Negara paling makmur itu mestinya bernama Indonesia



Ilustrasi, sempatbaca.com


kenyataan justru membuktikan bahwa jumlah penduduk miskin tetaplah banyak. Tidakkah ini menunjukan bahwa ternyata negeri ini belum dikelola secara baik dan benar? 


Penulis : Robby Delvis

(Guru Les Privat Online Ekonomi dan Direktur FR library)


PADA tulisan sebelumnya berjudul "Untuk apa ilmu ekonomi makro dipelajari?", Penulis mencoba menganalisis kondisi perekonomian dari sisi inflasi, UMKM dan daya beli.


Kali ini, penulis merasa tertarik dan tertantang menganalisis perekonomian Indonesia dari salah satu masalahnya, yakni kemiskinan. 

*****

Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 275 juta orang. Dari jumlah tersebut, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS, 2022) jumlah orang miskin mencapai kurang lebih 26 juta orang. Hal ini berarti, penduduk miskin di Indonesia kurang dari 10% (jika dibulatkan). Kecil bukan? 


BACA JUGA : Untuk apa ilmu ekonomi makro dipelajari?


Namun pertanyaannya, apa kriteria orang miskin itu? Jawabannya, orang miskin di Indonesia adalah mereka-mereka yang pengeluarannya selama 1 bulan sebesar kurang lebih Rp 500.000,-. Kecil bukan? Karena kriteria kemiskinannya kecil, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia kecil juga (hanya 26 juta seperti ditulis diatas). Pertanyaan berikutnya, relevankah kriteria kemiskinan diatas? Bagi kita sebagai warga negara, saya berkeyakinan bahwa sebagian besar tidak setuju dengan kriteria ini. Dan itu, menurut saya, sangat beralasan. Apalagi, kriteria Rp 500.000,- ini dilihat dari sisi konsumsi/pengeluaran. Sedangkan kita tahu, sering kali pengeluaran itu lebih besar daripada pendapatan. Bisa saja pendapatannya hanya Rp 400.000,- namun pengeluaran minimalnya Rp 500.000,-. Lantas dari mana mereka memenuhi selisih Rp 100.000,- itu? Jawabannya bisa bermacam-macam, bisa dari berutang, atau cara lainnya.


*****


Setelah kita menganalisis jumlah orang miskin dengan kriteria diatas, mari kita lihat masalah berikutnya. Jika penduduk yang benar-benar miskin jumlahnya mencapai 26 juta orang, apakah hal itu berarti sisanya adalah orang-orang mampu? Disini justru point menariknya. Sebab ternyata menurut rilis Bank Dunia (2020), jumlah penduduk "rentan miskin" jumlahnya lebih besar yaitu sekitar 115 juta orang. Mereka itu antara lain adalah yang berpendapatan lebih dari Rp 500.000,- per orang. Jadi, andai kata kriteria kemiskinan dinaikan dari Rp 500.000,- menjadi Rp 600.000,- misalnya, bisa saja jumlah orang miskin bertambah dari 26 juta menjadi 50 juta bahkan lebih. Paparan ini membuktikan lebih lanjut, bahwa mengukur kriteria kemiskinan dengan Rp 500.000,- per orang kurang tepat. 


Oleh karena itu, pada saat Covid-19 terjadi, perekonomian mengalami situasi Asimetri, dimana orang kaya bertambah banyak, namun orang miskin juga bertambah. Mengapa demikian? Karena penduduk rentan miskin jumlahnya lebih besar, sehingga dengan adanya "kenaikan BBM", "inflasi", "Covid-19" atau hal lainnya, jumlah penduduk yang tadinya masuk "rentan miskin" kini telah berubah status menjadi "benar-benar miskin". Maka tidak heran, ketika Ekonom Ichsanuddin Noorsy pernah mengatakan : "Jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 167 juta orang!" (Kemungkinan kriterianya berbeda dengan kriteria pemerintah). Sebab jika katakanlah penduduk rentan miskin + penduduk miskin ditambahkan, angkanya mencapai (26 + 115 = 141 juta orang). 

*****

Lantas apa keterkaitan dengan judul tulisan ini? Benarkah negara paling makmur itu seharusnya "Indonesia" ? Argumentasi saya begini. Pertama, dari jumlah penduduk 275 juta orang, mayoritas adalah umat Islam. Angkanya sekitar 237 juta (2021). Kedua, karena kita menggunakan dua hukum yaitu hukum konvensional dan hukum Islam, dari sudut pandang ilmu ekonomi, ternyata memberikan keuntungan yang besar bagi umat Islam (lagi-lagi jika dilihat dari sudut pandang ekonomi) dengan adanya instrumen zakat yang sifatnya wajib. Menurut data Baznas (2022), potensi zakat umat Islam angkanya sekitar 237 Triliun. Sedangkan kita tahu, bahwa zakat hanya diperuntukan untuk 8 golongan, dengan fakir dan miskin sebagai prioritasnya.  Namun karena kita menggunakan dua hukum tadi, sekalipun umat Islam telah membayar zakat, ia tetap berkewajiban membayar pajak. Pajak ini menjadi sumber APBN, yang pengelolaannya antara lain mengentaskan kemiskinan. Jadi, jika negara lain hanya memiliki 1 instrumen (misalnya APBN saja, atau zakat saja bagi negara yang menggunakan hukum Islam), maka kita punya 2 instrumen sekaligus yakni APBN dan Zakat. Bukankah angka 237 triliun itu angka yang besar? Belum lagi program anti-kemiskinan yang dilakukan pemerintah melalui postur APBN-nya? Bukankah jika kedua instrumen ini bisa dioptimalkan dengan baik, mestinya kemiskinan bisa dihapuskan sedemikian besarnya? Belum lagi jika ditambah dengan instrumen ekonomi Islam lain semisal Qurban, aqiqah, sedekah, infak, wakaf, dan seterusnya. Betapa kita bukan hanya mampu mengentaskan kemiskinan, namun akan benar-benar mampu memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. 


Namun sayang, kenyataan justru membuktikan bahwa jumlah penduduk miskin tetaplah banyak. Tidakkah ini menunjukan bahwa ternyata negeri ini belum dikelola secara baik dan benar? 

Post a Comment

Previous Post Next Post