Sepenggal Kisah; Tiga Bersaudara Lumpuh yang Berjuang Hidup




 

Kerasnya kehidupan dialami tiga bersaudara, Bahrudin, Wati, dan Jiah. Mereka berjuang dan bertahan hidup dalam kondisi lumpuh tak berdaya. Menua bersama dalam satu atap. 



SempatBaca.com  – Sosok perempuan bertubuh tipis duduk di tepian kusen pintu kamar di ruang tengah. Keningnya mengerut begitu menyambut kedatangan tim report.


Dia heran kedatangan seseorang yang tak dikenal. Namun, seketika wajahnya berubah datar setelah Radar Sampit memperkenalkan diri.


Dialah Wati, 44, warga Desa Bapinang Hilir, Kecamatan Pulau Hanaut, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Sudah belasan tahun wanita itu menderita lumpuh di kedua kakinya.


Wati yang mengenakan setelan baju hitam bermotif batik dengan celana panjang abu terang, duduk tak bergerak selama kehadiran Radar Sampit. Dari ruang tengah, terlihat sosok lelaki hanya mengenakan sarung terbaring lemas di dalam kamar. Tulang rusuknya tampak jelas. Sebelah tangannya ditekuk, sebelahnya lagi menyentuh lantai berkonstruksi kayu ulin. Pria itu merupakan saudara kandung Wati, Bahrudin, 48.


Dari kejauhan nampak sosok perempuan mengenakan baju merah muda bermotif hitam putih dengan setelan celana panjang abu gelap, duduk di dapur. Kondisi wanita bernama Jiah, 40,  itu  tak jauh berbeda dari dua saudaranya.


Radar Sampit berupaya mendekat untuk mengajak berinteraksi. Tutur kata Jiah lugas dan nyaman diajak berbincang. Berbeda halnya dengan Wati yang sedari tadi masih duduk di tepian kusen pintu. Dia tak begitu fasih berkomunikasi.


Sesekali dia terjatuh terlentang sendiri karena terlalu lama duduk. Kondisi yang lebih parah juga dialami Bahrudin yang terkujur kaku tanpa suara.


Ketika itu Jiah baru saja menyelesaikan pekerjaannya; mengupas bawang merah. Delapan siung bawang merah diletakkan di atas cobek. Tepat di depannya terdapat dua baskom berukuran sedang berwarna hijau yang ditutup dengan baskom lainnya. “Ini mau masak ayam. Sudah dibumbu, tinggal masak buat makan malam,” ucap Jiah seraya membuka baskom yang tertutup berisi potongan ayam.


Matanya lalu tertuju ke alat penanak nasi listrik berukuran sedang berwarna putih. ”Nasi juga sudah dimasak,” ujarnya.


Peliput terus mengamati aktivitasnya selama di dapur. Meski kakinya ditekuk, tangannya terlihat gesit memasak. Ketiga bersaudara ini tinggal di atas rumah panggung berkonstruksi kayu. Rumahnya dipoles berwarna biru dengan cat yang sudah terlihat usang.


Di area dapur juga terdapat tilam lengkap dengan kelambu merah magenta. Tilam ini sebagai tempat peristirahatan Wati, sedangkan Jiah tidur di ruang tengah, di atas kasur kayu dan Bahrudin tidur di kamar seorang diri.


Tak sengaja Radar Sampit melihat lengan kiri Jiah terluka. Lukanya sudah mengering, namun belum sembuh. Jiah mengatakan, luka itu terjadi karena sekitar seminggu lalu tubuhnya kejatuhan kaca. ”Sudah mau sembuh,” ujarnya.


Kepada Radar Sampit, Jiah mengisahkan perjalanan hidupnya yang sudah mulai mengalami gejala lumpuh sejak usia lima tahun. Selama belasan tahun dia hidup ditopang tongkat kayu untuk berjalan. Namun, kondisi itu semakin parah selama tiga tahun terakhir kedua kakinya semakin melemah dan tidak bisa berdiri tegak.


”Dulu masih bisa belanja ke warung bawa tongkat. Sekarang berdiri saja sulit,” ujarnya.


Meski demikian, kondisi itu tak ingin membuatnya berlarut meratapi nasib. Di antara dua saudaranya, Wati dan Bahrudin, Jiah masih terbilang kuat karena masih sanggup berdiri walaupun harus memegang dinding sebagai penopangnya.


Kebetulan ketika itu adik bungsunya, Murjini, 29, datang bersilaturahmi. Sudah sejak Kamis (2/7) lalu dia pulang karena Bahrudin dalam kondisi sakit.


”Saya bekerja jadi buruh sawit di perusahaan PT TAS di wilayah Kecamatan Parenggean. Dapat kabar abang (panggilan kakak laki-laki, Red) dikabarkan sakit asma dan semakin parah kondisinya dan Nenek juga sakit tinggal di rumah yang berbeda tetapi dekat sini saja,” ujar Murjini.

Menurut Murjini, ketiga saudara kandungnya yang mengalami lumpuh tinggal bertiga dalam satu atap, sementara dia bekerja di Parenggean.


”Saya tidak tinggal di sini karena sulit mencari pekerjaan. Ini pun saya terpaksa izin karena keluarga sakit. Saya harus kembali ke Parenggean sore hari untuk kembali bekerja,” ucapnya.


Murjini mengatakan, kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Ibunya, Maryana, lebih dulu meninggal dunia pada tahun 2006. Disusul ayahnya, Mas’ud, pada tahun 2009. Sejak orang tuanya meninggal, tak ada keluarga yang bisa mengurusnya.


”Ada saja amang (paman, Red) tetapi kondisinya sudah tua, jadi tidak bisa maksimal mengurusi saudara saya yang lumpuh,” ujarnya.


Murjini merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Namun, saudara sulungnya, Bahrin, telah meninggal dunia. Tiga saudaranya lumpuh dan hanya Murjini yang normal.


”Abang (Bahrudin, Red) baru satu minggu ini saja terbaring lemas. Sebelumnya masih bisa berjalan dengan merangkak. Asmanya juga sering kambuh,” ucapnya.


Selama dia di Parenggean, Murjini berupaya menjadi tulang punggung keluarga. Membantu semampunya. Salah satunya membeli keperluan Bahrudin yang akrab disapa Ondoi. ”Abang tak bisa lepas dari obat. Asmanya sudah parah dan harus minum obat,” ujarnya.


Selama dia bekerja di Parenggean, saudara-saudaranya terpaksa mengurus segala kebutuhan sehari-hari masing-masing. Meski demikian, untuk keperluan makan dan minum, masih sangat tercukupi dengan mengharapkan bantuan pemerintah.


Bahrudin tercatat sebagai warga penerima program keluarga harapan (PKH) dan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Namun, ketiga saudara Murjini tak ada yang memiliki KTP. ”KTP tak ada. Kartu Keluarga (KK) ada, tetapi itu datanya ada kesalahan dan kepala keluarga masih almarhum abah (Mas’ud, Red), belum diperbarui,” ujarnya.


Dari ketiga saudaranya yang lumpuh, hanya Wati yang memiliki kartu JKN-KIS atau kartu BPJS dengan hanya mengandalkan KK. ”Wati sudah punya Kartu BPJS, tetapi semua belum punya KTP. Waktu itu buat pakai KK saja,” ujarnya.


Nurminah, 65, bibi mereka mengatakan, kondisi lumpuh yang dialami Bahrudin, Wati, dan Jiah terjadi bukan sejak lahir. Wati lebih dulu mengalami gejala sakit. ”Sekitar umur sepuluh tahun dia sakit demam dan kejang-kejang. Tidak lama kakinya mulai kesulitan bergerak. Setelah itu Bahrudin yang lumpuh,” ujarnya.


Nurminah mengatakan, ketika usia remaja, Bahrudin masih bisa bermain sepak bola dan masih bisa bekerja memotong kayu. ”Bahrudin sudah sakit lumpuh sekitar usianya 15 tahun. Jalannya merangkak, tetapi masih kuat beraktivitas,” ujarnya.


Bahrudin bahkan sempat menikah dengan perempuan asal Desa Kuin dan memiliki anak berusia sekitar sepuluh tahun. Namun, istrinya meninggalkannya dengan membawa anaknya. ”Anaknya ada satu. Tetapi istrinya meninggalkannya karena Bahrudin sudah tidak bisa memberi nafkah. Terakhir ketemu saat anaknya lahir, minta tanda tangan untuk akte kelahiran anak. Setelah itu istrinya tak pernah datang kemari lagi,” ujarnya.


Ketua RT 1, Azis Muslim mengatakan, pihaknya sudah berupaya membantu saat ketiga bersaudara itu kesulitan. ”Warga sekitar sini berharap ada orang yang bisa merawat. Sudah ada, tetapi bayarannya belum jelas,” ujarnya.


Kepala Desa Bapinang Hilir Bahriansyah membenarkan bahwa pihak desa sudah berupaya membantu mengurus pembuatan KTP-el. Namun, masih belum direspons pemerintah.


”Sudah ada bantu mengurus, tetapi kondisi warga kami tidak mungkin ke kota. Pihak Disdukcapil mungkin juga kesulitan karena harus datang jauh-jauh kemari melakukan perekaman,” tandasnya.


Sumber: Jawa Pos

 


Post a Comment

أحدث أقدم