Ilustrasi, sempatbaca.com
Desah nafas 'perjuangan' santri harus mampu mengimbangi persoalan kekinian dan masa depan, yang dapat menjadi ancaman bagi bangsa
BANGSA kita puluhan tahun dijajah asing. Kekayaan alam milik bangsa, melimpah ruah, dikeruk habis. Rakyatnya bertahun-tahun dipaksa kerja rodi. Mereka diprovokasi, dihasut segala macam. Seperti daun kering di musim terik, korban berguguran, berjatuhan.
Darah mengucur deras dari dari tubuh rakyat Indonesia yang berjuang tempo dulu. Mereka dibunuh dan dipenggal kepalanya. Mereka dikubur hidup-hidup.
Puluhan hingga ratusan, bahkan boleh jadi, jutaan jiwa rakyat Indonesia melayang. Mereka dikubur entah di mana. Para keluarga histeris menyaksikan keluarga disiksa. Dibunuh. Ada keinginan untuk melawan. Sayangnya rakyat ini tak berdaya.
Saban hari dalam rentang panjang puluhan tahun rakyat Indonesia hidup dalam cekaman cemas, gelisah, tak berdaya.
Mereka tak bisa bebas dan leluasa menikmati aktivitas sehari-hari. Dibenak mereka, "Jangankan berfikir bagaimana belajar ilmu pengetahuan, mikir untuk makan saja susahnya minta ampun". Betapa, di masa-masa itu, kakek dan nenek moyang kita, berada dalam kondisi teramat berat.
Sejarah menjadi saksi: sejak abad ke-16, bangsa-bangsa luar nun jauh di sana, datang singgah silih berganti di nusantara. Sebermula mereka, datang hanya orientasi bisnis: jualan rempah-rempah. Tapi lama-lama mereka mempraktikkan kolonialisme dan imperalisme. Tujuannya, meraup kekayaan alam di tanah kita Indonesia.
Kolonialisme itu apa? KBBI melansir bahwa kolonialisme adalah paham tentang penguasaan suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Imperalisme adalah sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar.
Bagi bangsa kita, imbas kolonialisme dan imperalisme sangat buruk. Memporak porandakan, berbagai bidang kehidupan para pendahulu kita.
Seumpama Tubuh
Melihat kenyaataan menggetirkan itu. Mulai para pejuang bangsa, kiyai-kiyai, waktu itu berfikir dan memberontak melawan penjajah.
Tak pelak, muncullah perlawanan. Di berbagai daerah penjuru nusantara perlawanan terhadap penjajah digencarkan. Kondisi itu berlangsung cukup lama.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama sebelumnya akhirya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Setidaknya, bisa kita cermati, perlawanan para pendahulu kita terhadap penjajah yaitu: pertama, perjuangan bersifat lokal atau kedaerahan. Kedua, persenjataan. Dalam konteks ini, secara fisik para pendahulu kita berjuang dengan menggunakan senjata tradisional, seperti bambu runcing, golok, atau senjata tradisional lainnya. Ketiga, perjuangan mengusir penjajah waktu itu dikomandoi tokoh-tokoh karismatik, seperti tokoh agama, atau bangsawan. Keempat, perjuangan bersifat sporadis atau musiman.
Ilustrasi santri berjuang melawan penjajah
Sepintas dicermati, sikap kritisisme perlawanan tak jua membuahkan hasil. Malah, selalu gagal. Sebaliknya, rakyat nusantara kembali diberantas penjajah.
Bangsa ini tak ubahnya tubuh. Dan bernafas adalah tanda bagi tubuh yang hidup. Karena bangsa ini bisa lepas dari penjajahan asing berkat para pejuang dan juga santri, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa santri adalah separuh nafas bangsa ini. Kiyai dan santri telah memperlihatkan kontribusinya hingga bangsa ini tegak, kokoh berdiri. Keberadaan santri dan agamawan telah mampu mengharmonisasikan nilai agama dengan semangat nasionalisme.
BACA JUGA : merasakan kemewahan di tempat murah
Bangsa ini tak ubahnya tubuh. Dan bernafas adalah tanda bagi tubuh yang hidup. Karena bangsa ini bisa lepas dari penjajahan asing berkat para pejuang dan juga santri, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa santri adalah separuh nafas bangsa ini. Kiyai dan santri telah memperlihatkan kontribusinya hingga bangsa ini tegak, kokoh berdiri. Keberadaan santri dan agamawan telah mampu mengharmonisasikan nilai agama dengan semangat nasionalisme.
Kini, bangsa ini telah merdeka. Penjajah yang menginjakkan kakinya di tanah air telah enyah dan pergi jauh. Namun, bukan berarti semua sirna. Justru sebaliknya, cobaan dan tantangan ada di tubuh bangsa ini. Kelompok ini, berupaya untuk membenturkan agama dan negara. Tak hanya itu, mereka bersikeras untuk mengganti demokrasi dengan khilafah. Peliknya persoalan ini, membuat santri harus mampu berada dan berupaya untuk membendung kelompok yang memilih haluan menentang Pancasila dan demokrasi.
Desah nafas 'perjuangan' santri harus mampu mengimbangi persoalan kekinian dan masa depan, yang dapat menjadi ancaman bagi bangsa. Jika santri tidak mampu memaksimalkan peran itu, sulit rasanya membersihkan racun, penyakit yang mengganggu tubuh 'Indonesia.' Santri yaitu separuh nafas bangsa ini. Jika santri tetap istiqomah, pasti keberlangsungan bangsa ini, jauh melampui bangsa-bangsa lain.
Jika demikian sesungguhnya, bangsa ini pasti terlindungi dari kelompok usil yang coba me-(rong-rong) bangsa ini.
Hari ini tepatnya pada 22 Oktober 2021, seluruh santri di Indonesia akan merayakan Hari Santri Nasional. Peringatan Hari Santri Nasional di Indonesia ditetapkan di masa Pak De Jokowi melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional. Pak De hebat.
Dipilihnya, tanggal 22 Oktober sebagai perayaan Hari Santri Nasional didasarkan pada tanggal ketika Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menyerukan ajakan jihad, yang kemudian disebut sebagai Resolusi Jihad, untuk melawan tentara sekutu pada 22 Oktober 1945.
Resolusi jihad, cermin peran besar santri dalam menegakkan kemerdekaan. Resolusi jihad hendak menyatakan : "Perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa hukumnya fardhu’ ain (wajib bagi semua orang)". Seruan tersebut pun membuat para kaum santri turun ke jalan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada periode revolusi fisik 1945 -1949, tak sedikit santri yang kemudian berjihad. Mereka berusaha memberangus tentara sekutu dan penjajah yang kembali menginjakkan kakinya di tanah air.
"Pada hari santri ini, adalah hari istimewa bagi perjalanan kita bangsa. Dan sangat penting bagi kesadaran ummat beragama," tulis Kiyai Said Aqil Siradj di akun Instagramnya.
Ini berarti kaum santri dan segenap rakyat bangsa harus terbangun dari mimpi indah untuk menyongsong peradaban bangsa agar tidak tertinggal. Kaum santri harus bisa mengisi ruang-ruang sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Santri tak sekedar pintar agama tetapi juga melek teknologi. Santri tak hanya pandai berteori tetapi juga mahir mempraktikkan ilmunya. Kaum santri harus mampu berfikir ke depan: melampui yang lain.
Kaum muslim menjadi penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara. Wabil khusus, kaum santri: separuh nafas bangsa.
Cukup banyak tokoh-tokoh yang besar dari rahim pesantren telah membawa perubahan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur, Cak Nur, dan lainnya adalah sebagian kecil dari nama-nama besar itu.
Saya sendiri, bangga pernah nyantri meski tak bisa sehebat rekan dan sahabat sesama nyantri dulu. Yang saya syukuri meski tidak sehebat sahabat dan orang-orang yang alumni pesantren, saya masih tetap dikaruniai semangat yang tinggi untuk belajar.
Bagi saya, tak mesti lulusan pesantren harus jadi kiyai dan mubaligh. Tetapi santri bisa mengambil peran dalam ruang yang beraneka rupa: jadi pebisnis, pedagang, jadi politisi, petani, polisi dan yang lain tanpa pernah alpa bahwa jati dirinya: adalah santri. Apalagi melupakan guru-guru dan kiyainya. Jangan.
Akhirul kalam, menarik ungkapan Gus Mus berikut, "Santri bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berahlak seperti santri, dialah santri".
Selamat hari santri. Santri separuh nafas bangsa ini.
Mashur, MS, Penulis yang pernah nyantri dan kini penjual Madu. Bisa dihubungi di IG : masyhur1985@gmail.com
إرسال تعليق