Agama, Filsafat, Sains

 


Ilustrasi: akun facebook lutfie as-syaukani


Sebelum sains modern lahir, manusia berusaha mencari jawaban terhadap misteri alam raya dan segala isinya lewat filsafat. Sebelum filsafat lahir, manusia berusaha mencari jawaban itu lewat agama. Filsafat dan agama lahir lebih dulu dari sains. Agama mengandalkan wahyu dan halusinasi para tokohnya untuk mendapatkan jawaban. Filsafat mengandalkan akal dengan metode yang disebut logika.

Baik agama maupun filsafat sering salah dalam menjelaskan misteri alam raya dan isinya. Antara satu agama dan lainnya saling berbeda pendapat, acap kali sangat keras. Ada agama yang berpandangan bahwa dunia ini diciptakan selama 6 hari. Ada agama yang meyakini Bumi dan manusia sebagai pusat alam semesta. Ada agama yang berpandangan bahwa manusia bersaudara dengan genteng, kendi, dan batu bata. Singkatnya, metode agama sangat rapuh, tak bisa dipegang.

Filsafat lebih maju sedikit, walaupun sering kepleset. Ada dua aliran besar dalam filsafat: Rasionalisme dan Empirisisme. Aliran pertama berpandangan bahwa realitas bergantung pada perspektif orang yang menangkapnya. Pikiran manusia lebih penting dari obyek yang dipersepsinya. Sebaliknya, aliran Empirisisme berargumen bahwa indera, bukan pikiran, adalah sumber pengetahuan. Pikiran manusia bagaikan tabula rasa, selembar kertas putih tak tercoreng. Kita tahu karena indera kita menangkapnya: esse est percipi.

Problem utama filsafat adalah absennya alat ukur yang obyektif untuk membuktikan klaim-klaim besarnya. Metode spekulatif yang menjadi ciri khasnya membuat produk pemikiran filsafat sangat liar. Ada 3000 pendapat tentang apa itu tuhan. Ada 2000 pandangan tentang apa yang disebut manusia. Ada 1000 opini tentang alam semesta. Para filsuf lebih sering tak bersepakat tentang suatu hal ketimbang menyetujuinya.

Sains lahir dan belajar dari kesalahan-kesalahan agama dan filsafat. Agar terhindar dari kesalahan, sains melakukan verifikasi dan pengujian data, berkali-kali. Sebuah temuan tak berhenti pada seorang saintis, karena saintis lain akan menguji dan memverifikasinya. Komunitas sains sangat terbuka, saling melaporkan dan berbagi informasi tentang temuan terbaru mereka.

Sains punya alat ukur yang obyektif. Teknologi terus menyempurnakannya. Ketika Galileo menemukan empat satelit Jupiter, dia hanya menggunakan teleskop sederhana. Kini teleskop Hubble mampu meneropong hingga miliaran tahun cahaya. Ketika Darwin mengikrarkan bahwa manusia dan primata bersaudara, dia hanya menggunakan analisa morfologis dengan bantuan beberapa fosil. Kini, teknologi DNA sequencing memastikan temuannya itu dengan tingkat presisi yang sangat tinggi.

Pengetahuan kita tentang jagat raya, manusia, dan semua fenomena alam memiliki landasan yang solid berkat sains. Sesuatu yang dulu ditebak atau diterka menggunakan akal murni (atau halusinasi) sekarang dijelaskan dengan bukti-bukti yang kokoh.

Bersyukurlah, karena kita punya sains modern.

Penulis: Luthfie As-Syaukani
Pemikir, Penyuka Filsafat

Post a Comment

أحدث أقدم