Buku dan Indahnya Perbedaan



Ilustrasi, Sempatbaca.com



Membincang sekaligus mengkaji agama dan cara beragama merupakan sesuatu yang sangat menarik dan tak tuntas-tuntas untuk didiskusikan


MEMBINCANG sekaligus mengkaji agama dan cara beragama merupakan sesuatu yang sangat menarik dan punya magnet tersendiri. Indonesia dengan segala keragamannya menjadi salah satu negara di dunia yang telah lama berdiri tegak di atas keragaman itu sendiri," tulis Prof Adi Fadli, Purek UINMA pd buku berjudul, "Demokratisasi Beragama".


Tapi bagi saya, menyambung kata-kata Prof di atas, membincang agama dan cara beragama di negeri ini, bukan sekadar menarik, tetapi sesuatu yang saya pikir 'seksi'.


"DEMOKRATISASI BERAGAMA" Iya. Demikian judul buku bersampul dominan warna merah itu. Diksi yang tepat disematkan sang penulis pada karyanya.


Judul buku cukup seksi dan agak berat itu ditulis ust Syamsul Hadi, salah satu penyuluh agama kemenag Lobar asal Kecamatan Batulayar.


Hasil pemikiran pak KUA, demikian dia kerap dipanggil, bagi saya tidak hanya seksi tapi juga sensitif. Terlebih lagi, jika demokrasi dihubung-hubungkan agama.


BACA JUGA : kata adalah senjata


Iya, kalau bagi kalangan nahdlyin, atau setidak-tidaknya yg punya pemikiran terbuka, buku ini biasa-biasa saja. Sebab ini isu yang memang telah bergulir lama. Tpi jika pada kelompok-kelompok tertentu, boleh jadi buku yg ditulis ketua Alumni Santri Nurul Hakim di gumi patut patuh patju itu, judulnya akan dihujani kritik.


Hah ! sudahlah. Kritik mengkritik itu kan biasa. Beda-beda sedikit saya pikir tak perlu terlalu dipersoalkan bukan ?


Bagi saya buku itu cukup bagus. Isinya mendedahkan bahwa ternyata, perbedaan itu bukan alasan bercerai berai. Perbedaan itu alat pemersatu. Justru dengan perbedaan hidup ini indah.


Si Penulis yang murah senyum itu memotret kelurahan Klojen, Kec Klojen, kota Malang. Ia berpandangan sekaligus menemukan hal baru, unik dan menarik di Klojen tentang potret demokratisasi beragama. 


Buku karya eks ketua MWC kecamatan Batulayar, layak kita baca, di tengah isu perbedaan, sikap intoleran antar sesama pemeluk agama yang belakangan menguras emosi publik. 

**

Malam kian larut. Hujan saban hari turun deras. Ini kondisi yang kadang bikin kita malas keluar rumah dan nongkrong di warung kopi ketawa ketiwi.


Entahlah, tapi yang muda mudi dan sedang dilanda asmara serta dilanda rindu 'berat', kalau untuk si bertemu si doi, barangkali tak akan berpikir dua kali. Jika diajak menukar rindu dan rayuan di kedai-kedai kopi oleh sang kekasih.  Tanpa berpikir lama, dia pasti berkata : EVERYTHING I DO.


Yang malas keluar rumah selepas pulang kantor atau kerja dan tetap stay di rumah, enaknya ya: ngopi, menghisap tembakau, baca buku dan menemani anak dan istri.


Betapapun buku yg ditulis pria kelahiran Sandik itu harus diapresiasi. Ini buku bagus. Menambah khazanah pemikiran kita. 


Buku ini yang ada di hadapan saya dan langsung saya lahap serta review dalam artikel singkat ini, adalah hadiah dari sang penulis. 

Ceritanya begini :

 Di suatu kesempatan, saya sempat mampir dan silaturrahim, ke rumah penulis. Begitu saya hendak pamit pulang, dia berujar, "Ini buku saya, ya, tentu masih banyak kurangnya, buat side". Dia ngakak. Saya balik membalas.


Kembali tentang buku itu. Karya ini bagi saya, bisa menjadi setrum bagi para santri dan alumnus Ponpes Nurul hakim Kediri untuk bisa berkarya.


Jauh sebelum itu, Abun Shafwan telah memberi contoh. Semasa hidup, TGH Safwan, juga adalah tokoh yang tak hanya seorang orator yang menyejukkan, tetapi juga sosok yang bila kita membaca pemikiran-pemikirannya melalui karya yang pernah ditorehkan, bak seberkas cahaya yg membuat terang sekitar.


Pendek kata, membaca buku itu, meluaskan cakrawala pemikiran kita prihal indahnya perbedaan (mm/content manager).


Post a Comment

أحدث أقدم