Datoq Gelogor, Lobi Sang Ayahanda dan Perang Dunia

 

Datoq Gelogor, TGH Ahmad Nasruddin

Nasrudin menikmati betul lingkungan barunya saat berada di Mekkah dan Haramyn. Terlebih jika kedatangannya ke tanah suci sangat direstui dan bahkan menjadi harapan sang ayahanda TGH Abdul Hamid.  Selama di Mekkah berikut dua saudaranya, ia menetap di kediaman Syekh Muhammad Mukhtar Sedayu Al-Ampenani. Syekh Mukhtar tak lain dan tiada bukan paman mereka, yang adik dari TGH Abdul Hamid.


Penulis : REDAKSI*)


Selepas di bangku sekolah formal, Nasrudin kecil, selang beberapa waktu kemudian langsung berangkat ke Mekkah. Kondisi berangkat ke Mekkah saat itu, terbilang ketat, lantaran Belanda melakukan pembatasan bagi jamaah yang hendak menunaikan ibadah haji. Meski ‘ketat’ Alhamdulillah Nasruddin bisa berangkat dan tinggal serta menuntut ilmu di Haramyn. Berikut ulasan Team sempatbaca.com.

  

SEMPATBACA.COM- Nasrudin kecil (selanjutnya nanti kita sebut Datoq Gelogor)—mengenyam pendidikan kali pertama, ditempa langsung sang ayahanda: TGH Abdul Hamid. Kitab suci Al-Qur’an menjadi menu prioritas yang diajarkan TGH Abdul Hamid pada salah satu putra kesayangannya itu. Juga ilmu-ilmu penting lainnya sebagai bekal mengarung bahtera samudera kehidupan di masa-masa yang akan datang.

Selanjutnya, Nasrudin, yang masa kecilnya tercatat di sekolah sebagai Ayub (menurut absen di sekolah) duduk di bangku sekolah Belanda. Sekolah tersebut, kini digunakan menjadi SDN 3 Gerung. Di bangku sekolah itu Nasrudin menghabiskan waktunya belajar. hal ini terjadi pada tahun 1908 hingga pada tahun 1914. Selepas di bangku sekolah, sekitar tahun 1915 Datoq Gelogor berangkat menuju Mekkah. Tujuannya melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu bersama 2 (dua) orang  saudaranya yakni Zainuddin dan Idris. Dua nama itu, berikut Nasrudin sendiri--di kemudian hari lebih sering dipanggil Datoq oleh masyarakat kebanyakan. Pertama  TGH. Zainuddin (Kakak Datoq Gelogor) dan TGH. Muhammad Idris (Adik Datoq Gelogor).

Saat hendak ke Mekkah, memang kondisi pada saat itu terbilang cukup genting. Belum lagi, pada tahun itu berbagai kebijakan tak hanya digencarkan bahkan akan diberlakukan oleh pemerintah Belanda. Salah satu misalnya terkait penundaan pengiriman jamaah Haji ke Mekkah. Apa sebab? Lantaran pecahnya Perang Dunia Pertama yang di mulai pada tahun 1914 hingga 1918.

BACA JUGA : Jejak-jejak Datoq Gelogor (Kisah dan Perjuangan TGH NASRUDDIN ABDUL HAMID, Tokoh dari Gelogor Kediri Lobar)

Kebijakan yang diberlakukan itu, dalam hal ini melalui Javasche Courant, tertanggal 17 Mei 1915. Isi kebijakan setidaknya mengenai kebijakan penghentian sementara (moratorium, istilah sekarang) untuk pengiriman jamaah haji di bawah pengawasan Hindia Belanda. Alasan yang mengemuka dikeluarkannya kebijakan itu, antara lain: mahalnya hidup di tanah Arab. Hal  ini karena beralihnya Kurs uang Turki terhadap Gulden Hindia Belanda. Selain itu, maskapai-maskapi pelayaran milik Kolonial tidak diperkenankan untuk berlayar menuju lokasi-lokasi Konflik tersebut. Tak pelak, bisa dibayangkan suasana dan kondisi yang terjadi pada saat itu, terutama warga masyarakat Indonesia yang hendak ke Mekkah.  

Tetapi, aneh bin ajaib, meski dalam  situasi dan kondisi yang terjadi saat itu, Datoq Gelogor bersama dua saudaranya berhasil sampai ke Mekkah. Datoq Gelogor melancong ke Mekkah melalui Embarkasi Ampenan, dengan Rute Singapura hingga tiba di Jeddah 8 Bulan kemudian. Mengapa bisa Datoq Gelogor mampu menerobos kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Belanda itu? Hal ini tak bisa lepas dari kedekatan hubungan nahkoda kapal-Kapal Inggris dengan keluarga Datoq Gelogor selama dirintis oleh Haji Abdul Hamid. Dari sini, dapat disimpulkan bagaimana kekuatan Abdul Hamid sehingga mereka terlindungi dari pengawasan Kolonial Belanda.

Tahun 1915 merupakan tahun yang special. Sebabnya, relative sedikit sekali jamaah yang mampu menuju Mekkah dan sampai tujuan dengan selamat kecuali atas perlindungan dari kedutaan kerajaan Inggris di Singapura.

Bagi Datoq Gelogor, tentu perasaan senang dan gembira sebab hajat dan keinginan berangkat ke tanah suci tak bisa disembunyikan. Perasaan itu, kalau dilustrasikan, “Tak ubahnya perasaan senang sang pria bertemu kekasihnya setelah sekian lama tak jumpa”. Dan saya kira itu hal yang sangat manusiawi, manakala seseorang bisa melewati tantangan dan rintangan jika berkeinginan ke suatu tempat. Bukankah begitu? 

Hari-hari pertama berada di negeri yang kali pertama dikunjunginya, tentu hal pertama yang harus dilakukan Datoq Gelogor adalah bagaimana bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang baru ia alami dan akan dilaluinya hingga beberapa tahun ke depan. Dengan usia yang cukup belia saat itu, hal yang tak mungkin dialaminya adalah butuh waktu agar bisa beradaptasi yang relatif lama selama berada di Mekkah. Terutama sekali ia harus beradaptasi dengan cuaca, lingkungan, budaya dan yang lainnya di tempat ia berada saat itu yang tentu sekali berbeda dengan kondisi di negara.

Menit berganti jam. Hari demi hari berlalu. Nasrudin menikmati betul lingkungan barunya. Terlebih jika kedatangannya ke tanah suci sangat direstui dan bahkan menjadi harapan sang ayahanda TGH Abdul Hamid.

Selama di Mekkah Datoq Gelogor bersama dengan saudara-saudaranya tinggal dan menetap di kediaman Syekh Muhammad Mukhtar Sedayu Al-Ampenani. Syekh Mukhtar tak lain dan tiada bukan paman mereka. Kata lainnya adik dari Haji Abdul Hamid.

Syekh Mukhtar, hari-harinya ia habiskan untuk belajar dan mengajar di Masjidil Haram. Sistem pembelajaran yang kerap diterapkan Syeh Mukhtar adalah model kholaqoh, salah satu sistem pembelajaran setingkat Ma’had Aly di beberapa tempat saat ini.

Waktu-waktu demi waktu dilaluinya. Musim berganti. Hingga, tak terasa 7 (tujuh) tahun Datoq Gelogor tinggal di Negeri Haramain. Berkisar dari tahun 1915 sampai 1922 Masehi.

Selama berada di negeri nun jauh di sana, selain belajar ilmu agama pada ulama-ulama Nusantara, Datoq Gelogor pula mencari tambahan Ilmu kepada tokoh dan ulama Ulama- ulama asli Arab yang derajat keilmuannya sangat diakui dan dipandang memiliki tempat di hati masyarakat Arab saat itu. Berbeda halnya dengan orang-orang asli Arab yang saat itu enggan belajar pada ulama-ulama nusantara. Mereka beralasan, “Masih memegang tradisi hanya belajar kepada ulama-ulama yang berdarah dan bergaris keturunan Arab saja” (Redaksi/Selesai)

*) Tulisan ini dimuat Tim sempatbaca.com bekerjasama dengan Lakpesdam PCNU Lobar berkenaan dengan program Genealogi Tuan Guru dan penulisan buku Tuan Guru NU Lobar

1 تعليقات

  1. Ton, datanya kurang akurat dikit, tgh muhtar sedayu dan tgh abdl hamid ayah tgh nasrudin glogor tdk memiliki hubungan darah, mereka sabatan bru pas

    ردحذف

إرسال تعليق

أحدث أقدم