Membandingkan-bandingkan satu politisi dengan politisi itu biasa dan merupakan sebentuk ikhtiar memunculkan pemimpin hebat
SAYA bukan politisi. Lagian mana ada tampang politisi di wajah ini. Saya bukan politisi, juga tidak pernah benar-benar 'serius' menjadi timses, jurkam saat pemilu, (caleg, legislatif, presiden) dan lainnya. Saya hanya pernah serius menjadi jurkam saat pilkades beberapa tahun silam.
Tahu tidak ! Serius jadi Jurkam Pilkades saat itu, saya terkena imbas. Serupa dengan kasus yang dialami teman saya.
Teman itu cerita :
"Sampai saat ini, saya sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Pemdes. Bahkan beberapa aktivitas sy dihalau. Untungnya, saya tidak cari makan di Pemdes. Melainkan, aktivitas saya lebih banyak, di luar. Mulai dari ngajar, freelance di beberapa lembaga. Dan sesekali mengisi seminar juga menulis di media massa (cetak-online). Dari situlah saya mendapatkan upah dan survive hidup. Hal-hal yang berurusan dengan desa pun selalu saya hindari".
Menyimak cerita teman itu, saya langsung nyolot : Ya, begitulah. Sabar bro, kataku pada teman satu kampus dulu.
"Kadang politik lokal desa lebih ganas. Barangkali, mereka tidak benar-benar memahami arti demokrasi, sehingga harus memberangus orang hanya untuk memenuhi nafsu kekuasaan yang semu itu," selorohku sok tahu.
"Sekedar jadi Kades saja gayanya selangit. Apalagi dia jadi presiden," kata temanku spontan memotong pembicaraanku, sembari terkekeh. Saya pun ikutan. "Dasar," ! Ketus temanku itu lagi.
Membincang politik dan situasi di hari-hari dan tahun mendatang, saat ini terasa mulai hangat. Juga dinamis.
I am no body. Tapi meski bukan siapa-siapa-- saya dan anda bisa merasakan sekali kondisi 'memanas' politik menjelang Pilkada, Pilgub dan Pilpres. Juga bebas menerawang apa saja, termasuk para kondidat pemilu.
Khusus di Lobar, saya mengendus beberapa figur mulai jadi objek gibah, masyarakat. Mereka digadang-gadang siap berkompetisi dalam Pilbup.
Sejauh yang saya amati, ada beberapa kondidat berinisial sebut saja: Fn, Un, Wn, Sn, Nn, Na dan yang lainnya. Dari sekian inisial kondidat itu yang paling populer dan berpeluang menjadi Pilbup menurut saya adalah kondidat Fn. Tinggal mampu tidak dia berkomunikasi dengan parpol pengusung dan memainkan intrik-intrik hebat.
Dibanding kondidat lain, kondidat Fn cukup populer. Warga di kampung saya, ketika ditanya inisial Fn? Mereka pasti tahu. Di lain desa, saya sempat diskusi kecil2, dan menggibah peluang besar kondidat inisial yang saya sebut itu. "Dia pasti jadi," jawabnya enteng.
Siapa Fn? Saya sendiri hanya pernah sua sekali. Dan saya melihat potensi yang dia punya. Jauh sebelum menjadi politikus seperti saat ini, potensi dan faktor lain bisa terbaca di dia. Kini, namanya melambung tinggi. Kini, digadang-gadang berpotensi memenangkan Pilbup beberapa tahun lagi. Tapi tentu jika faktor-faktor primer mendukung.
Dan saya yakin, jika faktor primer sudah dalam genggaman tangan, bisa saya pastikan sukses menjadi Bupati-wabup.
Tapi politik itu dinamis. Selalu terjadi hal-hal yang tak disangka. Dengan begitu, boleh saja dia terpental menjadi pemenang. Dan yang menang, boleh jadi kondidat lain.aha. Contoh kecil, meski saya kenal dengannya, saya belum tentu : pilih dia. Apa untungnya dia bagi saya. Politik itu rasional bukan. Meski begitu saya tetap memakai konsep saya sendiri yakni : rasional-religius untuk memilih orang.
Di suatu kesempatan, saya juga denger kabar, beberapa temen saya mau nyaleg? Nah kren.
Mendengar itu, saya hanya bisa berdoa, teman-teman yang sedang ancang ancang nyaleg, sukses melenggang ke kursi dewan.
Jangan lupa, berjuang dan bekerja keras. Jangan pula lupa ungkapan berikut :
"Usaha pasti tidak akan mengkhianati hasil. Jadi usahakan untuk melakukan segalanya sebaik yang anda bisa".
Karena itu curi start dari sekarang.
Ingat, tanpa taktik dan strategi yang bagus, anda hanya akan membuang uang puluhan hingga ratusan juta sebagai upah anda membayar pengalaman (menang-kalah) saat pemilu. Inilah inti essai yang saya buat (Masyhur Sarmaj, penjual madu).
Post a Comment