Ghirah Daya Saing Usaha dan Spirit Kebangkitan



Ilustrasi, sempatbaca.com


Pelaku bisnis (usaha) harus memelihara semangat ‘ghirah’ daya saing yang tinggi dalam bisnis. Semangat daya saing yang tinggi dapat memicu peningkatan dan pengembangan usaha agar tetap survive dan berkembang


DEWASA ini, aneka unit dan bentuk bisnis berkembang pesat. Hal ini, tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan informasi. Kondisi ini, menuntut hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia dilakukan secara digital. Ini adalah gejala dari apa yang kita kenal revolusi industri 4.0. Di era ini, maka, mau tidak mau, semangat daya saing harus terus dipelihara. Daya saing adalah kunci sebuah perusahaan (besar) dan usaha kecil (UMKM) dalam upaya memajukan bisnis. Tanpa semangat daya saing, agaknya sulit bagi dunia usaha untuk menghindar dari kebangkrutan. Boleh jadi, seseorang yang menggeluti bisnis akan mudah terombang-ambing dalam ketidakpastian.


Daya saing itu semangat. Daya saing adalah kekuatan yang dimiliki pelaku usaha untuk mengembangkan aktivitas sosial yang dipilihnya dalam kehidupan ini untuk memberi manfaat baik secara pribadi maupun untuk masyarakat secara umum.


Sayangnya, persaingan tidak selamanya berjalan normal. Persaingan kerapkali menghadirkan situasi dan kondisi yang membuat pelaku usaha, terutama usaha kecil dan menengah.


Dalam keadaan demikian, kita bisa melihat dua kemungkinan terjadi. Pertama, jika persaingan usaha tidak sehat, pelaku usaha (UMKM) yang serba terbatas akan sulit bersaing dengan kompetitornya. Ekses yang ditimbulkan, usaha kecil boleh jadi mati suri. Kedua, persaingan usaha tidak sehat, jika tidak memiliki regulasi yang jelas oleh pihak berwenang untuk turut serta mengontrol, mengawasai dan memberikan kebijakan yang tegas, hanya akan menjadikan dunia usaha seperti yang diungkapkan pepatah lama berikut, “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin” 

 

 

Penegakan Hukum dan Kebijakan Persaingan Usaha dalam Penguatan Ekonomi Nasional

 

Sebenarnya, pelaku usaha tidak perlu galau, apalagi psimis—menghadapi dunia usaha yang kian dinamis. Sebab, telah ada undang-undang (UU) persaingan usaha nomor 5 Tahun 1999 terlahir 23 tahun silam. Tujuan dari UU setidaknya, dapat mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dan memang, UU ini dihajatkan pemerintah untuk itu.


Terkait perundang-undangan tersebut, lembaga komisi pengawas  persaingan usaha (KPPU) diberikan amanah menjalankan tugasnya dengan baik. Aturan perundang-undangan yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU No. 5/99) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 (UU No.20/2008), menegaskan fungsi dan tugas KPPU. Dalam UU dinyatakan : KPPU berperan untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha, Pemberian Saran dan Pertimbangan atas Kebijakan Pemerintah, pengendalian merger dan akuisisi, serta pengawasan kemitraan.


Dengan ketentuan perundang-undangan tersebut, membuat KPPU leluasa melaksanakan tugas dan tanggungjawab tanpa intervensi pihak tidak bertanggung jawab


Sejak undang-undang itu muncul, seiring usia yang terus bertambah, selain terus berkontribusi untuk bangsa juga sebagai penanda bahwa UU yang diamanahkan pada lembaga KPPU telah melewati pengalaman-pengalaman berharga.


Meski UU tersebut relatif lama, tidak dimungkiri masih banyak kebijakan pemerintah belum sejalan. Tidak heran, acapkali kasus persaingan tidak sehat kerap bermunculan.


Harus jujur diakui, masih sering terdengar kabar mengenai perusahaan-perusahaan raksasa di tanah air mencaplok usaha kecil. Perusahaan-perusahaan besar yang punya kekuatan cenderung alpa terhadap tugas dan tanggungjawab. Perusahaan besar yang punya kekuatan, begitu mudah dimanfaatkan demi meraup keuntungan. Singkat kata, dengan kekuatan yang dimiliki, praktik usaha tidak sehat kerap muncul ke ruang khalayak, menyita perhatian.  Tetapi, kita juga tak bisa menutup mata, bahwa masih banyak perusahaan, berupaya semaksimal mungkin memainkan perannya secara baik. Selain itu, terus menjalin kemitraan dengan usaha-usaha mikro (keci). Tujuannya, demi kemaslahatan publik. Untuk tercapainya stabilitas perekonomian nasional.


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai, prinsip persaingan usaha yang sehat belum menjadi arus utama dalam rumusan kebijakan pemerintah di bidang perdagangan. Padahal, dibutuhkan untuk mendorong Indonesia bertransformasi menjadi negara maju (https://www.republika.co.id/berita/r8u8wu383/kppu-persaingan-usaha-sehat-belum-jadi-arus-utama-kebijakan-pemerintah/ Rabu 16 Mar 2022). Dalam konteks ini, maka tak syak lagi, penegakan hukum harus terus menjadi ikhtiar kolektif. Pihak-pihak terkait harus bersinergi. Negara kita yang berdasar hukum, secara otomatis menegaskan pada rakyat sebagai elemen bangsa bahwa penegakan hukum itu, mesti mendapat perhatian utama. Sebab, tegaknya hukum menjadi elan vital dan modal penting dalam menata dan menentukan serta memutuskan kebijakan bersama, terlebih jika menyangkut urusan bersama, khususnya dalam upaya penguatan ekonomi nasional. Tanpa penegakan hukum yang efektif, persaingan sehat hanya akan menjadi utopis. Dampaknya, realitas pasar hanya akan menguntungkan pelaku usaha (berskala besar), sementara pelaku usaha dari kalangan mikro, terkapar dalam ketidakberdayaan. Minimnya modal, belum lagi sengitnya persaingan yang kurang mampu diakomodir UU, lantaran ketentuan dan perundang-undangan yang tertuang sebatas di atas kertas—menjadi hambatan besar bagi UMKM mengembangkan aktivitas bisnisnya. Memang, persaingan tidak melulu sesuatu yang negatif, sebab, persaingan juga sebagai motivasi menghendaki kreativitas dan inovasi. Dalam konteks ini, maka persaingan sesungguhnya adalah tantangan guna memicu hadirnya produk (barang-jasa) produk berkualitas. Selain bisa diandalkan, tetapi juga sejajar dengan produk perusahaan ternama. Tetapi, ketika kreativitas dan inovasi (dalam persaingan), tidak memiliki regulasi yang jelas melindungi usaha kecil, tetap saja menghambat UMKM.

Hanya saja, saat kreativitas dan inovasi dibiarkan liar, sementara regulasi sebagai payung ‘pelindung’ usaha kecil tidak jelas, setali tiga uang, tetap menghambat UMKM. Pada titik ini, pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati usaha besar ketimbang UMKM. Maka dari itu, penegakan hukum, prasyarat : terciptanya kompetisi bisnis yang sehat, sempurna.

 

Persaingan Usaha Ekonomi Digital

Seperti musafir, tengah berkecamuk  yang berada di gurun pasir, kita tengah berada dalam gelombang (wave) perkembangan revolusi industri 4.0. Sebuah era di mana, semua elemen (public) dituntut adaptif terhadap perkembangan zaman. Konkritnya adalah: Bagaimana kemudian seseorang bisa menghubungkan bisnis secara digital. Lebih dari itu, bagaimana menghadapi kondisi persaingan usaha, bisnis, yang menghadirkan jutaan orang dalam ruang digital persaingan usaha.

Tengok saja pemanfaatan sekaligus pengembangan aplikasi berbasis internet menjadikan kita lebih mudah menyelesaikan suatu urusan. Tidak hanya menyangkut satu bidang, namun sebaliknya merengsek dalam berbagai bidang, entah pendidikan, politik serta bidang-bidang lain, terutama di bidang ekonomi dan bisnis.  Di bidang ekonomi, layanan serba online dalam berbagai jenis transaksi; belanja, perbankan, bidang transportasi dan lainnya begitu mudah kita lakukan. Kapan dan di mana saja. Yang penting, kesemua itu terhubung jejaring internet.


Kondisi yang demikian, kelihatan oleh kita, betapa mudah ‘simple’, setiap individu, kelompok, berbuat suatu hal sebagai dampak kemajuan teknologi untuk kepentingan hidupnya. Atau seperti yang dinyatakan S.T. Alisjahbana dalam tulisannya di majalah Prisma, edisi 11, November 1981. Alisjahbana mengungkapkan “Dapatlah ditumbuhkan manusia suatu teknologi, yang dipakainya dalam ekonomi yang bersifat mengambil utilitas atau kegunaan alam sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia”. Lalu, Mudah pula bagi orang dari berbagai belahan negara-negara di dunia hadir dalam pasar bisnis ekonomi digital. Di satu pihak, menumbuhkan ghirah dan semangat bisnis. Di lain pihak, intensitas daya saing kian meninggi. Lalu, manakala spirit dunia usaha dan makin tinggi intensitas persaingan tidak segera diselaraskan aturan main, akan berdampak pada persaingan yang tidak sehat. Nah, di sinilah peran penting komisi pengawasan persaingan usaha (KPPU) sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan tersebut.


Lebih jauh, akan tampak realita, kian dinamis tingkat persaingan. Tentu saja ini tidak bisa dihindari di tengah perkembangan kehidupan dan teknologi yang terus maju, berubah. Malah, makin maju, kian kompleks dan beragam cara serta praktik, disebabkan pengaruh budaya industri yang melibatkan banyak orang.


Pemerintah, pihak terkait, harus mampu menggerakkan ekonomi, tidak sekadar secara nasional tetapi juga dalam konteks perkembangan ekonomi digital dalam konteks global.


Mencermati KPPU selama ini, syukurnya, lembaga ini mampu mengambil peran maksimal mengemban tugas tersebut. Laporan tahunan KPPU tahun 2021 merekam peran KKPU mengemban tugasnya. Bagi penulis, laporan yang dirilis KPPU itu, dapat menjadi gambaran optimisme publik ke depan. Dalam laporan tersebut, “KPPU mencatat, tingkat persaingan usaha di Indonesia semakin membaik. Hal ini dilihat dari Indeks Persaingan Usaha di Indonesia meningkat 0,16 poin dari nilai 4,65 di tahun 2020 menjadi 4,81 di tahun 2021. Indeks persaingan usaha merupakan suatu indikator tingkat persaingan usaha di perekonomian dan telah masuk dalam RPJMN Tahun 2020-2024 di mana target Nasional Indeks Persepsi Persaingan Usaha adalah 5”.


Tugas pokok dan fungsi lain sebagaimana diatur perundang-undangan, dilaksanakan KKPU, mencatat hasil menggembirakan. Alasan untuk ini adalah: banyak kasus dan perkara yang sudah dituntaskan. Lebih dari itu, KPPU juga melakukan advokasi dan terus mendorong semua pihak saling bersinergi. Ini tidak terlepas dari fungsi agar perusahaan besar menjalin kemitraan dengan UMKM. Komitmen ini, secara nyata dapat dilihat ketika perekonomian Indonesia dilanda pandemi Covid-19.


Kini dan ke depan, publik tiada asa meletakkan harapan besar bahwa di tengah prediksi resesi ekonomi tahun 2023, ekonomi tetap bertumbuh seiring itu, peningkatan persaingan sehat, pengawasan kemitraan UMKM, sedianya menjadi spirit kebangkitan. Ia mengejewantah pada aktivitas dunia usaha akan lebih mampu berdaya saing dalam pasar yang sehat, dengan tetap mensyaratkan adanya persaingan sem­purna. Namun demikian, menghadapi kondisi tersebut, upaya edukasi dan pengembangan literasi dan penguatan kapasitas masyarakat Indonesia secara menyeluruh mesti turut membersamainya.


*) Penulis: Mashur, Habibul Umam. T, Ahmad Fauzan. Ketiga penulis adalah
Staf Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB

Post a Comment

Previous Post Next Post