Mengejar Bahagia Mesti Sejalan dengan Suruhan Agama




Ilustrasi, https://www.google.com/search?q=bahagia+wanita+muslimah&tbm=is



Dalam hidup yang sebentar ini, tidak ada yang tak ingin bahagia. Kita semua mendambakan kebahagiaan itu


Itu pulalah mengapa Kebahagiaan itu dikejar, diperjuangkan. Aneka cara pun dilakukan. Seakan tiada pentahbisan. Tidak ada ujung dan tepi.


Dalam proses berjuang, cara yang orang lakukan, pasti beda-beda.  Meski begitu tujuannya tetap sama, yakni meraih bahagia : bahagia di dunia dan akhirat.


Bagi saya, secara sederahana, kebahagiaan itu tampak pada dua hal. Yaitu kebahagiaan fisik dan kebahagiaan yang bersifat rohani.


Untuk kategori kebahagiaan fisik contohnya antara lain, yaitu yang tampak secara zahir (jelas). Contohnya, fisik yang sempurna (untuk ukuran manusia), kekayaan berupa materi, popularitas, jabatan dan lainnya yang memang bisa dilihat secara konkrit.


Berbeda dengan jenis kebahagiaan fisik, maka kebahagiaan yang bersifat rohani (bathin) agak-- bahkan cenderung sulit untuk kita nilai. Sebabnya, tak bisa diukur dengan angka, prosentase an sich, melainkan harus bisa juga diukur secara kualitatif. Bahagia yang sifatnya rohani ini ya, bahagia. Pokoknya, bahagia, ya bahagia. Ekspresinya, bisa tampak pada hal-hal sederhana, semisal makan enak, tidur nyenyak. Dalam hidup keseharian, individu bahagia itu, jauh dari kamuflase, dan panggung sandiwara. Pendek kata, merasa nyaman, tentram, bahkan lebih luas dari yang kita persepsikan.


Anda pilih bahagia yang bagaimana? Salah satu... dua-duanya? Andalah yang tahu.


Lalu, bagaimana hidup bahagia menurut agama Islam.  Konsep bahagia dalam kacamata agama, telah ditetapkan dan diberikan berbagai petunjuk dan pedoman dalam kitab suci Al Quran. Doktrin 'bahagia' dalam agama kita, tidak jauh dari bagaimana kemudian seorang muslim beriman, bertakwa dan beramal saleh kepada sang khaliq. Tentang ini, Allah swt memberikan penjelasan dalam al-Quran (98: 7-8). “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.


Demikian penjelasan sang ilahi, ikhwal bagaimana menjalani dan berlandaskan apa tujuan kita hidup.


Dalam kehidupan sosial ekonomi, agar sejalan dengan nilai-nilai kebahagiaan yang kita cari dan kejar, maka seyogyanya, harus berdasar pada prinsip-prinsip moral, aturan dan sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bertindak dan bertingkah laku agar sejalan dengan tujuan yang dicapai. Disebutnya, manusia sebagai mahluk moral, menegaskan bahwa manusia harus mampu mewujudkan sikap dan tingkah lakunya secara etis. Toshihiko Isutzu (Wahyu, 2010 : 58) menjelaskan bahwa diskursus moralitas dalam Al-Quran bertujuan memberikan pedoman bagi manusia dalam bertingkah laku yang berimplikasi sosial karena menegaskan gambaran manusia sebagai mahluk religius (Bambang Wahyu, Filsafat Ekonomi Islam : Rasionalitas dan Religiusitas Ekonomi", Jurnal Infaq Vol 1/8/2010). Untuk itu, religious character mesti berimbas pada pada segala tingkah lakunya. Konkritnya, bagaimana kemudian, ketika manusia diberikan harta dan kekayaan, ia mampu berbuat kebaikan dengan kekayaan yang dimilikinya itu. Ia harus mampu menyadari sepenuhnya harta yang dimilikinya, harus dikendalikan sejalan dengan suruhan agama (moral).

Saya mempersepsikan, kebahagiaan itu ada pada individu yang dalam kehidupannya sehari-hari mampu memanfaatkan waktunya dengan baik dan bermanfaat serta menikmati waktunya dengan penuh syukur meski dalam keadaan apapun.


Orang tetap tegar meski sedang ditimpa ujian. Ia tetap menatap jauh ke depan meski dihimpit berbagai persoalan yang sedang dihadapi, juga merupakan sebagai cerminan orang yang bahagia. Mengapa? Sebab, orang jenis ini, berfikir optimis bahwa setiap persoalan bisa selesai pada waktunya.


Lagi tentang bahagia. Bahagia tergantung persepsi kita. Sebuah perumusan yang lahir dari pikiran kita, pikiran anda, pikiran kita semua. Tetapi betapapun itu, bahagia adalah sebagaimana pesan Tuhan yang dikemukakan di atas.


(TM/Redaksi)


Post a Comment

Previous Post Next Post