Menyambung Sanad Bengkel, Dasan Geres dan Bagu


Keluarga besar Almarhum TGH Ahmad Asyari Dasan Geres saat silaturahim ke kediaman Datoq Bagu


Penulis : YUSUF TANTHOWI

SEMPATBACA.COM- Kami berangkat menuju Bagu setelah selesai sholat Ashar, Ahad (21/2) 2021. Menggunakan satu mobil. Kali ini saya datang bersama kedua mertua, H.Ahmad Alwi, BA dan Hj.Mahmudah–putri pertama alm TGH.Ahmad Asy’ari, pendiri Yayasan Pendidikan Hidayatuddarain. Ikut juga kakak ipar Ahmad Madani bersama istri Astuty dan ponaan Omera, Kaira dan si kecil Mizan. Istri saya, Hayatun Nufus dan dua anak saya - Ula, A’la juga ikut.  

Kedatangan kami khusus untuk silaturrahmi selaku anak, menantu, cucu, cicit keturunan TGH.Ahmad Asy’ari, Dasan Geres kepada TGH.L.Turmuzi Badarudin, Bagu. TGH.Ahmad Asy’ari senior dari TGH.L.Turmuzi Badarudin ketika sama-sama menjadi santri TGH.Sholeh Hambali, pendiri Ponpes Darul Qur’an Bengkel dan Rois Syuriah kedua PWNU NTB.

Setelah kami sampai, saya langsung menuju rumah kediaman Datok Bagu atau Datok Turmuzi – dua panggilan akrab yang biasa dipakai oleh warga NU untuk menyebut TGH.L.Turmuzi Badarudin. Sejak lama orang Lombok juga biasa memanggil nama tuan guru dengan nama asal kampungnya. Di teras rumah saya bertemu dan salam dengan ‘datok nina’ yang sedang duduk dikursi tempat menerima tamu. 

“Datok didalam, masuk saja. Ketok pintu kamarnya” katanya mengarahkan.

Saya pun melangkah menuju kamar yang dimaksud. Sambil salam saya masuk. Ternyata datok Turmuzi sedang duduk membaca kitab diatas ranjang tempat tidurnya. Wah seusia beliau masih jelas penglihatannya membaca kitab gundul yang tulisannya kecil-kecil dan rapat itu. Setelah menjelaskan dari Dasan Geres dan keluarga keturunan TGH.Ahmad Asy’ari beliau langsung mempersilahkan. 

BACA JUGA: Munas NU Lombok dan Bedah Buku KYAI AFIF di Garasi Rumah


“Alwi” katanya menyebut nama mertua saya.

“Ngih tok” jawab saya. 

Saya memang sudah sering datang menemui datok Bagu, baik dalam acara-acara NU atau kepentingan lain dengan teman-teman atau senior. 

Kamar pribadi tempat tidur TGH.L.Turmuzi menurut saya cukup kecil. Kamar tidur itu itu sudah penuh dengan lemari, ranjang tidur, baju-baju digantung ditembok dan tempat meletakkan kitab. Kalau beliau sholat dikamar pribadinya itu – tentu akan menghalangi orang untuk masuk kedalam karena letaknya depan pintu.        

Setelah perincangan akrab dengan mertua yang memang saling kenal dan berteman lama di NU. Di ijazahkan do’a dan diberikan air zam-zam, saya memanfaatkan kesempatan itu untuk menanyakan langsung hubungan dan kenanganya bersama TGH.Ahmad Asy’ari ketika sama-sama nyantri di Bengkel.

“Saya dengan beliau itu satu piring nasi, satu bantal dan satu kamar tudur” katanya. 

“Beliau pintar. Hapalan Al-Qur’annya bagus.Setiap pagi saya tukang simak hapalannya sebelum setor hapalan (ke TGH.Sholeh Hambali). Saya sendiri bukan penghapal ” tambahnya.

Kedekatan antara senior-yunior ini bukan hanya saat ngaji di Bengkel, tapi juga setelah mereka beranjak dewasa. Saat masih muda, TGH.Turmuzi juga sering datang ke Dasan Geres. Dulu ia belum menjadi tuan guru, ia biasa dipanggil Badarudin. 

“Pernah tiang diajak midang (ngapelin pacar) juga oleh beliau” ujarnya.

TGH.Turmuzi memang punya kenangan khusus dengan Dasan Geres. Beliau selalu mengusahakan untuk datang setiap keluarga TGH.Ahmad Asy’ari di Dasan Geres mengundang. Itu selama ada waktu dan tidak ada halangan. Hal itu terbangun tentu atas ikatan persahabatan dan sanad keilmuan meski salah seorang diantara mereka telah mendahului. 

Bukan kah sanad keilmuan dari seorang guru akan terus berkembang menjadi jaringan sosial politik yang luas dan kuat ditengah komunitas masyarakat.Dan jaringan alumni Bengkel sudah tersebar luas dan mengakar kuat di Lombok. Para alumni itu bukan hanya menjadi tuan guru, tokoh masyarakat, membangun pesantren, madrasah tapi juga penentu penguasa daerah. Termasuk peran mereka menancapkan akar NU di NTB. 

Mereka lah yang dalam perjalanannya mendominasi posisi syuriah dan tanfizd NU disemua tingkatan struktur organisasi NU – dari tingkat MWC, PC, PW sampai PBNU. Meski orang seperti TGH.Ahmad Asy’ari dan TGH.L.Turmuzi Badaruddin tidak mengenyam pendidikan formal di Bengkel. Keduanya hanya ngaji khusus – mungkin juga karena Darul Qur’an membuka pendidikan madrasah formal tahun 1955, sementara keduanya masuk Darul Qur’an jauh sebelum itu.[]

Post a Comment

أحدث أقدم