Ramadhan sudah di ufuk senja

 


Foto: ilustrasi sempatbaca.com

 

Meski ramadhan tak hilang, pergi untuk selamanya, alias akan datang kembali tahun berikutnya, namun tak ada jaminan bagi kita bisa bertemu kembali


Penulis : Masyhur, MS

Penjual Madu


HARI-hari telah berlalu. Agaknya, suasana pun sudah mulai terasa beda. Seperti ada sesuatu yang berharga yang akan sirna, hilang. Boleh jadi, karena bulan puasa (ramadhan) yang tinggal hitungan hari. Akan segera berakhir.

Bulan penuh berkah “puasa” berada di pengujung, sudah di ufuk senja. Ia segera pamit pergi meninggalkan kita. Kaum muslim terutama.

BACA JUGA : Puasa dan Harapan Kita


Kalau pun “ramadhan” tak hilang, pergi untuk selamanya, alias akan datang kembali tahun berikutnya, namun tak ada jaminan bagi kita bisa bertemu kembali, di bulan penuh hikmah dan berkah itu. Sama halnya jaminan untuk melakoni kembali kewajiban berpuasa seperti yang saat ini kita laksanakan. Aduh, betapa sedih!

Persoalannya adalah Tuhan memberikan sesuatu yang terbatas kepada manusia, yaitu terbatas usia. Usia tidak bisa ditebak. Maka, pasti ajal datang menjemput. Manusia berada pada situasi “serba batas”, lantaran manusia harus mengalami kematian. Kembali ke pengakuan ilahi. Satu pristiwa yang tak mungkin bisa dihindari. Pasha, Ungu menyebut dalam lirik lagunya, “kematian tak bisa di hindari/kita tak bisa lari”.

Filsuf Jerman, Karl Jaspers, mengungkapkan bahwa kematian selalu menghadapkan manusia pada situasi batas (grenz-situationem). Kematian adalah mesti. Ia sebuah kepastian yang tak bisa dimonopoli orang/kelompok. Kematian yang dialami manusia membuat keberadaanya hilang. Harus lenyap dari muka bumi. Yang semula ada, menjadi tiada. Satu sinyalemen, tak ada yang abadi dan kekal, kecuali satu yang maha hidup: Allah. Kalau demikian adanya, kematian, seperti dikatakan Jaspers: menandakan suatu perjalanan manusia tentang ketidakmampuan asasi manusia yang sifatnya eksistensial (Thomas Koten, 2009).

Artinya, cuma Tuhan yang bisa mengendalikan apa yang ia ciptakan itu, termasuk urusan ajal. “Sayalah (rabb) yang hidup dan kekal, lagi terus menerus mengurus mahluknya” kata Allah dalam surah al-Imran ayat 2.

Sang pencipta-lah yang melebihkan dan mengurangi umur usia manusia. Hanya Tuhan yang menjamin setiap kita, apakah kita dipertemukan kembali atau tidak dengan bulan ramadhan pada tahun yang akan datang. Bukan orang tua, famili, orang yang kita cintai, rekan bisnis atau mungkin jabatan, tahta dan kekuasaan yang kita kejar dan perjuangkan selama ini, terlebih bila perjuangannya menghalalkan berbagai bentuk cara. Bahkan sesekali mencelakakan orang lain. Naudzubillah. Bukan itu.

 Tetapi do’a. Hanya doa yang bisa seorang hamba sampaikan kepada Tuhan, ke hadirat ilahi, agar usia bisa bertambah. Dan hidup kembali mengukir prestasi iman, Islam dan ihsan. Kongkritnya, menebar kebaikan, membangun keadaban kembali di bumi.  Do’a adalah bentuk sikap tawakkal seorang hamba kepada Tuhan. Juga refleksi dari sikap pasrah, tunduk pada pemilik semesta. Do’a adalah rupa kepasrahan total. Sebuah pengakuan akan ketidakmampuan manusia beragama menangkap segala misteri sehingga dahaga bathinnya terpuaskan. 

Saling Memberi

Pekan terakhir, terutama menjelang idul fitri disamping anjuran juga telah menjadi tradisi apa yang sudah umum kita kita kenal, yaitu saling memberi dan berbagi (filantropi).

Pada momentum itu, puncak

kedermawanan tiap muslim nampak terlihat. Meningkat. Diwujudkan dengan beragam bentuk dan cara. Kaum muslim yang merasa punya kelebihan rizki memberi apa yang dimiliki kepada sesama. Seolah ingin membagi kehangatan. Kebahagiaan. Dan berbagai bentuk kegembiraan lainnya. Sungguh indah.

Peduli, mau berbagi dan entah apa namanya, kepada sesama memang telah menjadi kewajiban. Terutama yang tidak mampu: fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Perintah ini bukan main manfaatnya. Tidak hanya dalam setiap apa yang kita miliki, ada hak orang lain sebagaimana dinyatakan kitab suci, melainkan pemberian terhadap apa yang dimiliki membawa angin segar atas perolehan harta yang dihasilkan serta dikeluarkan “zakat”. Hal itu disebabkan harta menjadi suci, berkah dan bertambah. Secara khusus, Tuhan pun berjanji memberi kelipatan minus untuk manusia. Bukan untuk dia. Qur’an surah Fushilat (46) menginformasikan: Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, pahala untuk manusia sendiri”.  Filantrofi dengan berbagai macam cara tersebut selain mendatangkan manfaat secara ekonomi juga menguatkan ikatan sosial yang terlihat mulai rapuh. Filantropi sangat penting dalam pemeliharaan dan peningkatan kohesi sosial (Azra, 2012). Dengan begitu, kelas-kelas sosial yang terus muncul ke permukaan, meski tak tidak sepenuhnya, bisa terkikis secara perlahan. 

Lebaran Tiba

Setelah sebulan penuh kaum muslim menjalankan ibadah puasa, Ramadhan 1436 Hijriah pun sebentar lagi segera kita tinggalkan. Bersama itu secercah harapan bagi semua bahwa setelah melewati tempaan sebulan beribadah mengendalikan gejolak pelbagai tuntutan nafsu, umat yang menyongsong hari kemenangan (idul fitri) akan melahirkan insan takwa: lebih utama, makin unggul dan berkualitas.

Demikian harapan seluruh kita, tujuan bersama. Kita mendambakan semua itu. Lebih-lebih sebagai bangsa yang masih berada dalam nuansa kprihatinan karena ditimpa berbagai  persoalan, melemahnya ekonomi, situasi politik yang masih belum stabil dan sebagainya. Belum lagi pekerjaan pembangunan bangsa dan manusia Indonesia yang lain. Untuk itu, sepatutnya dalam situasi yang demikian, kita menjadi lebih memiliki jiwa. Kuat menghadapi terjangan krisis multidimensi yang nampaknya belum menujukkan tanda-tanda berakhir. Membuat rencana-rencana yang baik untuk masa depan, juga siap menghadapi tantangan dan ujian di masa-masa yang akan datang.

Ketika lebaran tiba, gegap gempita menyambut semarak. Hampir seluruh masyarakat tumpah ruah di lapangan,  di tempat keramaian. Jelang idul fitri, nuansa kembali semarak oleh berbagai festival. Mulai dari tradisi mudik, berbagai rizki (infak, sadaqah) dengan sesama, pawai lampion, acara takbiran bersama dan keliling serta tradisi atau kebudayaan lain yang dimiliki masing-masing daerah, hingga acara halal bi halal. Ini tampak sekali seperti dinyatakan Mun’im Sirry (6: 2012) bahwa ragam festival tersebut menggambarkan kepada kita semua betapa peristiwa hari raya menjadi tradisi yang bukan milik kaum muslim, namun juga telah menjadi tradisi bangsa.

Tapi sayangnya, untuk kondisi sekarang ini,--menyambut hari yang fitri itu--agaknya tidak seramai yang kita bayangkan, lantaran pandemi Covid yang masih menjadi kekuatiran semua kita. Kita berdo’a semoga pandemi itu cepat berlalu.



Post a Comment

أحدث أقدم