Rasa Cemas yang Menghantui KITA



Ilustrasi, sempatbaca.com


Yang kita cemaskan dalam hidup ini sebenarnya adalah ketika kita tak ada lagi di dunia ini atau orang-orang yang kita cintai itu pergi meninggalkan kita mengarungi pahit getir kehidupan


"Pada siapa lagi, bocah itu membagi rindu dan keluh kesahnya. Sikap manja pada orang berharga di hidupnya : ayah dan bundanya itu--kini telah pergi, untuk selama-lamanya".

"Dia tak bisa lagi berada dalam dekapan pelukan hangat sang ibu. Sepertinya, siap tidak siap, bocah itu harus merancang sendiri masa depan di tengah pahit getir gelombang kehidupan ini".

Pernyataan sekaligus pengalaman itu murni dari perasaan hati seorang perempuan yang juga seorang ibu.

Kalimat-kalimat dengan nuansa sedih dan mencemaskan itu, tentu muncul dari pergulatan bathin yang dialaminya sebagai seorang ibu. Dia menangkap fenomena, yang terjadi akhir akhir ini, tersebab terobsesi oleh berita2 kematian yg tiap saat terdengar mendayu-dayu dari pengeras suara masjid.

Salah satu yang bikin saya sering cemas dan diserang rasa takut adalah aku pergi di saat anak-anaku sedang dan masih butuh perhatianku, aku seorang perempuan.

Kehilangan eksistensi sangat mencemaskan manusia. Pikiran pikiran mencemaskan, bahwa dia tak bisa membersamai orang-orang yang dicintai seakan menjadi ketakutan yang terus-terusan menghantui isi kepala manusia.

Tetapi itulah kematian. Lenyapnya eksistensi kita di dunia, suatu sinyalemen bahwa kita tak berdaya, tak punya kekuatan yg bisa menggagalkan ketiadaan kita itu. "Kematian dan maut adalah the void within," kata filsuf Heidegger. Atau seperti diungkapkan Karl Jasper, "Kematian sebagai grenz situationem".

Mati itu pasti. Tak ada kata tidak. Setiap mahluk yang bernyawa pasti : mati. Maklumat ini, tegas dinyatakan Tuhan dalam al-Quran.

Musibah dan bencana yang terjadi belakangan, membuat kita tak henti-henti mendengar berita kematian. Belum lagi rekan dan saudara kita yang memang meninggal karena sudah diputuskan bahwa ia harus memenuhi panggilan ilahi.

Belakangan ini, berita kematian hampir tiap hari terdengar di kampung. Terakhir, seorang perempuan yang juga langganan cilok saya di rumah, dipanggil sang pencipta.

Perempuan itu menyusul suaminya. Lelaki yang amat dicintainya itu meninggal setahun lalu. Mendengar itu; duka cita begitu saja bergelayut di dada.

Dua pasangan suami-istri itu meninggalkan seorang putra, yg kini masih duduk di bangku sekolah.

Pada saya, seorang perempuan beranak satu bilang, "saya membayangkan betapa galau bocah ingusan itu ditinggal orang paling berharga dalam hidupnya. Sosok dua orang hebat yg teramat dicintainya itu. "Pasti sedih banget ya?," katanya di suatu malam.

Kepada siapa anak itu, kata perempuan itu melanjutkan--melabuhkan rindunya kini?. "Kepada siapa lagi bocah itu merebahkan tubuhnya, bila ingin merasakan hangatnya pelukan seorang ibu di saat tubuhnya, merasakn dingin yg begitu mengilu kulitnya--selepas bermain hujan," bisiknya lagi.

Tambahnya lagi, kepada siapa lgi, bocah itu bersikap manja kini, selepas kepergian kedua orang tuanya itu? Kemana ia mengadukan segala hal yg ia alami dan inginkan.

BACA JUGA : kunci berbisnis dengan Tuhan


Itu adalah sederet tanya--yang bagi saya menusuk. Seketika bisa bikin kita gagap, tercenung. Seketika emosi kita terkuras, perhatian kita berubah. Pernyataan-pernyataan itu pula yang membuatku diam seperti patung. Sebagai ortu, hati ini terasa disayat sembilu.

Menetes, air mata ini.

"Kok diam kak," katanya sembari nyeruput segelas teh.

Kuhela nafas.

Saya mulai coba menanggapi. Saya bilang, "Yakinlah. Allah telah memberi ia kekuatan. Tuhan telah menyiapkan kebahagiaan pada si bocah itu. Bukankah, setiap orang punya dunianya sendiri; punya kebahagiaan sendiri-sendiri termasuk si bocah itu".

Masa depan Yang ditinggalkan

Ada yang menarik dari kata-kata penyanyi cantik Maudy Ayunda,
"Hidupkan lagi mimpi mimpi. Cita-cita. Yang lama kupendam sendiri".

Pada konteks ini, ujaran Maudy dalam lirik lagunya itu, mendorong kita yang masih hidup dan memiliki kemampuan untuk mengayomi puluhan bahkan ratusan anak anak yang ditinggal orang tuanya.

kita perlu menyiapkan sesuatu secara baik agar nyata kebermanfaatannya


Kehadiran kita, terlebih bila didukung kekuatan struktural, akan menjadi daya dukung yang membuat jutaan anak yatim minimal dapat dijaga dan dijamin keberadaannya. Apalagi jika kehadiran kita, baik secara individu atau lembaga, akan membuat anak-anak yang jauh dari orang tuanya, berani punya mimpi dan cita-cita--ini akan jauh lebih baik.

Untuk itu, mesti ada diantara sebagian kita, yang bisa memiliki visi dan misi untuk mengayomi anak-anak terlantar dan yatim piatu.

Setidaknya, melalui satu tempat (organisasi) yang bisa membuat mereka bahagia dan berani punya mimpi dan cita-cita menatap masa depannya.

Tapi memang ikhtiar seperti tersebut di atas telah ada. Tidak sedikit institusi baik pemerintah dan swasta yang secara undang-undang berkewajiban mengatur. Tapi sayangnya, masih belum terwujud secara nyata. Kalaupun ada, perlu dilakukan penguatan-penguatan human resources dan kelembagaan. Juga dukungan pihak-pihak yang berkepentingan.

Akhirul kalam, semoga mimpi2 dan cita2 kita semua dikabulkan Allah. Semoga anak-anak yg ada di kampung kita dan mereka ditinggal oleh kedua ortunya, terus dijaga Allah. Semoga mereka berani punya mimpi dan cita-cita. Semoga para konglomerat di negeri ini, tak pernah bosan memberikan perhatian pada anak-anak yatim, fakir miskin dan dhuafa. Juga anak-anak terlantar.

Post a Comment

Previous Post Next Post