Penulis : YUSUF TANTHOWI
Ada kejadian yang membuat saya sangat terkesan yaitu bedah buku, "Fiqh Tata Negara - Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam" karya KH.Afifuddin Muhajir. Tempatnya disebuah garasi rumah beralas karpet dan tikar dibawah pohon mangga milik salah seorang warga di Pagutan.
SEMPATBACA.COM - Tahun 2017 lalu, Mataram, Lombok beruntung dipilih oleh PBNU sebagai lokasi Musyawarah Nasional dan (Munas) dan Konferensi Besar (Kombes) Nahdlatul Ulama, Tanggal.23-25 November 2017. Entah kapan lagi sebuah peristiwa berkumpulnya para kyai dan tuan guru dari seluruh perwakilan Nusantara itu kembali terulang di Lombok.
Ini mengingatkan peristiwa yang sama di Bagu, Lombok Tengah tahun 1997. Salah satu keputusan dalam forum itu yang mengagetkan banyak orang dan dianggap fenomenal saat itu ketika Presiden Suharto masih berkuasa. Salah satu keputusan Munas itu, diperbolehkannya perempuan dipilih menjadi pemimpin. Tentu saja maksudnya bukan hanya pemimpin biasa dalam lingkup kecil tapi memimpin negara. Sebuah keputusan yang menggembirakan bagi kaum perempuan.
Kalau Munas NU tahun 1997, PBNU dibawah ketua Gus Dur, Munas NU tahun 2017 lalu diketuai Kyai Said. Dua sosok pemimpin NU yang pikirannya cakap mengulas masa lalu namun juga bisa menebak masa depan. Pikiran dan tindakannya keduanya kadang sulit dipahami oleh orang diluar NU, termasuk oleh warga NU sendiri.
Pemilihan lokasi Munas NU tentu punya pemikiran, pertimbangan dan kesiapan tersendiri. Munas NU di Bagu merupakan pilihan dan keputusan Gus Dur. Konon panitia bingung memilih lokasi Munas dimana, akhirnya panitia nyerah lalu menyerahkan kepada Gus Dur. "Di Bagu, Lombok. Pondoknya TGH.Turmuzi" kata Gus Dur santai.
BACA JUGA : Novelis Elizabeth dan Wajah ISLAM di Lombok
Panitia yang mendengarkan keputusan Gus Dur setengah bingung, Bagu, Lombok saat itu belum masuk dalam radar 'pondok atau kyai besar'. Datok TGH.L.Turmuzi Badarudin belum banyak dikenal oleh orang termasuk warga NU di Lombok. Nama beliau mungkin ditahu oleh masyarakat sekitar Desa Bagu, Narmada atau Bengkel. Panitia nasional dan daerah lalu kerja ngebut untuk menyiapkan segala kebutuhan dan kemudahan peserta Munas. Saat itu hubungan NU, Gus Dur dan pemerintah masih renggang.
Keputusan Gus Dur itu kelak membuat Bagu dikenal oleh publik secara nasional dan internasional sehingga Bagu kini ramai didatangi oleh banyak orang dari warga biasa, pejabat daerah sampai pejabat pusat termasuk presiden dan wakil presiden. Dulu jalan menuju Bagu itu jalan tanah, kiri kanan sepi, bangunan madrasah juga sederhana. Karomah Gus Dur, memang bisa mengubah yang biasa menjadi luar biasa.
Munas dan Kombes NU 2017 yang lalu juga begitu, panitia nasional dan lokal pasti punya alasan dan pertimbangan. Kali ini kesiapan Lombok sebagai tuan rumah tentu jauh lebih baik, termasuk dukungan dari dari pemerintah daerah. Apa lagi saat itu ada putra daerah yang sedang mencoba 'go nasional'. Momen Munas NU yang akan dihadiri oleh ribuan orang dan akan diliput oleh berbagai media nasional menjadi kesempatan emas yang sulit akan terulang kembali. Itu bisa menjadi jembatan 'go nasional'.
Di tengah agenda Munas dan Kombes NU 2017 yang padat - mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh banyak orang, ada kejadian yang membuat saya sangat terkesan yaitu bedah buku, "Fiqh Tata Negara - Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam" karya KH.Afifuddin Muhajir. Tempatnya disebuah garasi rumah beralas karpet dan tikar dibawah pohon mangga milik salah seorang warga di Pagutan. Acara yang dikemas sangat sederhana itu dimoderatori oleh KH. Abdul Muqsith Gozali dan KH.Afif mengulas isi bukunya.
Saya sendiri sebenarnya tidak tahu agenda bedah buku itu. Tujuan saya datang untuk bertemu dengan KH.Rumadi Ahmad - KH.Marzuki Wahid, Ketua dan Sekretaris Lakpesdam PBNU. Dalam hati, tidak enak rasanya tidak bertemu senior yang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Lombok. Ini namanya bertemu senior, sahabat tapi dapat bonus mendengarkan langsung pemikiran kyai alim. Saya juga beruntung dapat membeli buku beliau, karena banyak yang hadir ditempat itu tidak kebagian.
Bagi saya itu kesempatan langka dan berkah hadir di Munas dan Kombes NU. Setidaknya ini mengganti ketidakhadiran diforum Bahtsul Masail (BM) yang dipusatkan di Ponpes Darul Falah yang didirikan oleh Datok TGH.Abhar Muhyidin, Pagutan. Sebagai santri saya tentu ingin menyaksikan perdebatan dan cara pengambilan keputusan hukum oleh para kyai senior dan muda dalam merumuskan hukum Islam.
Apa yang saya tangkap dari peristiwa bedah buku digarasi rumah itu ?
Kesederhanaan dan keteladanan seorang kyai Afif. Saya tidak pernah membayangkan seorang penulis, apa lagi seorang kyai membahas sebuah buku penting karyanya disebuah garasi rumah warga. Yang hadir tidak semua masuk garasi, akhirnya duduk diatas tanah halaman rumah, dibawah pohon mangga. Lokasi rumah ini hanya beberapa puluh meter dari Ponpes Darul Falah sebagai lokasi Bahtsul Masail (BM).
KH.Maemun Zubair sempat datang menghadiri BM itu. Itu artinya, BM diponpes itu forum BM terakhir yang diikuti mbak Maemun. Dan mbah Mun memang dikenal sebagai salah satu 'bintang' forum-forum BM diberbagai helatan Munas & Muktamar NU. Dalam perjalanan NU, BM bukan sebatas forum debat dan mengumpulkan dalil tapi forum para calon pengurus Syuriah NU diberbagai tingkatan.
Padahal buku yang ditulis dan dibahas tema yang sangat penting dan berbobot. Landasan fiqh berbangsa dan bernegara. Mengulas pandangan Islam tentang dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Buku ini untuk menjawab keraguan dan penolakan sebagian orang Islam di Indonesia yang masih ngotot menolak Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.
Ini hanya dilakukan oleh seorang pakar dan ahli usul fiqh nan alim serta tawadduk dari Situbondo. Murid dan santri-santri beliau saja alim-alim dan pintar, apa lagi beliau gurunya. Padahal kalau beliau mau memanfaatkan prepilise ke kyai-an, kyai Afif bisa saja memerintahkan para santrinya khususnya organisasi IKSASS Lombok untuk membuat acara bedah / seminar buku yang lebih wah dari segi tempat dan jumlah peserta.
Maka ketika UIN Walisongo, Semarang memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa (HC) pertengahan Januari yang lalu kepada Kyai Afif sungguh menggembirakan banyak orang, bukan hanya bagi santri dan murid-murid beliau tapi juga orang-orang yang membaca karya tulis, fatwa dan kiprahnya di Ponpes Salafiyah Syafi'iyah / Ma'had Aly, Sukorejo, Situbondo, Jatim. Bagi mereka itu sebuah penghargaan dan penghormatan yang sangat pantas bidang keilmuan Fiqh-Usul Fiqh. Penghormatan itu juga sepadan dengan posisi beliau sebagai Rois Syuriah PBNU dan Ketua Bidang Fatwa MUI pusat. Wajar kalau ucapan selamat dan apresiasi datang dari mana-mana.
Ini lah salah satu kejadian unik yang saya temukan diarena Munas dan Kombes NU 2017 silam. Meminjam istilah Burhanudin Muhtadi, Ini lah mungkin salah satu bentuk 'kekecualian' (exceptionalism) NU. Organisasinya unik, orang-orangnya unik-unik, kepetusan-keputusannya pun tidak kalah unik. Dan hanya orang-orang yang membolehkan dirinya untuk berpikir unik yang bisa memahami hal itu. Semoga ada kesempatan dan waktu untuk dapat menghadiri Munas atau Muktamar NU dimasa-masa yang akan datang.[]
Keputusan Gus Dur itu kelak membuat Bagu dikenal oleh publik secara nasional dan internasional sehingga Bagu kini ramai didatangi oleh banyak orang dari warga biasa, pejabat daerah sampai pejabat pusat termasuk presiden dan wakil presiden. Dulu jalan menuju Bagu itu jalan tanah, kiri kanan sepi, bangunan madrasah juga sederhana. Karomah Gus Dur, memang bisa mengubah yang biasa menjadi luar biasa.
Munas dan Kombes NU 2017 yang lalu juga begitu, panitia nasional dan lokal pasti punya alasan dan pertimbangan. Kali ini kesiapan Lombok sebagai tuan rumah tentu jauh lebih baik, termasuk dukungan dari dari pemerintah daerah. Apa lagi saat itu ada putra daerah yang sedang mencoba 'go nasional'. Momen Munas NU yang akan dihadiri oleh ribuan orang dan akan diliput oleh berbagai media nasional menjadi kesempatan emas yang sulit akan terulang kembali. Itu bisa menjadi jembatan 'go nasional'.
Di tengah agenda Munas dan Kombes NU 2017 yang padat - mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh banyak orang, ada kejadian yang membuat saya sangat terkesan yaitu bedah buku, "Fiqh Tata Negara - Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam" karya KH.Afifuddin Muhajir. Tempatnya disebuah garasi rumah beralas karpet dan tikar dibawah pohon mangga milik salah seorang warga di Pagutan. Acara yang dikemas sangat sederhana itu dimoderatori oleh KH. Abdul Muqsith Gozali dan KH.Afif mengulas isi bukunya.
Saya sendiri sebenarnya tidak tahu agenda bedah buku itu. Tujuan saya datang untuk bertemu dengan KH.Rumadi Ahmad - KH.Marzuki Wahid, Ketua dan Sekretaris Lakpesdam PBNU. Dalam hati, tidak enak rasanya tidak bertemu senior yang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Lombok. Ini namanya bertemu senior, sahabat tapi dapat bonus mendengarkan langsung pemikiran kyai alim. Saya juga beruntung dapat membeli buku beliau, karena banyak yang hadir ditempat itu tidak kebagian.
Bagi saya itu kesempatan langka dan berkah hadir di Munas dan Kombes NU. Setidaknya ini mengganti ketidakhadiran diforum Bahtsul Masail (BM) yang dipusatkan di Ponpes Darul Falah yang didirikan oleh Datok TGH.Abhar Muhyidin, Pagutan. Sebagai santri saya tentu ingin menyaksikan perdebatan dan cara pengambilan keputusan hukum oleh para kyai senior dan muda dalam merumuskan hukum Islam.
Apa yang saya tangkap dari peristiwa bedah buku digarasi rumah itu ?
Kesederhanaan dan keteladanan seorang kyai Afif. Saya tidak pernah membayangkan seorang penulis, apa lagi seorang kyai membahas sebuah buku penting karyanya disebuah garasi rumah warga. Yang hadir tidak semua masuk garasi, akhirnya duduk diatas tanah halaman rumah, dibawah pohon mangga. Lokasi rumah ini hanya beberapa puluh meter dari Ponpes Darul Falah sebagai lokasi Bahtsul Masail (BM).
KH.Maemun Zubair sempat datang menghadiri BM itu. Itu artinya, BM diponpes itu forum BM terakhir yang diikuti mbak Maemun. Dan mbah Mun memang dikenal sebagai salah satu 'bintang' forum-forum BM diberbagai helatan Munas & Muktamar NU. Dalam perjalanan NU, BM bukan sebatas forum debat dan mengumpulkan dalil tapi forum para calon pengurus Syuriah NU diberbagai tingkatan.
Padahal buku yang ditulis dan dibahas tema yang sangat penting dan berbobot. Landasan fiqh berbangsa dan bernegara. Mengulas pandangan Islam tentang dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Buku ini untuk menjawab keraguan dan penolakan sebagian orang Islam di Indonesia yang masih ngotot menolak Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.
Ini hanya dilakukan oleh seorang pakar dan ahli usul fiqh nan alim serta tawadduk dari Situbondo. Murid dan santri-santri beliau saja alim-alim dan pintar, apa lagi beliau gurunya. Padahal kalau beliau mau memanfaatkan prepilise ke kyai-an, kyai Afif bisa saja memerintahkan para santrinya khususnya organisasi IKSASS Lombok untuk membuat acara bedah / seminar buku yang lebih wah dari segi tempat dan jumlah peserta.
Maka ketika UIN Walisongo, Semarang memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa (HC) pertengahan Januari yang lalu kepada Kyai Afif sungguh menggembirakan banyak orang, bukan hanya bagi santri dan murid-murid beliau tapi juga orang-orang yang membaca karya tulis, fatwa dan kiprahnya di Ponpes Salafiyah Syafi'iyah / Ma'had Aly, Sukorejo, Situbondo, Jatim. Bagi mereka itu sebuah penghargaan dan penghormatan yang sangat pantas bidang keilmuan Fiqh-Usul Fiqh. Penghormatan itu juga sepadan dengan posisi beliau sebagai Rois Syuriah PBNU dan Ketua Bidang Fatwa MUI pusat. Wajar kalau ucapan selamat dan apresiasi datang dari mana-mana.
Ini lah salah satu kejadian unik yang saya temukan diarena Munas dan Kombes NU 2017 silam. Meminjam istilah Burhanudin Muhtadi, Ini lah mungkin salah satu bentuk 'kekecualian' (exceptionalism) NU. Organisasinya unik, orang-orangnya unik-unik, kepetusan-keputusannya pun tidak kalah unik. Dan hanya orang-orang yang membolehkan dirinya untuk berpikir unik yang bisa memahami hal itu. Semoga ada kesempatan dan waktu untuk dapat menghadiri Munas atau Muktamar NU dimasa-masa yang akan datang.[]
إرسال تعليق