Ekonomi Syariah, Nilai Kehidupan dan Tatanan Dunia Baru

 




By: Masyhur

(Pengajar, Kepala Rumah Tangga dan Sedang Belajar Menulis)


KEHIDUPAN ekonomi sudah niscaya mengalami perubahan siklus dan dinamika. Mustahil, sistem ekonomi suatu negara selalu dalam kondisi stabil sementara sistem ekonomi di belahan negara lain terus terkapar dan berada dalam kondisi buruk. Yang ada adalah selalu terjadi pasang surut, maju mundur.

Kehidupan sosial ekonomi terus mengalami perkembangan seiring kehidupan sebagai yang pertama, kedua perkembangan teknologi dan ketiga globalisasi. Ketiga hal ini berjalan tiada henti. Pertama, kehidupan. Manusia hidup dan berevolusi. Mati satu, tumbuh seribu. Terjadi pergantian generasi dari satu masa ke masa berikutnya. Pergantian inilah yang senantiasa membawa perubahan baik dari segi karakter dan kpribadian. Sejarah masa lalu, menjadi saksi betapa perubahan demi perubahan telah terjadi dalam perkembangan kehidupan manusia.

BACA JUGA : Buku Baru-Filsafat Ekonomi Islam-Sinopsis


Kedua, teknologi. Kehidupan dewasa ini berada dalam revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 adalah kondisi dimana perkembangan hidup sudah semakin mudah dan gampang. Pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan waktu berjam-jam, dapat dikerjakan dengan tidak membutuhkan waktu yang panjang. Akses informasi dan pengetahuan begitu cepat. Berbagai perangkat tersedia untuk hampir seluruh kebutuhan dan keperluan hidup manusia.  Segalanya begitu mudah, cepat dan nyaman.

Ketiga, globalisasi. Globalisasi secara sederhana dapat disederhanakan dengan satu kata: mendunia. Artinya, sistem kehidupan terkoneksi dalam ruang lingkup yang lebih luas dan hampir tak tiada batas dalam berbagai bidang; sosial. Politik, ekonomi dan lain lain. Tidak hanya lintas bangsa tetapi juga negara, budaya dan agama. Hal ini kemudian berdampak pada cara pandang manusia terhadap segala hal. Semua aspek kehidupan, baik dalam kelompok sosial, suku, keluarga dan bahkan  individu pun seakan tak terpedaya menutup mata atas berbagai peristiwa terjadi. Interaksi dan transaksi antar individu, kelompok dan antar negara pun sebagai realitas tak tergantikan, harus dihadapi. Bangsa kita tak bisa lepas begitu saja dari kondisi yang dihadapi tersebut, sebaliknya harus mengambil bagian. Justru ketika ingin lepas, Indonesia akan tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa lain.

Kemajuan dan perkembangan hidup memang sebuah kondisi yang mengharuskan manusia-manusia untuk bersiap dalam segala hal, salah satunya kesiapan dalam aspek pengetahuan di berbagai bidang. Jika itu tidak ada dalam upaya menyongsong peradaban kehidupan dalam tatanan dunia baru yang kita hadapi, maka akan ancaman itu seakan mengahdang kita di depan mata. Sekarang, kita sudah bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri, berbagai perubahan telah terjadi. Seiring itu, kebijakan-kebijakan pemerintah telah menjadi keputusan untuk mengupayakan segala bentuk perubahan-perubahan sebagai instrument control (antispasi).

Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi pada saat ini ditandai oleh serangkaian kebijakan guna memperluas sekaligus mengembangkan aktivitas ekonomi dalam rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan kalangan pelaku ekonomi di tingkat internasional atau global. Negara-negara yang sudah berkembang, dengan begitu, harus berusaha menciptakan iklim politik yang terintegrasi untuk memperkuat ketahanan sosial yaitu menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Termasuk dalam kategori ini, Purnomo Yusgiantoro (Dalam Pengantar Buku, M. Bambang Pranowo “Multidimensi Ketahanan Nasional, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010, hlm.xiv) menyebutkan yaitu, kerap terjadinya konflik etnis, agama, budaya, kejahatan terorganisasi dan lainnya. Mengatasi ancaman ini, upaya pencegahan jauh lebih penting dari pada penanganannya.

Maka, memperkuat ketahanan social untuk terciptanya persatuan dan kesatuan nasional, barang pasti, harus sejalan dengan upaya membangun kehidupan ekonomi yang relevan dengan perkembangan yang terjadi secara global dengan tetap bersandar pada koridor kultur bangsa Indonesia. Berlanjut pada kekuatan negara untuk mengajak masyarakat agar dapat beradaptasi dan berperan serta dalam tatanan dunia baru (globalisasi, industrialiasi) yang tentu saja membutuhkan waktu yang tidak pendek dan stagnan. Muara semua itu, hanya untuk membuat masyarakat sejahtera dalam kemakmuran dan sejahtera dalam keadilan. Lalu dapatkah kesejahteraan terwujud?

Jawabannya bisa dua hal: iya atau tidak. Bila iya, sebagai pilihan pertama, hal ini dikarenakan bahwa secara sosial, peluang tatanan dunia baru atau globalisasi dapat membuka lembar baru karena dapat mempererat kesatuan dan keutuhan umat manusia tanpa memandang (SARA). Mengapa? Disebabkan, terjalin hubungan kerjasama dalam berbagai hal antar satu negara dengan negara lain. Dalam konteks ekonomi maka, hubungan kerjasama memberikan kemudahan antar negara untuk berhubungan dagang, bisnis dan hal lain yang bernilai ekonomi. Terlebih lagi, adanya pengetahuan-pengetahuan baru seiring itu, berbagai jenis mesin dan peralatan terus berkembang bak jamur di musim penghujan—kesemuanya itu, sangat memudahkan manusia untuk melakukan banyak hal di samping dapat menumbuhkan jiwa kreatif dan inovatif. Kemudahan dan inovasi yang lahir, kemudian berimbas pada adanya nilai dari sesuatu dihasilkan. Roda ekonomi terus berputar, sehingga memudahkan negara dengan mudah tumbuh dan berkembang.

Penjagaan terhadap nilai-nilai itulah yang dapat menjadi benteng kokoh bagi suatu bangsa dan negara. Di Indonesia, kita punya Pancasila sebagai dasar dan pijakan yang memuat nilai-nilai dan jati diri bangsa. Pancasila, sebagai sebuah dasar negara memuat konsep-konsep yang tak pernah kering diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk menangkal arus perkembangan yang semakin maju dan berkembang.

Jawaban berikutnya, bila tidak, tidak lain disebabkan ketidaksiapan sumber daya manusia untuk menghadapi tatanan dunia baru, yang dipersepsikan sebagai bayangan ketakutan dan ancaman oleh sebagian kelompok yang memandang sepihak. Terlebih lagi jika menengok gambaran tentang tatanan dunia baru (globaliasi) sebagaimana dinyatakan dinyatakan Azizy, “Kompetisi bebas dan perdagangan bebas yang menjadi “ideologi”-Nya, maka persaingan akan sangat keras. Jawaban tidak, akan terlihat juga manakala sebuah masyarakat dan negara tidak siap dalam banyak hal. Ada kecemasan-kecemasan yang meresahkan dan hinggap di sebagian cara pandang individu dan masyarakat. Dalam pada ini, maka suatu negara akan tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain. Jangankan membuat masyarakat hidup semakin sejahtera, yang ada adalah keuntungan ekonomi boleh jadi tak berpihak pada rakyat, masyarakat.

Namun demikian, bagaimanapun sesungguhnya, kemunculan persepsi tersebut tidak akan dapat mempengaruhi kpribadian individu dan masyarakat warga bangsa jika tetap berada dan senantiasa menjaga dan memelihara dasar dan pijakan sebuah bangsa dan nilai dasar kehidupan secara universal. Bisa diungkapkan bahwa, solusi bagi pilihan jawaban ‘tidak’ adalah bagaimana masyarakat sebagai elemen warga bangsa mampu menjaga dan memelihara dasar dan pijakan sebuah bangsa dan nilai dasar kehidupan secara universal. Penjagaan terhadap nilai-nilai itulah yang dapat menjadi benteng kokoh bagi suatu bangsa dan negara. Di Indonesia, kita punya Pancasila sebagai dasar dan pijakan yang memuat nilai-nilai dan jati diri bangsa. Pancasila, sebagai sebuah dasar negara memuat konsep-konsep yang tak pernah kering diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk menangkal arus perkembangan yang semakin maju dan berkembang.



Post a Comment

أحدث أقدم