Biografi Maha Guru dari Kediri




TGH Ibrahim Khalidy (1912 - 1993) tengah (iluatrasi, sempatbaca.com) 




Siapa yang tak kenal sosok TGH. Ibrahim? Hampir semua masyarakat Lombok, khususnya di gumi Patut Patuh Patju, Lombok Barat tahu siapa siapa figur alim bernama TGH Ibrahim Khalidy, lengkapnya TGH. Ibrahim Al-Khalidy al-Anfanảni


Ibrahim kecil lahir pada bulan Muharam 1330 H/1912 M. Anak bungsu tuan guru Khalidy (w.1358 H). Ayah Ibrahim termasuk salah seorang tuan guru yang lahir dari garis keturunan bangsawan Kerajaan Selaparang Lombok.

Putra TGH Khalidy yakni Ibrahim, menghabiskan masa kecilnya di pulau seribu masjid: pulau Lombok. Ibrahim kali pertama mendapatkan pengajaran dan ilmu agama diperolehnya dari sang bapak. Ibrahim belajar mengaji Al-Qur’an bersama sang ayah hingga khatam di usia 8 tahun. Suasana keluarga yang religius menjadikan sosok Ibrahim kecil tumbuh berkembang di tengah keluarga yang sehari-hari memberikan pencerahan agama bagi anak-anak muda di desa Kediri. Daerah ini sekarang dikenal dengan Kota Santri di Lombok Barat.

Menginjak usia 10 tahun, Ibrahim kecil dikirim, lalu dititip orang tuanya kepada TGH. Muhammad Arsyad Sumbawa, untuk menyusul kedua saudaranya, TGH. Abdusssatar Al-Khalidy, dan TGH. Mustafa Al-Khalidy belajar ke Makkah al-Mukarramah. Kedua saudaranya telah berangkat lebih dulu pada tahun 1918 M usai perang dunia I.

Dalam tradisi masyarakat Sasak kala itu, ketika seorang telah berniat menunaikan ibadah haji, bermukim di tanah suci Makkah untuk menuntut ilmu merupakan suatu kelaziman. Selain itu, sulitnya alat transportasi dan jarak yang ditempuh memakan waktu berbulan-bulan membuat tradisi bermukim untuk menuntut ilmu menjadi keharusan. Perjalanan haji awal abad ke-20 dari Lombok ke Haramayn terekam dalam biografi TGH. Muhammad Shaleh Hambali Bengkel, yang menunaikan ibadah haji tahun 1908. Dalam tulisan itu, ia menorehkan rute pelayaran dari Ampenan Lombok ke Surabaya menuju Jakarta dan Padang melewati Laut Aceh, Laut Ceylon (Srilanka), Laut Socotra, Laut Aden (Yaman), Laut Mocha, Selat Baboel Mandeb, Jizan,Kamaran, baru kemudian sampai ke Jeddah.


Setelah setahun mukim di Makkah, pada tahun 1923 ayahanda Ibrahim beserta keluarga besar berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji sambil menjenguk anak-anaknya. Kondisi keamanan kota suci ini kurang terkendali karena suasana 9politik pada 1924, akibat perebutan kekuasaan oleh Ibn Sa’ud, karena itu, mereka pulang bersama-sama ke Lombok.

Setelah Haramayn dikuasai Ibnu Sa’ud, kondisi Mekah berangsur-angsur pulih di bawah Kekuasaan Raja Abdul Aziz ibn Abdurahman, keluarga Su’ud. Kondisi ini menjadi peluang bagi para pelajar untuk berangkat kembali ke tanah suci menuntut ilmu. Maka pada tahun 1927 Ibrahim melanjutkan studinya yang sempat tertunda. Setelah hampir tiga tahun mukim kembali di Makkah ia dipertemukan dan diperkenalkan dengan seorang mukimin (Hj. Maryam binti Abdullah ibn Umar Al-Bantani). Konon, gadis itu berasal dari keturunan kerajaan Banten. Ibrahim pun jatuh hati, hingga akhirnya memutuskan untuk mempersunting gadis keturunan Banten itu, pada tahun 1930 M. Pernikahan ini mempertemukan hubungan kekeluargaan tuan guru dengan Syekh Nawawi ibn Umar Al-Bantani, ulama Hijaz yang sangat masyhur di kalangan intelektual Timur Tengah akhir abad ke-19. Jalinan keluarga TGH. Ibrahim Al-Khalidy dengan Keluarga Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani melalui putri saudaranya Abdullah bin Umar al-Bantani telah menghasilkan tradisi keluarga (Makkah-Lombok) yang berkesinambungan. Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani sebagai figur dan tokoh dalam jaringan ulama Nusantara membawa motivasi tersendiri bagi Tuan Guru Ibrahim dalam mengembangkan dakwah Islam di bumi Selaparang.

Tahun 1932, TGH. Khalidy, ayahanda TGH. Ibrahim kembali ke tanah suci menjenguk putranya, dan kembali pada tahun 1934 M, mengajak TGH. Ibrahim dan keluarga kembali ke Lombok. Kepulangannya tanpa diikuti oleh istri tercintanya, Hj. Maryam binti Abdullah Umar al-Bantani, dan anak sulungnya Khalid Ibrahim. Sepulangnya dari tanah suci pada tahun 1934, beliau mulai mengabdikan diri mengajar ilmu agama dan bahasa Arab bagi sejumlah pemuda di desa Kediri, namun karena merasa belum cukup dan rindu untuk kembali menimba ilmu pengetahuan, maka pada tahun 1937 kembali berangkat ke tanah suci untuk ketiga kalinya.

Tahun 1940 M/1358 H, ketika berada di Mekah, ia menerima kabar meninggalnya ayahanda tercinta pada malam Senin, tanggal 12 Dzulhijjah. TGH. Ibrahim diminta keluarganya kembali ke tanah air mengingat meletusnya perang dunia kedua. Karena dikhawatirkan putusnya hubungan Indonesia dan Saudi Arabia. Kepulangannya ke tanah air tidak membawa semua putra putrinya. Ia pulang bersama istri, dan putri keduanya, Hj.Maemunah Ibrahim, dan putra ketiganya Wajdi Ibrahim yang masih bayi.

Kepulangannya dari tanah suci tahun 1941 membulatkan tekadnya menetap di Lombok, dan memulai aktifitas mengajar, membuka kholaqoh-kholaqoh kecil dan atau majelis. Baru kemudian setelah sekian tahun dikembangkan lebih jauh untuk menjadi pondok pesantren.  Selanjutnya, beberapa waktu kemudian, setelah melalui berbagai proses dan lika-liku, dirintislah pendiriaan pondok pesantren Al-Ishlahuddiny bersama saudara kandungnya TGH. Mustafa Al-Khalidy, berdakwah mengabdikan diri membina umat, mencetak generasi muda, mendorong santri binaannya melanjutkan studi ke Haramayn serta mengharapkan mereka kembali ke masyarakat untuk menyebarkan dakwah Islam. Di awal-awal merintis, taun guru Ibrahim memulainya dengan mengumpulkan anak-anak muda di sekitar desa Kediri. Masa perintisan diawali oleh sekitar 70 siswa dengan mengambil pola layaknya rubath di Haramayn

Selama hidupnya TGH. Ibrahim Al-Khalidy juga aktif dalam berbagai aktifitas keagamaan, di antaranya : sebagai peserta dalam Konfrensi Islam Asia Afrika di Bandung, menjadi Wakil Syuriah Nahdlatul Ulama NTB masa kepemimpinan TGH. Soleh Hambali Bengkel, dan aktif dalam membina toleransi umat beragama sebagaimana terekam dalam buku hariannya. Di sela-sela aktifitas mengajar sebagai guru utama di Pesantren Al-Ishlahuddiny yang didirikan, keberadaan anak dan cucu yang tinggal di Makkah menjadikan ia sering pulang pergi ke tanah suci sambil terus menjalin silaturahmi dengan guru-gurunya di Makkah pada tahun 1966, 1968, dan 1970.

Pada bulan Rajab 1394 H/1974 M, TGH. Ibrahim berangkat ke tanah suci bersama istri pertama (Hj. Maryam). Perjalanannya terekam dalam buku harian yang ditulis sebelum berangkat, hingga aktifitasnya di tanah suci. Ia tinggal hingga 7 bulan. Pada tahun 1397 H/1977 M kembali berangkat ke tanah suci hingga 1398 H/1978 M, dan terakhir pada tahun 1403 H/1983 M hingga tahun 1404 H/1984 M. Bila dihitung beliau menunaikan ibadah haji 21 kali dan lama mukim di Mekah sekitar 20 tahun bila dihitung sejak belajar dan berhaji di tanah suci.

TGH. Ibrahim Al-Khalidy, membangun pesantren bersama keluarga besar, baik yang berada di Makkah atau di Lombok. Pernikahannya dengan Hj. Maryam di Makkah al-Mukarramah dikaruniai 8 orang putra putri, sementara di Lombok menikah dengan Hj. Sulhiyah, Hj.Zahrah, dan Inak Sukah. Dari istri kedua mendapatkan lima orang putra putri, sementara pernikahannya dengan Hj. Zahrah melahirkan delapan putra putri. Lalu dari istrinya yang keempat, Inak Sukah, ia mendapatkan seorang anak perempuan.

Tahun 1941-1947 M merupakan masa perintisan berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlahuddiny Kediri Lombok Barat yaitu masa peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang pada tahun 1942 yang dilanjutkan dengan peralihan kekuasaan dari Jepang ke negara Republik Indonesia pada tahun 1945 M. Dalam kondisi peralihan, karena situasi masih belum kondusif, sebagian mengungkapkan bahwa kondisi di Kediri di masa-masa itu, masih terasa tegang. Kata mereka, “Ketika para santri sedang belajar, tentara Jepang kerap mondar-mandir di sekitar areal pondok”.

Dalam  suasana  pendudukan  Jepang  inilah  tuan  guru Ibrahim  Al-Khalidi,  dan  kakaknya tuan  guru  Mustafa  al-Khalidi, merintis  da’wah  melalui  jalur  pendidikan.  Tuan Guru Ibrahim didorong sang kakak untuk mengambil posisi sebagai pendidik dan guru utama, sementara tuan guru Musthafa lebih cenderung memilih untuk mengambil peran berkecimpung dalam bidang ekonomi. Boleh dikata semacam donator, dengan mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan  untuk  keberlangsungan kegiatan belajar mengajar.

Singkat kisah, pondok pesantren yang didirikan tuan guru Kholidy bersama saudaranya di Kediri Lombok Barat dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masih eksis dan terus mengalami kemajuan. Hingga saat ini telah menelurkan ribuan alumni, khususnya di Lombok dan sekitarnya.

Tentang gerakan dakwah yang dilakukan tuan guru semasa hidupnya, cukup banyak, bahkan terlalu panjang untuk diulas. Sebagai gambaran sepintas, misalnya gerakan dakwah dusun  Egok,  Lombok Barat. Masyarakat Egok waktu itu, banyak penganut wetu telu.

Ambil contoh ritual-ritual  wetu  telu, seperti menyajikan  sesaji  pada batu-batu besar melalui prosesi tertentu yang dilangsungkan di empat tempat, gunung  Kawangan, pedewak  batu  telu,  Batu  Ampeng, dan di kelebut begitu massif. Konon juga diceritakan, sebagian warga Egok pada tahun tersebut masih melimpahkan kewajiban-kewajiban fardhunya  kepada tokoh yang diangkat menjadi kiai, seperti shalat dan puasa. Mereka juga melakukan tradisi maulid Nabi dengan menyuguhkan makanan-makanan yang dihias, lebaran topat dengan saling melempar ketupat, dan maleman, dengan menerangi rumah-rumah dengan lampu tradisional yang dibuat dari buah pohon Jamplung dengan keyakinan para arwah  keluarga  akan pulang kampung.

Menghadapi karakteristik masyarakat yang demikian itu, Sang tuan guru rupayanya punya strategi yang bagus. Rupanya ia juga memahami bahwa jika langsung melarang kebiasaan-kebiasaan warga masyarakat waktu itu, ajakannya pasti tertolak. Lebih dari itu, ia akan dikecam, dicemooh warga. Namun hebatnya, tuan guru mampu membendungnya dengan strategi dakwah yang bersifat persuasif dan sangat  toleran. Perlahan tapi pasti, dia memulai dakwahnya untuk mengajak warga melalui cerita-cerita  hewan, cerita nabi, dan lainnya. Tak disangka, gerakan dakwah yang dilakukan tuan guru menarik simpati warga. Tak ayal, warga perlahan-lahan mulai merasa terayomi dan sadar bahwa kebiasaan yang dilakukannya merupakan sesuatu yang keliru.

Seperti halnya di tempat lain, tuan guru juga melakukan hal yang sama. Misalnya di dusun Dasan  Cermen, usai mengajar jamaah masjid Dasan Cermen, secara personal TGH. Ibrahim lansung mendatangi tokoh wetu telu, amak Siti. Melalui dialog-dialog sederhana, tentang rakaat shalat, perubahan sikap, kesiapan menjalankan  syariat  Islam  sesuai  kemampuan objek  dakwah  menjadikan  tokoh  wetu  telu  lambat  laun dapat  memahami  agama  sesuai  syariat  tanpa menghilangkan tradisi  yang  ada.

 

Karya dan Pemikiran TGH Ibrahim Kholidy

Sosok Ibrahim Kholidy bukan hanya membawa angin ‘perubahan’, melainkan kehadirannya di tempat kelahirannya dan digembleng oleh orang tuanya memberikan segudang manfaat untuk membangun ummat, membimbing warga masyarakat.

TGH Ibrahim termasuk figur alim yang hobi menulis, menuangkan kegelisahannya dalam bentuk tulisan. Ini terbukti dengan sejumlah karya yang lahir dari isi kepala yang briliant. Apa yang ditulisnya menguatkan eksistensinya bahwa TGH Ibrahim adalah sosok yang genius dan rajin membaca. Pendek kata, TGH Ibrahim adalah pecinta literasi.

Beberapa karya tersebut antara lain 1) Matn Tuhfah Al-Shibyan fi aqa’I al-Iman; 2) Risalah Siraj al-Qulub fi’ ‘Ad’iyati, ‘Allam al-Ghuyub; 3) Risalah Wushul Tsawab al-Qiraah wa Ghairiha ila al-Mayyit ‘ala Madzahib al-Arba’ah; 4) Kumpulan tanya jawab fiqh (brosur pengajian arbituren).

Pertama, Matn Tuhfah Al-Shibyan fi aqa’I al-Iman. Karya ini berbentuk nazhom, ditulis dengan bahasa Arab. Rupanya beliau juga penyuka sastra, sehingga tulisan Matn Tuhfah Al-Shibyan fi aqa’I al-Iman berbentuk bait-bait layaknya karya sastra berbentuk puisi. Tidak kurang terdapat 42 bait dalam tulisan itu. Kitab itulah yang kemudian hari sering dibaca, dinyanyikan sekaligus dihafal santri-santri beliau sebelum memulai pengajian. Metode yang dipakai tuan guru, dalam konteks kekinian jelas merupakan metode belajar yang tentu saja digandrungi siswa-siwa.

Membaca kitab yang ditulis sekitar tahun 1361 H itu, menunjukkan kepada murid-murid taun guru bahwa dirinya adalah pengikut aliran kalam Asy’ariyah. Sebab isi kitab itu mencerminkan pemikiran tauhid TGH Ibrahim Kholidy. Setidaknya ilmu tentang sifat dua puluh, sifat mustahil dan jaiz bagi rasul menjadi isi bahasan dalam kitab yang ditulis putra tuan guru Khalidy itu. Tambahan lagi, terkait isi kita, diperkaya dengan sirah nabi berikut silsilahnya. Juga dilengkapi dengan rukun Islam, rukun iman dan ihsan.

Kedua, Risalah Siraj al-Qulub fi’ ‘Ad’iyati, ‘Allam al-Ghuyub. Hobi menulis tuan guru, juga ia tuangkan dalam bentuk tulisan yang isinya merupakan kumpulan wirid dan dzikir yang diterimanya dari para ulama di Haramyn. Kisah risalah ini ditulis bermula dari permintaan pengurus pondok agar tuan guru berkenan menuliskan amalan-amalan do’a pada tahun tahun 1971. Hanya saja, waktu itu TGH Ibrahim menolak, dan mengatakan kepada para pengurus pondok yang meminta beliau menulis waktu itu, untuk istiharah dulu. Barulah setelah TGH mengemukakakan alasannya kepada para pengurus pondok waktu itu, tuan guru pun berpikir dan terus beripikir sembari memohon kepada Allah melalui sholat istikharah. Nah, barulah tuan guru Ibrahim memutuskan untuk menulis Wirid tersebut dan tuntas pada kurun waktu 1974. Filosofis mengapa kumpulan wirid dan dzikir tersebut  sebagai bentuk raja’ seorang hamba terhadap sang pencipta, bahwa tulisan yang isinya berupa kumpulan zikir dan wirid tersebut bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sepertinya TGH mengharapkan kepada Allah, bahwa siapa yang membaca dan mengamalkan isinya, bisa menjadi penerang bagi hati yang gelap. Dan melalui bacaan tersebut setidaknya, santri atau murid-murid dan masyarakat yang membacanya merasa dibimbing kepada jalan kebaikan (lurus).

Ketiga, Risalah Wushul Tsawab al-Qiraah wa Ghairiha ila al-Mayyit ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Risalah yang ditulis TGH Iibrahim ini, berisi pandangan beliau sekaligus pandangan guru-guru TGH Ibrahim, mengenai penolakannya terhadap orang yang menganggap bahwa bacaan Al-Qur’an, tahmid dan tahlil yang diperuntukkan bagi si mayyit sebagai bida’ah. Dalam konteks ini kemudian, maka TGH Ibrahim punya pandangan berbeda dengan faham salafusshalih yang lebih doyan membida’ahkan amalan dan ritus keagamaan seperti disebut tadi.

Sebagai bentuk penolakan, TGH pun melakukan cara-cara bijak dan sangat mendidik, dengan menggoreskan pena untuk mengejewantahkan ide dan gagasannya melalui tulisan/kitab yang menjelaskan sekaligus mengemukakan pendapat guru-guru dan para ulama. Risalah yang ditulis TGH Ibrahim ini sebagai respon beliau terhadap gejala salafisme yang muncul pada saat itu, sekitar tahun 1980-an. Dan terhadap amalan membaca dan melisankan perkataan agun dan mulia dari kitab suci dan lainnya bagi mayyit, TGH Ibrahim sangat menganjurkan.

Keempat, Kumpulan tanya jawab Fiqh (brosur pengajian arbituren). Karya dalam bentuk ini, ditulis oleh TGH Ibrahim sebagai upaya mendokumentasikan tanya jawab jamaah kepada beliau yang memberikan pengajian pada saat itu. Sehingga banyak yang menyebutnya pada waktu itu sebagai pengajian arbituren. Pengajian ini dimulai pada 1973, bersamaan dengan saat TGH Menulis risalah Siraj Al-Qulub yang sempat ia tunda karena harus melalui proses istikharoh.

Tujuan diadakannya pengajian arbituren, tak lain untuk menambah wawasan para alumni. Juga sebagai jawaban tuan guru atas persoalan-persoalan yang sedang menjadi buah bibir pada saat itu. pengajian dilaksanakan sekali dalam tiga bulan yang digelar di ponpes Islahuddinny. Nah dalam brosur pengajian arbituren itulah, TGH menulis tanya jawab permasalahan/materi yang dikaji pada saat pengajian. TGH Ibrahim menulisnya dengan sederhana dan ringkas, sejak 1973 hingga 1992.

Kalau diringkas terdapat beberapa topik penting yang dibahas pada pengajian arbituren dalam kurun 1984 hingga 1987 antara lain yaitu : satu, nikah dan thalaq. Bagi dia, apa yang dilakukannya terisnpirasi dari apa yang pernah terjadi, saat berbagai permasalahan yang muncul dalam kongres Nahdlatul Ulama di Surabaya 1936 M yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Hasyim Asya’ri. Nah berbagai permaslahan tersebut juga diajukan pada ulama-ulama besar di Makkah pada 1937. Dua, haji.  Tiga, tanah masjid dan pekuburan. Empat, Fiqh kontemporer. Lima, masalah fiqh yang bersentuhan dengan budaya dan tradisi lokal. Di point kelima persoalan fiqh yang berkaitan dengan budaya dan tradisi lokal meliputi tradisi merarik, denda seorang pembayun dalam proses adat perkawinan masayrakat sasak, presean dalam tradisi masayrakat sasak, nelung, mituk, nyiwa dan nyatus. 

Para Guru TGH Ibrahim Khalidy

Perjalanan intelektual sosok Ibrahim cukup panjang. Beliau tidak hanya menuntut ilmu, berguru pada orang-orang alim di pulau Lombok, tetapi beliau berkelana nun jauh entah di sana, dan bahkan bolak halik ke Mekkah hingga puluhan kali, semata-mata jihad berjuang menuntut ilmu.

Bisa dibayangkan betapa sulitnya pergi ke luar negeri, dalam hal ini Arab Saudi pada waktu itu. Mulai dari perjalanan yang cukup panjang, juga memakan waktu hingga berbulan-bulan. Tampaknya, bagi beliau perjalanan menuntut ilmu menjadi kenikmatan tersendiri bagi TGH Ibrahim. Selama perjalanan menuntut ilmu, TGH Ibrahim pernah berguru pada puluhan alim ulama antara lain yaitu KH Marzuqi Palembang, KH hasan Jambi, Sayed Syekh Muhammad Nur Fathani, KH Salim Cianjur, KH Raden Ahyad Bogor, KH Abdul Qadir Mandahiling, KH Husain Palembang, KH Abdurrahman Klantan, KH Ahmad Payakumbuh. Sedangkan gurunya dari dari ulama-ulama Hijaz yaitu Syekh Abbas Abdul Jabbar, Syekh Hasan Yamani, Syekh Isa Ruaes, Syekh Abdullah al-Khadrami, Sayed Abbas Maliki, Syekh Umar Hamdan, Syekh Jamal Maliki, Syekh Sayed Alwi ibn Abbas Al-Maliki, Syekh al-Hadrami, Syekh Ali Maliki, Syekh Khalifah ibn Nabhan, Syekh Ibrhrahim al-Tikrani, syekh Muhammad Nur Saiful Bahrain dan Syekh Hasan Masyath.

Lebih jauh, sebagaimana ditulis sendiri dalam siraj al-Qutlub Fil Ad’iyah sanad ilmiah yang diterima dari guru-gurunya antara lain ; a)  Sanad Kifayah Al-Mustafid, KH Mahfudz al-Tirmasi (1338 H/1999 M). Ijazah dan sanad Kifayah Al-Mustafid ia terima dari dua gurunya, syekh Sayed Muhammad Anin Kutbi dan Syekh Sayed Alwi Al-Makki. Kedua ulma atersebut menerima dari Syekh Umar Hamdan yang langsung menerima dari KH Mahfudz al-Tirmasi di masjidil Haram, pada 24 Dzulhijjah tahun 1337 H;

b) Sanad Syekh Hasan Muhammad al-Masyath (w.1399 H). Hasan al-Masyath merupakan ulama kelahiran Mekkah pada 1317 H dan meninggal dunia pada 1399 H. Hasan al-Masyath dikenal sebagai al-imam, al-muhaddits dan al-musnid.


BACA JUGA : Biografi TGH. Ahyani Mukhtar (1939 2019)

Kepergian TGH Ibrahim Khalidy

Kematian adalah hal pasti. Bila Tuhan sudah menghendaki, tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi. Kita mafhum bahwa etiap kita yang ditimpa musibah ‘kematian’ terasa sangat menyedihkan. Memang kepergian selalu menyisakan rasa pilu, tetapi semua memang adalah ketentuan sang pencipta, bahwa siapa saja yang yang hidup, bernyawa, pasti akan meninggalkan kehidupan ini.

Suasana duka meliputi keluarga besar Ponpes Al-Islahuddiny. Duka mendalam yang dirasakan keluarga, santri dan murid-murid juga masyarakat pada umumnya tak lain sebab kehilangan sosok maha guru: TGH Ibrahim.

Air mata dan kesedihan juga pasti dirasakan oleh sahabat dan orang-orang dekat TGH Ibrahim. Kondisi ini bisa ditangkap dari rawut wajah dan tetesan air mata yang jatuh berderai, mengalir membasahi pipi ribuan para pelayat. Sebelumnya, tuan guru mengeluhkan rasa sakit. Keluarga dan orang-orang terdekatnya pun lantas membawa sang tuan guru ke salah satu rumah sakit di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram. Di rumah sakit itulah, tuan guru Khalidy menghembuskan nafas terakhir. TGH Ibrahim meninggal pada usia yang cukup sepuh, sekitar 81 tahun dan wafat pada tanggal 2 Sya’ban 1413 H/1993 M. figure alim yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar itu, dimakamkan pada hari Selasa 3 Sya’ban di Pemakaman Umum desa Kediri, Lombok Barat - NTB.

Penulis: Mashur, MS

Penjual Madu, Koordinator Inisiatif

Post a Comment

أحدث أقدم