Abu Yusuf dan pemikiran ekonomi Islam


ilustrasi, sempatbaca.com


Ulama bernama lengkap Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari ini lahir di Kuffah pada tahun 113 H/731 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 182 H/798 M


KELUARGANYA memiliki julukan al-Anshari karena Ibunya masih berdarah keturunan kaum Anshar. Di dalam buku Sejarah Pemikiran  Ekonomi Islam yang di tulis Oleh Abdul Qoyyum, ditulis bahwa Abu Yusuf termasuk salah seorang ulama yang hidup di era pergolakan politik antara Daulah Umayyah dengan Abbasiyah.


Karier intelektualnya sangat mengesankan karena berguru dari banyak ulama terkemuka salah satunya Abu Hanafi yg di mana kita tahu bahwa Abu Hanafi adalah seorang pakar hadits.


Selama 16 tahun ia memiliki komitmen kuat untuk tidak berhubungan dengan urusan pemerintahan. Karena  Ia hanya fokus meneruskan kajian Fikih yang telah membesarkan namanya termasuk mazhab Hanafi secara tidak langsung.


Walaupun Abu Yusuf adalah murid sekaligus pengikut mazhab Hanafi, tetapi tidak tampak dalam buah pikirnya. Ia cenderung independen, bahkan dalam beberapa hal berseberangan dengan gurunya tersebut. Ini membuktikan keluasan ilmunya yang didapat dari guru-guru dengan pengalaman sebagai hakim profesional di pemerintahan Abbasiyah. Meski demikian ia juga banyak mengambil pendapat dari Abu Hanifah.


Kemahirannya dalam bidang Fikih membuat namanya diperbincangkan dan tersebar, bahkan sampai kalangan istana.


Salah satu karya yang paling monumental Abu Yusuf adalah Kitab Al-Kharaj. Kitab tersebut memuat kajian yang cukup konferheensif karena tidak hanya membahas sumber pendapatan negara (kharāj, jizyah, ‘usyr, ghanimah, fai’, shadaqah dan zakat, sesuai dengan keperluan dalam pengelolaan baitul mâl saat itu, tetapi ada juga regulasi perang, perlakuan pemerintah kepada orang murtad, nonmuslim, sampai hal-hal kecil lainnya seperti air dan rumput juga ia bahas. Selain itu,Penyusunan kitab menggunakan metode yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist, kemudian dalil ‘aqliyyah atau ra’yu (bertendensi pada kaidah istishlah dan istihsan). 

Abu Yusuf juga memberikan masukan tentang pengelolaan dan pembelanjaan publik, sehingga tidak hanya penjelasan tentang sistem keuangan Islam, tetapi juga membangun sistem yang realistis dan kontekstual dengan kondisi ekonomi.


Selain itu, kolaborasi antara Al-Qur’an-hadits dan ra’yu yang ia terapkan dalam kitâb al-Kharâj nya menunjukkan keluasan ilmu, kejelian dan pengalamannya sebagai hakim yang tidak mendikotomi seni manajemen pemerintahan dengan ilmu ekonomi. Ia juga  sering menyitir hadits dan model kebijakan khulafâ’ al-Rasyidīn, khususnya Umar bin Khattab, banyak sekali ia kutip untuk memberikan model pembanding sistem pemerintahan yang berhasil di masa sebelumnya. Meski kitâb sekilas ini membahas tentang panduan manual perpajakan, tetapi ternyata jauh lebih luas. Sehingga perlu kajian khusus untuk membahas konsep pemikiran Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharāj.


Nah....di samping itu, pada bagian awal kitab, Abu Yusuf menjelaskan bahwa penyusunan kitab tersebut atas permintaan sang khalifah Harun al Rasyid. Ia juga memberikan peringatan kepada khalifah agar senantiasa bersandar pada hukum Allah Swt dan baginda rasulul yang mementingkan urusan akhirat dari pada dunia.


Karakteristik demikian menunjukkan ketegasannya dalam mengarang kitâb, ia sama sekali tak segan mengingatkan khalifah untuk menjauhi kezaliman dan menegakkan keadilan, meski khalifah sendiri yang memintanya untuk menyusun kitab.


Kitâb ini juga  memuat salah satu domain penting yaitu kebijakan penarikan pajak. Sejak khalifah sebelumnya aturan penarikan pajak disesuaikan dengan ukuran tanahnya. Akan tetapi, hal ini ditentang oleh Abu Yusuf. Karena model tersebut sama saja pemerasan kepada rakyat.

Alasannya adalah ia berargumentasi bahwa banyak praktik taqbil yang mana mutaqabbil cenderung menetapkan besaran pajak sesuai keinginan mereka sendiri, terlebih lagi minimnya kontrol dari pemerintah. Asumsinya, negara harus bersikap efisien, memotong birokrasi yang terlalu berbelit-belit dan mendirikan lembaga khusus yang terdiri dari pegawai profesional dan jujur.


Kesewenang wenangan ini bisa membuat petani enggan menggarap tanahnya dan meninggalkan profesi mereka. Karns dampak  buruk seperti ini harus dihindar karena bisa menurunkan pemasukan negara. Harusnya penarikan pajak juga disesuaikan dengan kondisi tanah, hasil panen, pembiayaan, saluran irigasi, dan kemakmuran masyarakat sekitar daerah itu, sehingga kebijakan yang diambil lebih menitik beratkan pada moralitas dan keadilan.


Kemudian ia merekomendasikan agar negara menggunakan sistem muqāsamah (proportional tax) daripada misāhah (fixed tax).

Adapun gagasan yang menjadi cikal bakal pemikiran ekonomi modern ini menyoal ihwal kebijakan pemerintah yang mengintervensi harga di pasar. Menurutnya, pasar idealnya diberikan kebebasan penuh untuk mengatur jalannya alur dagang dan harga-harga barang, karena itu bertentangan dengan hukum supply dan demand.

Poinnya adalah negara harus menggunakan landasan nilai yaitu  (keadilan), tawāzun (keseimbangan), ihsān (berbuat baik) dan ikhtiyār (kehendak bebas).


Namun intervensi di sini bukan berarti negara tidak mengawasi pasar. Akan tetapi jika terjadi kekacauan atau krisis maka itu adalah kewajiban negara untuk menjembatani agar solusi ditemukan. Selain itu pengawasan negara terhadap sektor penggerak perekonomian sangat krusial dan pelaksanaannya harus menyeluruh dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Negara juga berperan besar agar pasar bebas dari praktik muamalat yang diharamkan. Argumen yang ia sodorkan kepada khalifah adalah khalifah tidak boleh menzalimi rakyat.

Nah... di dalam buku  ini, variabel yang ia tonjolkan dalam pemikirannya di sini adalah negara dan aktivitas ekonomi. Yang dimana Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara, sehingga orientasi proyeknya adalah kesejahteraan umum, seperti pembangunan saluran irigasi, jembatan dan infrastruktur lainnya, itu harus ditanggung negara. Namun lain halnya dengan proyek yang berkaitan dengan keuntungan salah satu pihak, maka harus dilimpahkan kepada pihak yang berkepentingan.


Abu Yusuf juga  mendorong negara agar harus menyediakan sarana-sarana memadai untuk menunjang kehidupan rakyat. Hal ini cukup beralasan, karena tidak hanya kemakmuran yang dicapai, akan tetapi iklim pemerintahan juga kondusif karena sedikit pihak yang kecewa, hingga kemungkinan memberontak berkurang.



Penulis: Fitri Hidayati

Post a Comment

Previous Post Next Post