Mungkinkah kita hidup untuk selamanya / Mungkinkah kita mati membawa harta/ ……
/ Hidup di dunia
hanyalah sementara
Bergegaslah...
Bertobatlah.../ Bergegaslah... Bertobatlah...
Wahai manusia (Pasha, Ungu)
SEBELUM
menulis uraian sebagai tanggapan, juga upaya menarik substansi terhadap
baris-baris dan bait salah satu tembang Pasha-Ungu, topik ini, saya pikir tidak
pernah basi untuk diulas dan diketengahkan kembali ke hadapan kita. Sebab,
ketika berbicara tentang hidup, kita secara tidak langsung dipaksa berbicara
tentang kematian. Dan kedua-duanya (hidup-mati), memaksa siapa saja (setiap
manusia)--karena pada manusia melekat sifat terbatas, serba kekurangan—untuk
bersinggungan dengan sesuatu yang tak akan pernah abadi. Karena ia terbatas dan
serba kekurangan, maka hidupnya, manusia juga pasti: bersifat sementara.
Kita
mulai mencermati bait demi bait Tembang Ungu Pasha itu cukup membuat kita
tercengang. Kita tidak ingin focus terhadap siapa yang menyanyikan tembang itu,
dalam hal ini Pasha-tetapi kita fokus untuk menangkap substansi dari bait labu
itu. Baik, bahwa secuplik bait lagu di atas, mau tak mau, bagi kita, membuat
perasaan tercengang merenungkannya, tetapi juga, tak hanya itu, melainkan
menyanyat hati dan nurani kita. Bahwa; tak ada manusia satu pun yang akan hidup
selama-lamanya. Tak ada satu pun manusia akan membawa hartanya ketika kelak
ajal datang menghampirinya. Ia pun kemudian, pergi untuk selama-lamanya
meninggalkan dunia. Sebaliknya yang dibawa hanya kain kafan. Benarlah bahwa
hidup ini hanya sementara. Keserbasementaraan seperti mengajak kita merenung.
Ajakan berpikir menekankan sifat ulil
albab pada diri insan ciptaan Allah. Ulil
albab adalah orang-orang yang mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri,
duduk ataupun dalam keadaan berbaring.
Pesan hidup sementara, bukan berarti ; orang pasrah menjalani hidup, pasrah untuk berjuang, berusaha, menghadapi musibah, menghadapi tantangan. Pasrah yang dimaksud tak lain kecuali dan atau melainkan pasrah setelah segala hal hendak dicapai bila telah melakukan berbagai upaya, usaha
Banyak sekali ungkapan yang menunjuk pada insan ulil albab makna yang terkandung dalam Al-Qur’an; mendorong pentingnya berfikir dan merenung tentang segala hal, dan yang paling dekat dengan apa yang kita rasakan, adalah merenungkan tentang hidup. Dengan merenungi apa arti hidup sesungguhnya, maka kita dapat merasakan bahwa hidup itu ada akhirnya. Dengan kata lain, yang paling pokok dari ulil albab tersebut, adalah manusia tak pernah lupa dari mengingat Allah, zat yang maha abadi dan kekal, sedangkan manusia melekat padanya sesuatu yang terbatas dan bersifat ‘sementara’. Dengan melekatnya keadaan/kondisi sementara ini, dengan begitu tak ada yang perlu disikap secara membabi buta, entah itu harta, jabatan, kecantika, kesenangan dan sebagainya.
Pesan
hidup sementara, bukan berarti bahwa
seseorang pasrah menjalani hidup. Pasrah untuk berjuang, pasrah untuk berusaha,
pasrah menghadapi musibah, pasrah menghadapi tantangan. Terlebih di tengah
terpaan badai dan ujian, berupa peristiwa dan bencana, mewabahnya berbagai
penyakit mematikan, seperti yang saat ini terjadi—menyebarnynya Covid-19—yang
sebelumnya menimpa negara kaya China tepatnya di Wuhan, dan sekarang menimpa
republik tercinta. Jikalau hanya pasrah di tengah pandemi Corona, sementara
secara jelas-jelas, kita mengetahui secara pasti bahwa dampak yang ditimbulkan
oleh Covid-19 begitu dahsyat dan mengancam ribuan nyawa, maka kepasrahan hanya
akan membuahkan penderitaan dan kesengsaraan. Padahal jelas-jelas, kita
dianjurkan untuk menjaga diri, agar terhindar dari bencana dan penyakit.
Untuk itu, maka pasrah yang dimaksudkan tidak
lain kecuali dan atau melainkan pasrah setelah segala hal yang ingin dicapai
dan dikhtiarkan apabila telah melakukan berbagai upaya, usaha dan ikhtiar untuk
mendapatkan apa yang dikehendaki, untuk jalan kebaikan, keselamatan dan tujuan
kemaslahatan hidup. Juga pasrah pasca berusaha dan berjuang untuk menghindar
dari apa yang kita takuti, penyakit, bencana kehidupan dan yang lain-lain (bersambung)
إرسال تعليق