By: Mashur dan Abdurrahman
(Tim Riset Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Lombok Barat).
Pernahkan anda membaca ‘Mozaik Budaya Orang Mataram’ atau ‘Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah’? Tak banyak orang menulis tentang sejarah dan revolusi di pulau nan indah ini. Dengan segala keterbatasan referensi yang ada, berbekal pengalaman yang dilaluinya, Jack begitu tokoh ini biasa dipanggil, menerobos lorong gelap itu dan menyinarinya.
Tanpa kepeloporan dan keberanian Pak Jack, kisah sejarah dan revolusi di pulau ini akan tetap menjadi lorong gelap yang sunyi. Berkat Pak Jack, generasi muda tak kehilangan jejak sejarah yang tertoreh di kota ini.
Faturrahman Zakaria lahir di Pagutan pada tahun 1934 dari pasangan Jakfar Siddiq dan Nafsiah. Dengan bekerja sebagai seorang buruh tani, sang ayah memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan tiga anak kesayangan ini.
Dengan kondisi seperti itu, Zakaria terbiasa hidup sederhana. Bahkan sangat sederhana. Tengok saja, ketika sekolah dahulu, Zakaria harus rela giliran memakai seragam yang sama dengan dua saudaranya yang lain, Muhiddin dan Mujtaba.
Sekalipun dalam kondisi memprihatinkan, semangat serta kemauannya untuk belajar tetap tinggi. Ia juga rajin ‘nyantrik’ dan menimba pengalaman dari orang-orang yang dianggapnya memiliki ilmu pengetahuan.
Kegigihannya membuatnya diterima menjadi guru honor di salah satu sekolah di Ampenan. Dengan penghasilan seadanya yang dimiliki, di usia 23 tahun, ia memutuskan untuk menikahi gadis sekampungnya.
Sebagai seorang pendidik inilah Jack muda mulai bersentuhan dengan tulis-menulis. Dari sinilah kemudian bakatnya sebagai seorang jurnalis terasah.
Beberapa waktu kemudian, dunia jurnalisme menjadi salah satu aktivitas yang ditekuni Jack. Hal ini tak lepas dari minat besarnya terhadap dunia teks dan semangat belajarnya yang tinggi.
Melihat semangat dan kegigihan seorang Jack, TGH Mustajab salah satu tokoh NU yang juga dari Pagutan, memintanya untuk dijadikan arbituren pesantren yang diasuh beliau. Ia pun memulai peran baru.
Kiprah Jack yang dekat dengan cucu TGH Abdul Hamid ini menarik perhatian pengurus Harian Duta Masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, Duta Masyarakat merupakan surat kabar milik NU yang diperhitungkan di tanah air. Jack pun direkrut menjadi kontributor untuk wilayah Lombok.
Aktivitas barunya di harian yang menghasilkan sejumlah jurnalis handal seperti HM Mahbub Djunaidy, HM Said Budairy dan HM Zain Badjeber ini membuat Jack muda semakin dekat dengan tokoh-tokoh NU. Mau tak mau, ia pun tumbuh sebagai aktivis sekaligus juga warga NU.
Putra Jack, MF Hafidz, mengenang ayahnya tak lama berada dalam struktur kepengurusan ormas yang didirikan oleh Hadratus syekh Hasyim Asy’ari ini. Sekalipun demikian, secara kultural beliau sangat kuat dan sangat dihandalkan oleh TGH Mustajab, tutur Hafidz.
Setelah malang-melintang di Duta Masyarakat dan menggawangi bidang organisasi dan kepemudaan di pesantren, Jack kemudian menambatkan sauhnya di Harian Gelora. Perlu dicatat, Harian Gelora merupakan salah satu media massa pertama dan satu-satunya yang ada di Lombok pada saat itu.
Di Harian Gelora ini, ia bahu-membahu bersama para pejuang NU seperti Hamzah Karim sebagai pendiri, TGH.M Anwar dan Sairul Lubis untuk menggelorakan aspirasi Partai NU. Tujuannya, menghantam dan membendung gerakan komunis. Sebagai ketua Ansor saat itu, Jack dengan kritis dan lantang menentang aksi-aksi agresif PKI.
Jack memang dikenal sebagai seorang pemberani. PKI dihadapinya secara frontal.
Selain sebagai ketua Presidium Harian Kesatuan Aksi Pengganyangan “G30S/PKI”, ia juga didapuk menjadi salah seorang pemimpin Front Pancasila di NTB. Dengan kiprah seperti itu, Jack merupakan sosok pemuda yang memiliki kontribusi besar dan berjasa bagi masyarakat NTB di masa-masa genting itu.
Sekalipun ia terkesan kaku dengan prinsip-prinsipnya, namun di mata keluarga dan orang terdekatnya, Jack sesungguhnya seorang humoris. Jika bercanda, ia mampu mencairkan suasana dan memantik gelak tawa.
Demikian pula, sekalipun cukup lama menjadi anggota DPRD, tapi tak nampak kesan sebagai politikus. Yang menonjol di mata putra-putrinya justru kesan sebagai seorang penulis dan pendidik.
Memang, semasa hidupnya Pak Jack pernah beberapa kali menjadi anggota DPRD Daswati II Lombok Barat di tahun 1960. Selanjutnya pernah menjabat Wakil Ketua DPRD-GR Lombok Barat dan Anggota Badan Pemerintahan Harian (ABPH) Lombok Barat sampai tahun 1971.
Setelah penguasa orde baru melakukan penyederhanaan kepartaian, Pak Jack menyalurkan aspirasinya melalui Golkar. Popularitas serta jasanya di mata masyarakat menyebabkannya dengan mudah terpilih dan menjadi anggota DPRD Tk I NTB selama tiga priode sejak 1982 sampai 1997.
Jack memang bisa memenangkan berbagai pertarungan. Baik melawan PKI maupun pertarungan memperebutkan suara sebagai anggota legislatif. Namun Jack gagal memenangkan pertarungan melawan usia.
Sebagai seorang perokok berat sejak masa mudanya, Pak Jack harus menyerah dengan penyakit paru-paru yang dideritanya. Beliau menghembuskan nafas terakhir pada 11 Desember dan dimakamkan pada 12 Desember tahun 2010 di pemakaman umum Pagutan.
Sebagian besar dari 76 tahun usia aktivis Ansor ini digunakan untuk menulis. Setelah beliau berlalu, koran-koran memang bermunculan namun tak ada lagi buku-buku tentang sejarah kota ini dituliskan.
Kini menjadi tugas kita sebagai generasi muda untuk melanjutkan tugas Pak Jack dalam menulis. Agar generasi ke depan tak lagi menempuh lorong kegelapan untuk mengetahui jejak sejarah kotanya.
Bagi mereka yang tak memiliki kekuatan, pena adalah senjata.
إرسال تعليق