama dan perubahan di dunia saat ini.
Wibawa Prisma saat ini mungkin sudah tidak “seangker” tahun-tahun 80an dulu. Saat ini, ribuan jurnal bermunculan seperti banjir bandang di hampir semua perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri atau swasta. Generasi sarjana baru mungkin sudah banyak yang tak mengenal lagi Prisma. Mereka juga mungkin tidak tertarik lagi menulis di jurnal ini karena gengsinya masih kalah jauh dengan jurnal-jurnal yang terindeks dalam Scopus.
Tapi bagi saya dan mungkin bagi ribuan anak-anak muda yang tumbuh pada tahun-tahun 80an dan 90an, Prisma adalah monumen terindah yang menandai kegairahan intelektual di Indonesia pada masa-masa awal Orba dulu
Dan saya bangga bisa menulis di jurnal ini. Ketika menerima Prisma sore ini, ingatan saya langsung terbang, menelusuri lorong waktu, kembali ke desa Semerak di Pati, Jawa Tengah, sana. Saya ingat kembali rumah Pak Masykur Maskub yang sederhana, dan rak buku yang sudah lusuh yang memuat koleksi buku-buku yang amat berharga. Rak buku yang lusuh itu telah menjadi gerbang bagi saya untuk melakukan “petualangan pemikiran” yang amat jauh.
Saya behutang budi pada Pak Mayskur Maskub yang telah meminjami saya jurnal Prisma sore itu. Ia telah meninggal kira-kira sembilan belas tahun yang lalu. Andai ia masih hidup saat ini, tentu hal pertama yang akan saya lakukan sore ini adalah menelepon Pak Masykur dengan tak sabar:
“Pak Masykur, artikel saya dimuat di Prismaaaaaaaa…!”
إرسال تعليق