Menangkap perubahan di sekitar kita


ILUSTRASI FOTO, sempatbaca.com


Meski berkali -kali ngisi pulsa di tempat itu, Baru kali ini saya asyik ngobrol dengan pedagangnya.


Penulis : Masyhur

(Penjual Madu)


Hujan memang. Sekalian saya numpang berteduh. Hujan deras. Si bos pulsa, menghentikan langkahku.

Kami asyik ngobrol. Saya enggan melangkah, menerobos dinginnya malam. "Tunggu hujan reda dulu dah," gumamku.

Si bos pulsa mulai cerita, dirinya hanya tamatan SMA. Dan mengaku sama sekaki tidak tertarik untuk belajar di perguruan tinggi. Dia lebih tertarik untuk bedagang (bisnis). "Jualan pulsa sudah puluhan tahun sy geluti," terangnya "Dari wajah saja, sy lihat side lebih berbakat di dunia bisnis," ujarku sok tahu sembari melinting tembakau yang ia suguhkan di hadapanku. "Wah mantap rasa tembakaunya ini. Cocok di saya pak bos," ujarku.

Dengan cekatan ia merespon.

Katanya, oh ya lah...pasti. "Ini tembakau bagus. Satu tumpi, sy banderol 150 ribu. Sambil jual pulsa, saya juga jualan tembakau," ceritanya.

Ada yg menarik dari obrolan kami berdua. Pertama, bahwa hidup dan kehidupan itu berbeda. Apa bedanya?, tanyaku.

Kalau hidup, semua kita hidup. Kita bergerak, kita makan dan minum. Tetapi kalau kehidupan itu, antar satu dg yg lain beda. Meskipun kita sama2 hidup, tetapi problem 'susah-menang' kita alami sendiri2.

Kedua, rindu itu lebih dulu harus ada ketimbang cinta.

Yang menarik dari dia itu bagi saya, adalah ucapannya : -- yg tidak tertarik sama sekali untuk kuliah--. Tetapi meski demikian--dia interest belajar filsafat dan sastra. Dia bilang, Sy senang membaca sastra dan buku2 filsafat. Belajar filsafat itu gi mana ya...kok bikin kita berfikir terbuka dan luas. Apalagi baca baca2 buku sastra. Bikin hidup jadi indah. Realistis.

Kalau orang yg hobi bisnis berselera pada buku2 macam itu, tentu saja 'aneh' bagi mahasiswa yg tidak tertarik buku2 yg bisa bikin kita berfikir, kritis dan bijak. Pun bikin kita punya pandangan hidup full optimism.

Sayangnya : membaca lebih sering dipaksakan ketimbang dijadikan hobi dan kebutuhan. Sayang juga ketika : budaya ngoceh lebih dipentingkan ketimbang nulis. Yg lebih disayangkan lagi : budaya bengong (takjub) lebih sering ketimbang berani 'memulai'. Eits...sangat disayangkan juga, ketika : lebih banyak dari kita yg lebih suka menangkap isu 'hoax' ketimbang "Menangkap Perubahan di Sekitar Kita"--meminjam judul buku yang kami tulis.

Post a Comment

أحدث أقدم