SEMPATBACA.COM,
Ilustrasi/Sumber:
“Industri halal, menjadi instrumen pendorong tumbuhnya ekonomi Indonesia dan masyarakat dunia. Sebab kebutuhan terhadap industri halal, seperti makanan dan lainnya, semakin diminati penduduk muslim dunia. Semoga kebijakan/regulasi merger tiga bank menjadi bank syariah Indonesia/BSI, membawa angin segar"
Jumlah populasi muslim Indonesia terbesar dunia. Meski belum sepenuhnya mempengaruhi
aktivitas perekonomian selaras doktrin Islam di bidang ekonomi, mau tak mau
bisa diklaim menjadi kekuatan yang memicu Indonesia, mampu mewujudkan visi
pusat ekonomi syariah dunia (ES).
Ekonomi
Islam, yang di Indonesia lebih popular disebut Ekonomi Syariah (selanjutnya
ditulis ES) merupakan salah satu sistem ekonomi yang dikembangkan atas dasar
prinsip dan nilai syariah. Tertuang pula dalam masterplan ekonomi syariah 2019-2024.
Prinsip syariah dianggap sesuatu yang amat fundamental. Ia digali dari dua
sumber utama (Al-Qur’an dan Hadist). Karena itu memiliki substansi, samat
konferhensif. Meski kemudian, ada titik perbedaan dalam klasifikasi nilai,
prinsip.
Beragam
pendapat ahli, jika diurai lebih dalam ikhwal nilai dan prinsip ES. Meski
berbeda, pada prinsipnya berkaitan dan saling menguatkan.
BACA JUGA : Segelas TEH, Urusan BISNIS dan IBADAH
Secara
umum nilai dan prinsip ES, di antaranya, tauhid. Tauhid inilah inti ES. Tauhid
adalah prinsip dan sesuatu yang paling utama dalam ekonomi syariah. Lalu,
prinsip ini mengejewantah dalam nilai-prinsip ES yang lain, misalnya
pertanggungjawaban dan keseimbangan,
keberkahan dan keadilan serta lainnya.
ES
memiliki karakterisitik universal, relevan dengan semangat humanism. Sehingga mudah
diimplementasikan dalam kehidupan dalam berbagai kondisi. ES tak sekedar
menjelaskan tentang bisnis dan jual beli semata. Sebaliknya, ES lebih dari itu,
melampui nilai-nilai yang bersifat universal tersebut. Tujuannya berupaya
menciptakan maslahah bagi muslim dunia dan manusia secara keseluruhan.
Dalam
ES, selain terpateri nilai kebaikan dan harus dipatuhi. Sebaliknya, harus
dihindari bila berdampak buruk (individu, kelompok dan masyarakat). Dalam
konteks yang konkret, ES memandang bahwa sesuatu (yang dikonsumsi) bukan hanya
dilihat dari aspek utility. Namun, dinilai dari sisi manfaat: mengandung
kebaikan, kemaslahatan.
Ambil
contoh konsep halal. Halal tidak hanya dipersepsikan ‘benar’. Melainkan,
kehalalan juga berintikan bahwa apa yang dikonsumsi, dimiliki, intinya ada pada
sifat halalan tayyiban. Halal berimbas pada psikologis manusia: rasa aman,
nyaman dan tidak menimbulkan kecemasan. Artinya, bahwa bila dijamin halal,
sudah pasti baik untuk tubuh dan kesehatan. Demikian pula sebaliknya.
Akhir-akhir
ini, trend halal menemukan momentum luar biasa. Orang tak lagi memandang halal
sekedar baik dari cara memperolehnya, namun halal berkembang dan mengandung
pengertian bahwa bila sesuatu yang halal diperoleh, maka seorang individu,
kelompok (siapa saja) merasakan tidak ada gangguan dan rasa cemas.
Berkembangnya, konsep halal, sehingga dicanangkan industri halal, menjadi instrumen pendorong tumbuhnya ekonomi Indonesia dan masyarakat dunia. Sebab kebutuhan terhadap industri halal, seperti makanan dan lainnya, semakin diminati penduduk muslim dunia.
Industri Halal: Road Map Ekonomi Indonesia
Laporan
Pew Research Center Forum on Religion & Public Life, 2017 menyebutkan bahwa
populasi Muslim dunia diperkirakan akan meningkat sekitar 35 persen dalam 20
tahun mendatang, naik dari 1,6 miliar pada 2010 menjadi 2,2 miliar pada 2030.
Angin segar bagi dukungan pergeseran keinginan masyarakat terhadap produk
halal. Bahkan halal dijadikan sebagai alat ukur: apakah menentukan suatu produk
baik atau tidak?.
Mastercard-Crescenrating
Global Muslim Travel Index 2017 melaporkan, “Trend makanan halal terus
meningkat”. Jepang membutuhkan produk sertifikasi halal menjelang perhelatan
Olimpiade agar dilirik turis muslim yang datang dari berbagai belahan benua.
Satu juta wisatawan yang tiap tahun, berbondong-bondong ke Jepang, harus bisa
diakomodir untuk memenuhi kebutuhan ‘halal’. Lebih-lebih pemahaman masyarakat
terhadap makanan halal kian bagus (positif). Di mata mereka, tak sekedar
menyehatkan, tetapi bisa dikonsumsi siapapun tanpa (muslim-nonmuslim). Maka,
sadar atau tidak, halal menjadi fenomena lintas global. Tak pelak banyak negara
berebut “market halal”, tak terkecuali Indonesia, tak mau kalah. Sebagai negara
yang dihuni jutaan penduduk muslim, Indonesia sudah seharusnya menjadi pusat
pengembangan ES secara global. Take of ke arah sentra pengembangan ES, bukan
sesuatu yang mustahil. Bangsa kita punya kekuatan yang bisa mengerek
perekonomian bangsa agar bisa menjadi produsen agar semua kebutuhan (masyarakat
global) terhadap produk halal dapat diakomodir.
Tentu
tak mudah mewujudkan mimpi itu–bukan bim salabim. Terlebih bangsa kita masih
sedikit tertinggal dan belum optimal memanfaatkan potensi yang ada. Pun belum
memadainya infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, Indonesia
tergolong relatif tertinggal dibanding dengan negara-negara anggota ASEAN
lainnya (Respati, 2008).
Namun melihat, kebutuhan Indonesia terhadap produk halal, pun halal memegang saham terbesar di global halal industri senilai USD 1,303 miliar sebagaimana dirilis Data Global Islamic Economy Report 2018/2019 yang diprediksikan terus meningkat, maka pemerintah pun harus memberikan perhatian serius. Tidak hanya dalam bentuk ajakan dan sosialisasi, tetapi juga melalui perundang-undangan dan kebijakan. Lebih dari itu mewujudkannya dalam bentuk program nyata dan massif dalam berbagai bentuk.
Tantangan dan Upaya Sinergi
Halal bukan slogan belaka. Halal, lebih dari sekedar sabuk pengaman pengemudi bagi negara-bangsa yang hendak mengembangkan produk halal ES. Di dalamnya, memungkinkan terjaminnya segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan konsumen dunia. Yaitu kebutuhan yang cocok dan aman dikonsumsi. Tidak hanya, dari aspek spiritual aspect tetapi juga materialism aspect.
Halal bukan slogan belaka. Halal, lebih dari sekedar sabuk pengaman pengemudi bagi negara-bangsa yang hendak mengembangkan produk halal ES.
Oleh
sebab itu, hal di atas menjadi tantangan bagi Indonesia. Memanfaatkannya secara
maksimal adalah jawaban untuk memberikan sesuatu yang kontirbutif bagi
perekonomian bangsa juga dunia.
Penguatan
rantai halal (halal value chain) yang dapat menjamin konsumen dalam memenuhi
kebutuhan baik terhadap makanan dan minuman halal, pariwisata halal dan fesyen
muslim, media dan rekreasi halal, farmasi dan kosmetik halal, serta energi
terbarukan, sudah semestinya bersinergi dengan Komite Nasional Keuangan Syariah
(KNKS). Harapannya, dapat diupayakan langkah-langkah strategis sebagai pilar penguat
mengusung roda ekonomi Indonesia menuju pusat ekonomi syariah dunia. Juga agar
supaya, prinsip operasionalisasinya terwadahi satu pintu. Dengan begitu ada
garansi dari sistem kelola, prinsip dan kualitas yang dijalankan.
Bukankah
miris rasanya, bila industri halal yang dikembangkan berhubungan dengan
perbankan konvensional. Atau apa artinya, konsep halal yang dikembangkan, jika
tidak terjalin sinergi secara baik dengan keseriusan pemerintah membentuk KNKS
yang mengakomodir sektor keuangan.
Alhasil,
setali tiga uang, perlu ada revolusi birokrasi dan regulasi, penguatan human
resource, selaras dengan memadainya infrastruktur tekonoogi dan komunikasi agar
matang secara konsep, riil dalam wujud impelementasi. Jika demikian halnya,
mustahil ikhtiar mengkhianati hasil lantaran motif internal dan eksternal
include di dalamnya. Semoga kebijakan/regulasi merger tiga bank menjadi bank syariah Indonesia/BSI, membawa angin segar (
إرسال تعليق