Masalah Mendasar Pendidikan Kita (Sebuah Refleksi)



Ilustrasi, sempatbaca.com


Dalam diskusi bersama Kepala Cabang Dinas (KCD) XII Kota Tasikmalaya, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), Bursa Kerja Khusus (BKK) SMK-SMK se-kota Tasikmalaya, serta Forum Human Resource Development (HRD), masing-masing mencoba menyajikan temuan-temuannya terutama kaitannya dengan ketenagakerjaan


Penulis : Robby Delvis

(Guru Les Privat Online Ekonomi dan Direktur FR library)


DARI pihak Disnaker, sajian utama mengenai masalah pengangguran, yang khusus di kota tasikmalaya pasca covid-19 mulai menurun meski sedikit. Diakui oleh mereka, betapa sulitnya mengurangi angka pengangguran. Dari Disnaker Jabar, sajiannya tidak jauh berbeda. 


Setelah melihat keadaan secara makro ekonomi, giliran dari Forum HRD Kota Tasikmalaya. Analisisnya mengerucut dan sangat teknis. Dari paparannya, dijelaskan problem kualitas tenaga kerja yang merupakan lulusan pendidikan yang rendah. Diantara masalahnya; 1) lulusan tidak tahu tujuan hidup, 2) Tidak mau menjadi penjual/sales/marketing, dan lebih menyukai kerja didepan laptop/menjadi operator, 3) Tidak suka targetan, 4) Bersifat utopis. Yang disebut terakhir contohnya : ingin kuliah ke luar negeri, tapi tidak ada persiapan sama sekali, tidak bisa bahasa negara yang dituju, tidak tahu cara mendaftar, persyaratan apa, dan sebagainya. Temuan-temuan ini yang menurut saya paling menarik dan mengafirmasi berbagai problem yang saya alami dari para siswa. Sebagai solusinya, dari Forum HRD menawarkan kolaborasi enam pihak; sekolah, dunia usaha/dunia industri, pemerintah, keluarga, dan sebagainya. 


BACA JUGA : negara paling makmur itu mestinya bernama Indonesia


Materi berikutnya dipaparkan salah satu pihak sekolah sebagai representasi sekolah. Kebetulan sekolah yang bersangkutan termasuk sekolah penggerak, dan pusat keunggulan (PK) yaitu dari SMKN 1 Kota Tasikmalaya. Yang berbicara adalah Dr. Wawan, sang kepala sekolah. Penjelasannya menitikberatkan pada apa yang tengah dikerjakan, seperti adanya kelas-kelas industri, peserta didik diarahkan menjadi apa ke depannya (Bekerja, Melanjutkan, atau Berwirausaha), dan sebagainya. Secara jujur diakui, dan apa yang dipaparkan Forum HRD diterima, dengan memberikan beberapa catatan. 


Menurut Wawan, solusi atas problematika pendidikan kita setidaknya perlu melibatkan tiga institusi; 1) pemerintah, 2) sekolah/lembaga pendidikan, 2) Dunia usaha/dunia industri. Dr. Wawan juga melihat bahwa pasar tenaga kerja kita memang terbatas. Oleh karena itu, beliau melihat adanya peluang pada pasar luar negeri, Jepang misalnya. Makanya, di SMKN 1 yang dipimpinnya, bahasa Jepang digalakan, dan memang sudah ada kerjasama dengan pihak Jepang terkait lulusan. 


*****


Saya menikmati betul proses diskusi ini. Masing-masing institusi mencoba melihat benang merah, dan apa sesungguhnya akar masalahnya, untuk kemudian dicarikan solusinya. Dari seluruh paparan, secara umum saya melihat bahwa sesungguhnya kita punya kesadaran akan permasalahan pendidikan kita dan upaya untuk memecahkan masalah tersebut juga cukup besar. Namun secara pribadi, dan ini tidak banyak tersinggung dari seluruh pembicara, saya melihat akar masalah pendidikan terletak pada kurangnya pendidikan keluarga yang merupakan kepanjangan tangan dari masalah ekonomi keluarga. 



Dalam banyak diskusi saya dengan banyak siswa, rata-rata permasalahan mereka terletak pada ekonomi keluarga. Para peserta didik rata-rata kurang memperoleh kasih sayang, perhatian, dan pendidikan dari orang tuanya. Mengapa? Sebagian besar faktornya karena kemiskinan yang akut. Para orang tua tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan di keluarga. Waktu mereka dihabiskan untuk mencari nafkah, dengan hasil yang tetap memprihatinkan : sangat tidak mencukupi.


Kondisi rata-rata siswa yang saya ajak diskusi minimal selama kurang lebih 4 tahun ini menunjukan betapa akutnya kemiskinan mereka. Sebagai gambarannya begini.  Seandainya pun mereka gratis sama sekali (tidak perlu bayar sepeserpun ke sekolah), tetap saja mereka tidak bisa sekolah. Karena mereka tidak punya uang untuk berangkat sekolah, apalagi jajan. Saya terenyuh mendengar kisah mereka. Tidak jarang mereka tidak sekolah karena orang yang biasa mereka tumpangi sakit, atau memang tidak bisa ke sekolah. Semakin prihatin ketika yang mengalami adalah perempuan. Jadi, jangankan bicara bagaimana meningkatkan kualitas, bisa sekolah pun sudah lebih dari cukup. Dalam bahasa Candrika Adhiyasa, bagaimana mengajak lari/berkompetisi orang yang perutnya keroncongan dan lapar. Sulit! Dan karena itulah, mengapa saya melihat masalah ekonomi keluarga sebagai akar masalahnya. 


*****


Secara pibadi, saya menekankan kepada para siswa untuk tetap semangat dan berjuang. Saya juga mengajak mereka untuk belajar bisnis, tanpa modal, apakah menjual barang orang lain (konsinyasi), bisnis online, dll. Meskipun tentu saja, mengingat bisnis memiliki risiko, namun bisnis memberikan peluang untuk mengatasi masalah ekonomi. Semangat juang mereka benar-benar diperlukan. Saya juga sampaikan apa yang sering disampaikan Ketua Rumah Aktivis Andri Nurkamal : "Hidup jangan kalah oleh kenyataan". 


Secara makro, sesungguhnya ini masalah kita bersama yang harus dipecahkan oleh semua pihak. Namun saya ingin mengunci betul point penting "pendidikan keluarga" betapapun sibuknya, atau maaf "bodohnya", atau miskinnya para orang tua. Pendidikan keluarga adalah harga mati. Gagalnya pendidikan keluarga menjadi akar kegagalan dari seluruh proses pendidikan. Gagalnya pendidikan keluarga, dengan demikian, juga menambah panjang muramnya masa depan bangsa.  


Khusus untuk pemerintah, kebijakan ekonomi sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahn ekonomi keluarga seperti dijelaskan diatas. Dan jika pemerintah mampu mengatasi masalah ini, spesifiknya mengurangi kemiskinan yang akut, berarti pemerintah telah berkontribusi besar dalam memperbaiki kualitas pendidikan kita. Jadi, membasmi kemiskinan akut merupakan satu diantara upaya memperbaiki pendidikan kita !

Post a Comment

Previous Post Next Post