Cerpen-Mengusir Sunyi dan Tangisan Si Kecil




Mengusir Sunyi dan Tangisan Si Kecil

 

SUDAH bertahun-tahun rumah itu, tampak sepi. Bagai tak ada penghuni. Padahal ukuran rumah besar semewah itu seharusnya nampak hidup meskipun dihuni dua orang: sepasang suami istri. Imin dan Minah ialah penghuni rumah yang letaknya berada di tepi sungai. Sungai itu berair jernih, bening, sebening embun pagi yang tak pernah alpa mengecup ujung daun.

Di samping kiri terdapat areal persawahan, luasya sejauh mata memandang. Aneka rerumputan yang tumbuh bersama tanaman padi yang menghijau di bawah birunya langit, terhampar luas, membuat kita betah duduk berjam-jam. Hijaunya mirip lapangan sepak bola megah di negeri entah berantah.  Apalagi bila dua sejoli dimabuk asmara menikmati. Pastilah enggan pergi. Sedang di sebelah kanan terdapat sungai. Menuju rumah si Danu dan Ratih, mestilah kedua kaki dan langkahnya mengapung di atas jembatan selebar 3 meter. Di bawah jembatan itu aliran air sungai mengalir cukup deras. Dan jembatan itu, seakan wajib di lewati sebab menjadi penghubung jika hendak singgah atau sekadar mampir di rumah milik si Imin.

Rumah Danu strategis. Letaknya tak jauh dari jalan besar yang biasa dilewati para pengendara mobil, sepeda motor atau para pengguna jalan. Bahkan jalan besar itulah; jalur utama dan sangat nyaman dilewati jika hendak pergi ke Kota. Sejak beberapa tahun terakhir daerah tersebut maju, berkembang pesat. Tak lepas dari perhatian pemerintah setempat. Menurut berita-berita di media cetak dan eletronik, konon pemimpin (Gubernur) daerah ini begitu merakyat. Kardi namanya.

Kardi. Iya, pak Kardi—sebelum jadi gubernur, asalnya memang orang berada. Punya harta melimpah tujuh turunan. Tetapi meskipun kaya raya dia tak sombong. Juga congkak. Dunia seniman adalah profesi yang ia geluti sebelumnya. Selain mahir menulis puisi dan cerpen, juga menulis naskah drama, sesekali juga tampil di panggung-panggung bermain teater dan drama bersama rekan-rekannya. Hampir setiap hari di berbagai media, karya berupa cerpen dan puisinya dimuat. Pun karir politiknya mentereng sejak ia mencoba terjun, terlibat di salah satu partai yang baru berdiri di negeri ini. Sehari-hari ia disibuki aktivitas seni. Tak heran sebagian orang memanggilnya seniman. Sesekali juga ikut serta dalam acara-acara politik. Kalau tidak lagi ada kegiatan partai, ia pasti nongol di Taman Budaya, kalau tidak di situ, ia pasti lebih memilih rumah sebagai tempat bersemedi; duduk depan laptop berteman segelas kopi dan sebungkus rokok di sampingnya, merampungkan tulisan-tulisan. Baginya, rumah adalah satu-satunya tempat paling indah. Bukan Mall. Bukan pula bangunan bertingkat, gedung pencakar langit.

Tetapi, sejak menang dalam pemilihan Gubernur, ia lebih banyak sibuk dengan urusan-urusan yang berbalik seratus derajat dengan apa yang digeluti sebelumnya. Meski demikian, ia tak pernah lupa begitu saja akan dunia yang melahirkan dan membesarkan namanya: dunia seni. Pada saat pemilihan waktu itu, dia adalah salah satu wajah pendatang baru sebagai kondidat. Dalam setiap kampanye ia selalu ditemani para seniman-seniman. Sastra adalah salah satu modal yang ia jadikan sebagai slogan kampanye, selain pendidikan, kemiskinan dan pembangunan.

Ia seniman yang sering diberitakan banyak media, cetak-online. Kalau dulu muncul karena karya-karyanya berupa sajak, cerpen dan kritik sastra, tetapi sekarang, ia muncul dengan wajah berbeda. Dengan inovasi-inovasi program, lonjakan kemajuan ekonomi dan program pengentasan kemiskinan. Awalnya, banyak yang psimis dengan naiknya dia ke tampuk kekuasaan menjadi gubernur. Tetapi ia menghapus jejak psimis masyarakat, seperti ia menghapus kesunyian dan kegelisahannya melalui puisi dan cerpen.

Dua tahun lalu, media pernah menurunkan berita tentang profil dirinya, berjudul, “Tokoh, Sastrawan yang Mengerti Jeritan Hati Rakyat”. Sontak tulisan itu heboh, jadi berita hangat saat itu. Tidak heran kemudian, Koran edisi esok setelah berita tentang dirinya muncul, banyak komentar dan berita yang merespon sangat positif berita tersebut. Salah satunya, tulisan seorang akademisi Lulusan Timur Tengah, namanya Abad Abid. Kata penulis itu, ia memang pemimpin yang tahu kebutuhan rakyat, merasakan jeritan rakyat dan masyarakatnya. Jiwa kepemimpinan yang ia miliki, tidak lain dan tidak mungkin terbentuk oleh dunia yang mengitarinya; sastra. Sastra….”.

Danu beruntung hidup di masa pemerintahan pak Kardi. Di tengah geliat provinsi yang mau maju, pesat. Terlebih gaya dan program prioritas pemimpinnya yang visioner. Tidak heran, usaha Danu kian maju. Berkembang. Tak lain karena mendapat dukungan pemerintah, dalam mengentaskan masyarakat melalui program usaha kecil dan program sejuta koperasi setahun.

Wajahku redup. Layu. Hati Minah istriku resah. Sejuta gundah hinggap. Seperti burung-burung yang tengah hinggap di ranting, dahan pohon. Melepas lelah karena sejak pagi terbang keluyuran mencari makan.

Meskipun Danu seorang yang sukses. Sayang, ketenarannya tidak membuat rumahnya ramai dan banyak didatangi pengusaha. Orang-orang penting, sukses dan pakai dasi. Sebaliknya rumah yang ia tempati selalu sepi dan sunyi. Rumahnya tak seelok tanaman hias dan bunga-bunga pada taman dekat rumahnya. Sebaliknya, rumah itu ia rasakan hampa. Hambar. Tak semerbak wangi bunga mawar, kamboja, seet alysum, dan bunga yang tumbuh bejibun. Tak ramai, seperti gemericik aliran sungai yang mengalir dekat rumahnya. Ia hanya tinggal berdua bersama Ratih. Ratih adalah perempuan berdarah Belanda yang ia persunting sembilan tahun silam.

Sembilan tahun umur pernikahan keduanya, belum juga memiliki keturunan yang kelak meneruskan perjuangan dan mewarisi harta. Tuhan belum mengkaruniakan seorang bayi di tengah kehidupan mereka. Rumah itu sepi. Rumah itu bak hutan belantara yang ditinggal binatang dan hewan serta seluruh penghuni di dalamnya. Rumah itu tak ubahnya seperti tanah gersang, tandus, lantaran bertahun-tahun dilanda musim kering, sebab tak betah lantas ditinggal pemiliknya.

**

“Kata orang, sebesar dan sebagus serta semewah apapun rumah yang kita miliki, akan terasa sepi, sunyi, jika tak ada seorang anak. Tak ada suara tangisan si bocah. Suara tangis seorang bayi yang senantiasa memecah keheningan malam. Menemani hari-hari yang ia lalui selama bertahun-tahun. Seorang bayi sebagai bukti bahwa eksistensi seseorang ada. Dan hidup di dunia yang serba sementara dan terbatas. Segala yang dimiliki, rasanya tak berarti jika kehadiran seorang bayi di sebuah keluarga tak ada.”

Aku terkejut. Aku menoleh kanan dan kiri.  Siapa yang sudah berujar begitu menggelitik kepadaku. Ternyata tidak ada orang. Itu pikiran-pikiran yang mengacaukan saat duduk sedari tadi.

“Semua itu muncul tiba-tiba. Barangkali terlalu terobsesi oleh berbagai peristiwa yang terjadi sejak kemarin,” kata Danu. Ia menggumam.

Wajahku redup. Layu. Hati Minah istriku resah. Sejuta gundah hinggap. Seperti burung-burung yang tengah hinggap di ranting, dahan pohon. Melepas lelah karena sejak pagi terbang keluyuran mencari makan.

“Pusing pak?”

Aku mengangguk.

“Saya ambilkan rokoknya?”.

Iya mama.

“Di mana. Tumben bapak tak menyimpan rokok di saku celana”

Iya tadi lupa. Itu, ada di atas buku yang bapak beli kemarin di Jogja.

Istriku manggut-manggut. Senyum.

Keciap…keciap. Suara burung terdengar riuh. Merdu. Udara begitu segar. Suara kendaraan sudah mulai mengusik.

“Pak aku mau ngomong sesuatu. Bapak pasti senang mendengarnya”

Ngomong apa?

Ada. Pokoknya, kejutan Pa.

Aku muntah-muntah pagi tadi. Tak sabar, aku tanyakan pada bidan di kampung sebelah. Tak lama, setelah diperiksa, si dokter bilang, ternyata, aku hamil.

Danu teriak kegirangan. Ia mencium-cium buku dan Qur’an yang ada di sampingnya mendengar cerita dari Minah istrinya.

“Sungguh. Apa benar apa yang kau ungkapkan?”

**

Detak waktu berputar mengitari jarum jam. Hari berganti Minggu. Bulan demi bulan tanda-tanda persalinan kian dekat.

Tak lama, Minah pun melahirkan seorang bayi. Tepat malam Jumat, anak itu terlahir dengan selamat, begitu juga Minah istrinya. Syukuran tujuh hari tujuh malam pun digelar.

Kehadiran seorang bocah kecil yang ia nanti-nanti Sembilan tahun lamanya telah tiba. Iya, hari ini. Bukan main senangnya. Apalagi di tengah semua usaha dan upaya ia lakukan, termasuk Nadzar puasa selama dua bulan penuh serta janji memberangkatkan seantero warga kampung umrah. Bayi itu hadir, saat sudah tak ada harapan. Rasa putus asa begitu sesak, perasaan bagai dihimpit tembok-tembok kokoh.

  Kini, semua terasa lain dan berbeda. Sejak lengking tangis suara bayi selalu terdengar dari rumah Danu, suasana rumah berubah total. Orang-orang ramai berdatangan. Ucapan selamat persis daun-daun berguguran di musim kering datang tak henti-henti. Para pejabat dan bos-bos perusahaan berdatangan. Jalanan macet sehari semalam gara-gara mobil parkiran berderet sepanjang jalan. Semua hanyut dan lebur dalam isak tangis yang terus mengalun. Tangisan si kecil yang baru lahir. Menghapus sunyi, membendung badai. Mengusir gerimis.

 

Batulayar, 2017

 

*) ABU NIZAM: Penulis lahir di Lombok Barat 05 April 1984. Penulis lepas dan Penikmat Karya Sastra.

 

Post a Comment

أحدث أقدم