SELAIN dikenal memiliki ilmu agama yang luas, semasa hidup TGH Ahmad Sanusi dikenal sangat dermawan. Dia tidak hanya membesarkan Ponpes Al-Halimy dengan ilmu tetapi juga materi. Sepanjang hayat, dia aktif membimbing santri, murid dan masyarakat. Dia sosok Da’i dan Pendidik Sepanjang Hayat
Di desa Sesela kecamatan Gunungsari, ada banyak tokoh dan tuan guru yang lahir. Salah satu tokoh karismatik dari Sesela Kebun Indah, yaitu tuan guru haji Ahmad Sanusi. Sanusi adalah putra dari pasangan Sarafuddin bin Rufinah bin amaq Dinah dengan Hj. Hamidah Bin Abdul Halim.
Sebuah kebahagiaan luar biasa bagi seorang suami, bilamana tahu istrinya sedang mengandung, terlebih lagi hendak mau melahirkan. Itu pula yang sedang dirasakan Sarafuddin.
Senyum mengembang dan mata berbinar-binar tak kuasa ia sembunyikan. Ekspresi kebahagiaan yang membuncah di dada Sarafuddin, tak ubahnya ‘bahagia’ sekawanan kupu-kupu yang menghampiri, mengelililingi taman indah di tepi sungai yang airnya mengalir deras. Itu dirasakan Sarafuddin sesaat setelah mendengar kabar dari sang istri, bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki. Bocah inilah yang kemudian hari dinamakan Ahmad Sanusi.
Ahmad Sanusi lahir pada tahun 1925 M. Kelahirannya tentu membawa kebahagian tersendiri bagi orang tua. Juga keluarga di sekelilingnya.
Sanusi kecil, lahir di tengah-tengah keluarga agamis. Pertama kali belajar ilmu keislaman, Sanusi belajar melalui bimbingan sang ayah. Melalui didikan ayahandanya itu, memudahkan dia untuk belajar lebih lanjut kepada sang kakek, yang tak lain TGH Abdul Halim.
Semasa kecil Sanusi diasuh kakeknya TGH.Abdul Halim. TGH Abdul Halim sendiri adalah tokoh yang cukup disegani. Bukan saja lantaran dia figur alim, memliki pengetahuan luas terutama di bidang agama, tetapi juga kepribadiannya yang gampang bergaul dengan semua masyarakat. Kepada sang kakek TGH Abdul Halim lah, Sanusi kecil menimba ilmu agama; belajar membaca Al-Quran. Ia dididik dengan penuh kasih sayang sang kakek. Sejak kecil Sanusi terbiasa dengan suasana pengajaran semi pesantren. Dalam berbagai kesempatan, Ahmad Sanusi sering diajak mengisi majelis-majelis, pengajian oleh sang kakek. Inilah yang kemudian memberikan pengaruh terhadap seorang Sanusi, sehingga ia begitu akrab sejumlah kitab-kitab kuning. Tak heran di kemudian hari, setelah sang kakek tiada, dia menggantikan posisi sang kakek mengajar.
Masa-masa belajar di saat usia masih belia, dilalui Sanusi di kampung halamannya. Menginjak usia belasan tahun, sekitar 1939/1940, Sanusi diajak lima orang pamannya yaitu H. Abu Bakar, TGH. Ahmad Anwar, TGH.Tohri, TGH. Mahmun, TGH. Tajuddin pada waktu itu berangkat ke Mekkah (Wawancara, dan Laporan Peserta dan Tim Program Madrasah Kualittatif Lakpesdam NU Lobar, 2019).
Rupaya, TGH Abdul, memberikan perhatian penuh pada Sanusi. Sebelum berangkat, sang kakek TGH.Abdul Halim mewasiatkan kepada Sanusi untuk ngaji Qur’an di Syaikh Ismail Padang di Mekkah. Wasiat sang nenek terwujud, selama di Mekkah Sanusi menghabiskan waktunya dengan ibadah haji sekaligus dan ngaji.
Enam bulan kemudian dia balik lagi ke Lombok, tepatnyasekitar tahun 1941. Di masa-masa kembali ke kampung halaman, ia pun kembali melanjutkan ‘ngajinya’. Sembari mengaji, Sanusi juga ikut serta membantu sang ayah bekerja di sawah.
Pada usia 18 tahun, Sanusi diserahkan sang ayah menuntut ilmu ke Ponpes Islahudiny Kediri. Keberangkatan Sanusi merupakan dorongan sang kakek kepada orang tua Sanusi, agar ia belajar ke Ponpes, yang langsung diasuh TGH Ibrahim Al-Halidi. Di Ponpes itulah ia menghabiskan waktunya untuk belajar kurang lebih selama sembilan tahun.
Dipilihnya Ponpes Islahuddiny, karena secara tidak langsung ada ikatan emosional yang erat antara Datoq Halim dengan Datoq Ibrohim. Keduanya sering saling bersilaturahim; sesekali TGH Abdul Halim yang mampir di kediaman datoq Ibrahim. Di lain kesempatan datoq Ibrahim membalas kunjungan TGH Abdul Halim.
TGH Muhklis tidak menampik dua tokoh ini (Datoq Halim dan Datoq Ibrahim) sangat akrab. Mereka sering bersilaturahim dan berdiskusi tentang beragam permasalahan sosial keagamaan. Karena sering berinteraksi satu sama lain, TGH Abdul Halim tahu banyak tentang sosok Ibrahim.
Kata datoq Halim, “Datoq Ibrahim itu punya ilmu pengetahuan yang luas”. Pernyataan itu sering pernah disampaikan datoq Halim saat masih hidup kepada orang-orang terdekatnya di Sesela.
Kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki sosok Ibrahim itu pula yang membuat Sanusi berikut keturunan dan orang terdekat selain Sanusi sangat dianjurkan untuk menuntut ilmu di Islahuddiny. Tak heran kemudian, silih berganti santri ponpes Islahuddiny yang berasal dari Sesela terus bertangan tiap tahun.
Saat nyantri, di Islahuddiny kecerdasan seorang Sanusi mulai tampak. Agaknya ia mengalami kemudahan dalam mempelajari berbagai ilmu di Ponpes Islahuddiny—yang dalam konteks ini, tentu tidak terlepas dari peran sang ayah. Juga gemblengan sang kakek serta guru-gurunya yang lain yang berkesempatan mengajar Sanusi sedari kecil.
Informasi lain yang didapatkan penulis, mengungkapkan bahwa, “Ahmad Sanusi bertumbuh sebagai pemuda yang cerdas lagi rajin. Segala ilmu yang di ajarkan oleh guru-gurunya, ia kuasai dengan dengan cepat”. Saat nyantri di Islahudiny, Sanusi dijuluki datoq Ibrahim dengan sebutan “Bebaloq”. Bebaloq itu artinya buaya. Julukan ini disematkan pada Sanusi, sebab kerja kerasnya dan rasa dalam mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan (Laporan Peserta dan Tim Program Madrasah Kualittatif Lakpesdam NU Lobar, 2019).
Proses pendidikan seorang Sanusi setelah tempaan orang tuanya di lingkungan keluarga dilaluinya di ponpes yang didirikan Datok Ibrahim. TGH. Ibrahim salah satu tokoh yang cukup dikenal kecerdasannya terutama di bidang Fiqih. Sanusi adalah santri angkatan pertama TGH. Ibrahim Khalidy.
Selepas dari ponpes Islahuddiny, Sanusi mencoba memuaskan dahaga pengetahuannya dengan belajar ilmu agama ke Mekkah. Sebelum berangkat ke Mekkah, ia lebih dulu mengambil peran dan melanjutkan syiar gurunya untuk berdakwah di tempat kelahirannya. Beberapa tahun kemudian, barulah ia memutuskan untuk belajar lagi ke Mekkah. Di Mekkah ia memanfaatkan waktunya untuk belajar dan mengaji dengan tokoh-tokoh pada saat itu. Sebut saja beberapa di antaranya yaitu Syaikh Yasin Al-Fadani, Ismail bin Utsman, Sayyid Amin Kutbi dan tokoh-tokoh yang lainnya.
Setelah sekian lama ia di Mekkah, ia memutuskan balik, pulang ke kampung halaman. Di kampung halaman, tuan guru haji Sanusi melanjutkan perjuangan kakeknya TGH Abdul Halim untuk membimbing dan mengajar masyarakat terutama sekali di bidang ilmu agama. Selain aktif mengajarkan ilmu agama di tengah-tengah masyarakat, perjuangan dakwah ia kembangkan dengan beberapa tokoh untuk membesarkan lembaga An-Nadjah yang pernah dirintis sang kakek. An-Nadjah inilah yang kemudian hari menjadi tonggak berdirinya Ponpes Al-Halimy.
Keterlibatan Sanusi, di Ponpes Al-Halimy tidak terlepas dari tanggung jawab moral untuk melanjutkan cita-cita sang kakek yang mendirikan lembaga. An-Nadjah yang beberapa tahun kemudian menjadi sayap Ponpes Al-Halimy. Pondok pesantren inilah yang kemudian hari banyak melahirkan generasi-generasi yang kini sudah menyebar dan turut menegakkan panji-panji Islam di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya, di masa-masa menempuh pendidikan di Kediri Islahuddiniy TGH Ahmad Sanusi dijodohkan dengan gadis bernama Halimah. Dengan calon istrinya itu, masih ada hubungan keluarga dengan TGH Sanusi, sebab gadis bernama Halimah itu adalah cucu dari dari TGH Abdul Halim sendiri. Alhasil, secara sisilah keturunan. TGH Ahmad Sanusi sampai kepada TGH. Abdul Halim dari dua jalur pertama dari jalur ibundanya bernama Hamidah dan istrinya bernama Halimah.
Kiprah di Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang TGH Sanusi, dihormati dan disegani warga, tak terkecuali para santri. Meski begitu, tak mengurangi kedekatan TGH Sanusi untuk bergaul dengan masyarakat. Ini pula yang menjadi magnet bagi para murid, khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Saat diundang dalam berbagai kegiatan dan acara keagamaan hampir tak pernah absen, kecuali bila ada halangan mendadak dan kebetulan uzur. TGH Sanusi hampir tak pernah pilah-pilih dalam bergaul. Jika sang tuan guru diundang, warga masyarakat yang selalu menanti dan mengelu-elukan kedatangannya selalu dipenuhinya.
TGH Sanusi menjaga betul sikap istiqomah dalam aktivitas kegiatan rutinnya, terutama sekali aktivitas mengajar santri di lingkungan Ponpes. Mengajar adalah aktivitas yang memenuhi hari-hari sepanjang hidupnya secara rutin di lingkungan pondok.
Dia rutin memberikan pengajian kitab kitab kuning, setiap sore hari di masjid pondok Al-Halimy dengan datang tepat waktu. Sehingga santri merasa senang mendapatkan ilmu dari sang tuan guru. Beberapa kitab yang sering diajarkan TGH Sanusi selama hidupnya yaitu: mengajar Fiqih, matan takrib, fathul korib, sampai Ijnak Nuliba. Tidak hanya itu, ia juga mengajarkan ilmu Nahwu, Jurumiah, Sarah Dahlan, Mutamimah, sampai Ibnu Akil serta Alfiah. Dan beberapa kitab yang lain seperti minhajul abidin, bidayatul hidayah.
TGH Sanusi selalu menekankan pada santrinya agar memiliki sikap disiplin yang tinggi dalam melakukan berbagai hal, terutama sekali yang berkaitan dengan ibadah. Hampir selama hidupnya ia selalu berikhtiar untuk selalu istiqomah menjalankan sholat berjamaah. Bagi dia, cermin disiplin seseorang melaksanakan sholat jamaah, bisa menjadi modal dan kekuatan untuk bersikap disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, bagi TGH Sanusi sholat berjamaah mampu pembentuk pribadi taqwa, sebuah sikap mulia nan agung kepada sang khaliq.
Keterlibatan TGH Sanusi dalam dakwah di tengah-tengah masyarakat juga dunia pendidikan yang lebih formal menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang begitu peduli terhadap dunia pendidikan, baik bagi masyarakat dan warga, lebih khusus lagi bagi calon generasi muda. Banyak yang mengakui, bahwa ponpes Al-Halimy kian dikenal dan mendapat tempat di hati masyarakat pada waktu itu tak lain berkat kehadiran dan dukungan semua pihak. Tak heran, santriwan dan santriwati dari tahun ke tahun terus bertambah. Masih minimnya lembaga-lembaga pendidikan di samping biaya pendidikan yang agaknya relatif dianggap mahal saat itu, seakan melukiskan bahwa sosok TGH Sanusi menjadi daya tarik, magnet, bagi masyarakat untuk mau belajar dan menuntut ilmu. tak dielakkan lagi, betapa kontribusi TGH Sanusi membesarkan ponpes Al-Halimy telah menjadi rahasia umum masyarakat Sesela.
Secara umum terdapat ide dan gagasan yang hingga saat ini masih melekat di telinga orang-orang terdekatnya. Gagasan dan pemikiran TGH Sanusi, seakan menjadi pesan bagi generasi berikutnya untuk terus diperjuangkan.
Pertama, pendidikan adalah proses ikhtiar mencari ridha Allah. ”Selama pembelajaran berlangsung, tuan guru diberikan materi-materi yang tujuannya adalah menuntut ilmu adalah sebagian dari ikhtiar serta usaha untuk mencari ridha Allah. Selain itu juga, dalam pembelajaran, kita senantiasa dianjurkan untuk menyampaikan ilmu yang telah diterima untuk diamalkan dimasyarakat, karena sebaik-baik orang adalah ia yang bermanfaat bagi orang lain. Atas dasar ini, saya sekarang eksis menjadi pesuruh masyarakat,” demikian dituturkan salah satu muridnya.
Kedua, Materi dan Kurikulum. Sang tuan guru mendorong masyarakat dan generasi muda untuk senantiasa menuntut ilmu. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana agar manusia mempelajari ilm al hal (pengetahuan-pengetahuan yang selalu diperlukan dalam menjunjung kehidupan agamanya). Pemikiran pendidikan TGH Sanusi terkait materi dan kurikulum ini tampak dari isi kepalanya yang selalu menyampaikan gagasan dan ide-ide bernas yang disadarkan pandangan al-Qur’an dan haidts berikut rujukan kitab klasik (kitab kuning). Kata lainnya, materi-materi yang kerap disampaikan TGH Sanusi kepada santrinya selalu merujuk pada kitab kuning.
Ketiga, metode pendidikan. Kaitan ini, figur TGH Sanusi acapkali menerapkan metode pendidikan. Metode pendidikan yang dimaksud di sini, adalah TGH Sanusi selalu membangun kedekatan dengan murid. Tujuannya agar bagaimana kemudian bisa menjadikan suasana proses belajar mengajar tidak terkesan kaku. Dengan tidak pula aktivitas kegiatan belajar mengajar Nampak diabaikan santri, apalagi jika terkesan ribut akibat kedekatan sang tuan guru dengan santri. Selain itu, terapan metode pendidikan yang dilakukan sang tuan guru tak hanya terpaku pada tataran di dalam kelas (halaqah) saja. Di luar kelas, pada dasarnya juga bisa diterapkannya dengan baik. Ia juga memberikan pembelajaran melalui sifat dan sikap di luar kelas (halaqah), mulai dari transfer ilmu secara langsung maupun melalui penanaman nilai-nilai, suri tauladan dan melaui contoh-contoh. Ruipaya sang tuan guru menyadari akan posisinya sebagai pendidik atau figur yang melekat pada dirinya sebagai tokoh agama. Dengan ini pula, maka sang tuan guru harus terus berupaya menunjukkan sikap dan contoh serta perilaku yang santun. Dalam konteks ini, agaknya TGH menyelami betul salah satu ayat al-Qur’an yang terdapat dalam QS.An-Nahl: 125. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Keempat, status murid dalam pendidikan dan hubungannya dengan guru. Sepertinya tuan guru mafhum betul bahwa belajar adalah sebagai sebuah aktivitas yang tak terpisah dari kehidupan manusia. Bagi dia, belajar sebagai dua sisi dalam dalam keeping mata uang logam dalam kehidupan manusia. hanya dengan belajarlah manusia bisa memperoleh salah satu kebutuhan hidup juga dalam upaya mempertahankan hidup sekaligus bisa mengaktualisasikan dirinya.
TGH Sanusi rupaya mafhum betul bahwa status murid dan guru sebagai dua hal penting. Terkait ini, ada cerita unik, seperti berikut :
“Pernah pagi-pagi subuh, saya membangunkan teman yang sedang tertidur pulas di Masjid yang terdapat di pondok, karena merasa yang tidur adalah temannya, saya pun membangunkannya dengan cara yang dilakukan oleh temanteman di pondok, kadang menendangnya atau menarik tikar tempat yang ditidurinya. Dan saya pun melakukan hal yang demikian dengan menendang pantat temen tersebut. Tetapi setelah saya membangunkan dengan tendangan, ternyata ia adalah TGH. Ahmad Sanusi. Hal tersebut membuat saya bingung dan tentu saja malu serta takut akan dihukum, akan tetapi kenyataan berkata lain, ia malah tertawa dan mengerti ketidak tahuan saya.”
Mayadi dalam salah satu tulisannya yang mengulas pemikiran TGH Sanusi mennyatakan, “TGH. Ahmad Sanusi merupakan tuan guru sekaligus da’i yang mengabdikan hidupnya dalam dunia pendidikan maupun pengabdian masyarakat.
Dinyatakan Mayadi, bahwa figur seorang Sanusi bisa dilihat dari ikhtiar dan usaha-usahanya dalam memperjuangkan pendidikan Islam melalui dibangunnya pondok pesantren yang ia rintis bersama para tuan guru lainya. banyak dari santri-santrinya kemudian menjadi orang yang saat kembali ke kampung halaman, berhasil memberikan pengajaran dan pendidikan di tengah-tengah masyarakat. sebut saja beberapa di antaranya seperti TGH. Munajib Khalid. Tuan guru Munajib, bagi masyarakat, khususnya di Lombok Barat, tak asing di telinga masyarakat. yang lain TGH. Suhaili. TGH Suhaili sendiri sebagai pengasuh pondok pesantren Al-Halimy dan masih banyak lagi yang lain.
Terkait dengan pemikiran seorang Sanusi yang ia tulis/tuangkan dalam sebuah karya berupa buku—sejauh ini belum bisa teridentifikasi. Hanya saja, jika berupa catatan-catatan kecil yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran bisa ditemukan. Isi dari lembaran-lembaran itu masih acak dan masih berupa tulisan pendek, iya semacam ringkasan-ringkasan.
Hal demikian, memang cukup bisa difahami, karena TGH Ahmad Sanusi lebih fokus untuk memberikan pengajaran secara langsung. Faktor lain, yang tentu sulit untuk disiasati seorang Sanusi, karena hampir tidak memiliki waktu kosong untuk menulis karena jadwal mengajar, mengaji yang saban hari hingga petang tak pernah sepi dari kedatangan para tetamu: baik yang datang bersilaturahmi ataupun mengaji. Salah satu putranya menuturukan, “Beliau hampir tidak punya waktu kosong dan tidak mempunyai waktu berkerja, jadi dari waktu subuh sampai waktu tidur isinya ngajar santri. Mungkin itu yang membuat beliau tidak menulis buku”.
Kaitannya dengan tiadanya peninggalan TGH Sanusi berupa buku, saat tuan guru masih hidup, dia menyitir salah satu pendapat ulama yang mengatakan, “Kami tidak membuat kitab kitab, tapi, kami membuat tokoh-tokoh untuk menulis kitab. Kami tidak mencetak kitab, tidak mencetak buku, tetapi kami mencetak tokoh-tokoh yang suatu hari nanti bisa membuat kitab”.
Agaknya dia terinspirasi juga oleh ungkapan salah seorang dari ulama dari tanah Jawa yang mengatakan ”Jalan menuju Allah itu banyak, tapi demi Allah jalan yang paling utama, mencapai Allah adalah: jalan ngaji dan ngaji”. Terbukti murid TGH. Ahmad sanusi rata-rata, kini menjadi sosok yang ditokohkan, seperti TGH Ridwan, Almarhum TGH.Subki, TGH Jalaluddin, TGH Yasin (Almarhum), TGH Munajib, TGH Mutamam, Ustadz Zaidun, Almarhum Sihabudin Jerowaru, TGH Sukri Jerowaru dan Almarhum Abdul Hadi Gegutu dan juga tuan guru Islahuddin dari Kekait.
Bicara tentang keberadaan Ponpes Al-Halimy, tidak terlepas pula dari peran dan kontribusi seorang Sanusi. Dia berjuang untuk terus membesarkan Ponpes yang diinisiasi sang kakek saat masih bernama An-Nadjah. Hal ini pula yang memperkuat titahnya sebagai penerus perjuangan TGH Abdul Halim. Tuan guru Sanusi pun membangun pondok pesantren untuk menampung santri-santri Al-Halimy yang berasal dari luar desa Sesela sekaligus sebagai basis pengkajian kitab-kitab klasik pondok tersebut dinamakan dengan Asarafiyah yang diambil dari nama ayahanda beliau yaitu Syarifuddin.
Dalam membangun pondok Asyarafiayah Tuan guru mengadopsi seluruh tradisi pesantren yang pernah didapatkan di pesantren Islahudiniy Kediri. Dalam hal mengajar, dia cukup dikenal dengan punya karisma. Dia pendidik yang ikhlas juga tegas. Teknik mengajarnya yang berupaya langsung memberikan tauladan kepada santri-santrinya, membuat dirinya begitu dikenal, “Sebagai guru yang sering mendidik santri melalui lisanul hal tabi’at (kebiasaan sehari hari)”. Agaknya, sang tuan guru menggiatkan sebuah pepatah arab yaitu lisanul hal afshohu min lisanil maqol (memberikan contoh dengan perilaku lebih berkesan dari pada kata-kata semata)
Begitu Mashur di telinga masyarakat Sesela bahwa betapa besar pengorbanan TGH Sanusi memajukan pondok pesantren Al-Halimy. Pada saat menjabat sebagai Madirul aa’m Yayasan pendidikan pondok pesantren Al-Halimy, TGH Sanusi merupakan pendonor utama untuk setiap pembangunan yang dilakukan. Pengelolaan berbasis kekeluargaan membuat setiap perencanaan pembangunan dari pembangunan yayasan selalu berjalan optimal.
Cerita Karomah
Tak sedikit kisah, cerita, bermunculan sepeninggal TGH Sanusi. Beragam kisah dan kejadian yang langung diketahui dan disaksikan oleh orang-orang yang pernah dekat dengan TGH Sanusi itu diyakini bukan hanya sebagai hal unik, melainkan sesuatu yang menarik. Lebih dari itu, kadang kejadian tersebut diluar nalar ‘logika’—jika cenderung untuk tidak mengatakannya sebagai bukti bahwa sosok seorang tuan guru Sanusi memiliki karomah. Tapi banyak pula yang beranggapan beragam kejadian tersebut suatu pertanda: TGH Sanusi punya karomah dan termasuk hamba yang diberikan suatu keistimewaan oleh sang pencipta: Allah.
Terdapat hal lain yang dianggap unik dan masih menyimpan misteri sebagai bentuk kekaguman masyarakat pada saat TGH Sanusi masih hidup. Berikut ceritanya :
“Suatu ketika, salah satu warga meninggal. Warga yang meninggal tersebut, menurut penuturan warga setempat, mayitnya sangat bau. Saking baunya, di lokasi setempat di mana warga itu meninggal, mendatangkan bau yang tidak sedap, terutama saat warga sedang menyalati si mayit. Tak lama kemudian, begitu TGH Sanusi datang, segera melaksanakan sholat jenazah, seketika itu, bau yang tadinya sangat mengusik hati dan penasaran warga, hilang seketika”.
Prihal kisah itu, menyitir pendapat TGH Munajib Khalid, sebagai sebuah kelebihan dari seorang alim dalam hal ini kelebihan yang dimiliki TGH Sanusi. Tuan guru Munajib menuturkan, “Ia (TGH Sanusi) salah satu wali yang kekeramatannya dapat dirasakan masyarakat”. Tuan guru Munajib menegaskan: Hal itu pertanda salah satu bentuk kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada TGH Sanusi.
TGH Sanusi meninggalkan dunia ini di usia cukup sepuh, pada usia 81 tahun. Menurut pengakuan pihak keluarga, tidak ada riwayat penyakit yang diberitahukan oleh dokter sebelum tuan guru meninggal.
Menjelang beberapa hari sebelum meninggal dunia, ada beberapa pesan yang sempat disampaikan sang tuan guru kepada orang-orang terdekatnya. Apa yang disampaikan tersebut, diangggap sebagai pesan-pesan terakhir. Kepada seluruh keluarga dan santri-santrinya yang kebetulan hadir pada saat itu, dia berpesan mengenai tiga hal ; pertama, rawatlah hubungan dengan siapapun yang menjaga silaturahmi terutama kepada guru-guru; kedua: jangan memandang orang lain dengan mata kasar, melainkan lihatlah kepada kemanusiaanaya (hatinya). Ketiga, pelajarilah ilmu dengan ikhlas. Ilmu ikhlas yang dimaksudkan yaitu ilmu yang tidak sembarangan orang menguasainya. Sebab ilmu ikhlas tidak dapat di wariskan.
TGH Sanusi pergi meninggalkan keluarga, putra-putri dan santri-santrinya pada tahun 2006 dan dimakamkan di pemakaman umum yang ada di Sesela.
Selepas kepergian tuan guru karismatik, dermawan dan pendidik itu, pihak keluarga dan masyarakat setempat mengabadikan nama tuan guru Sanusi dengan mendirikan yayasan Banu Sanusi. Isyarat mendirikan Banu Sanusi, tidak terlepas bahwa semasa tuan guru masih hidup dan mulai istirahat mengajar di Ponpes Al-Halimy, Tuan guru lebih banyak menghabiskan waktunya tinggal di rumah sembari mengajar jamaah yang datang di kediamannya.
Penjual Madu, da Koordinator Lembaga Inisiatif
إرسال تعليق