Pejuang NU dari Batu Kuta Narmada



Ilustrasi, sempatbaca.com




TGH Muhammad  Na’im pernah menjabat Wakil Syuriah NU.  Sosok- dermawan dan gigih yang hobi berburu ini semasa hidupnya gencar memperjuangkan berdiri- nya kantor lembaga pendidikan (LP) Ma’arif yang ada di Mataram



Kiprah di Masyarakat

Waktu tak terasa, Na’im sudah kian dewasa. Dia pun kemudian memutuskan untuk bekerja menjadi petani. Profesi sebagai petani bila dikaitkan dengan hirarki sosial di kalangan masyarakat NU, adalah kelompok basis komunitas NU. Sama dengan banyak warga NU di beberapa tempat yang berprofesi sebagai pedagang, nelayan dan pedagang kecil. Hari-harinya pun dihabiskan di sawah menanam dan menebar benih. Meski demikian, tidak membuat ia terlena dan melupakan tugas-tugas pengabdian seperti komunikasi dengan sang guru. Sepertinya TGH Na’im memainkan berada pada apa yang diistilahkan Nur Khalik, sebagai “Struktur hirarki sosial masyarakat NU dengan basis komunitas pedagang, petani dan petani pinggiran”.  

Interaksinya dengan Datoq Bengkel mengantarkannya makin tahu banyak tentang organisasi NU. Hal ini pula yang melatarbelakanginya terlibat dan sangat aktif di NU. Tidak  hanya itu, ia juga sangat akrab dengan TGH Anwar dari Monjok yang juga sedang aktif di NU dan pada waktu itu menjadi DPR.

Sisi lain yang unik dari salah satu tokoh sosial di NU ini yaitu, TGH Na’im pernah menikahi empat perempuan di kampung halamanya. Gadis pertama yang ia nikahi bernama Lemok yang kemudian hari lebih popular dipanggil Inak Lemok.  Dari pernikahanya dengan gadis bernama Lemok ia dikaruniai anak tetapi meninggal. Hidup memang tak selamanya berjalan mulus seperti apa yang kita inginkan—begitu juga dengan H Na’im, akhirnya beberapa tahun kemudian H Na’im bercerai. Tidak terlalu lama menduda, H Na’im memutuskan lagi untuk menikahi gadis bernama Ratiah. Dalam benak, ia berharap, kelak dari pernikahannya dengan gadis bernama Ratiah, dia dikaruniai keturunan yang diberikan umur panjang—yang bisa melengkapi kebahagiaan di tengah-tengah kehidupannya. Tak perlu nunggu lama, harapan itupun tak berselang lama, ia pun dikaruniai buah hati. Senyum bahaya mengembang dari wajah letih seorang H Na’im. Tapi sayang, Tuhan ternyata berkehendak lain. Buah hati yang diharapkan akan melanjutkan estapet perjuangannya, justru dipanggil sang ilahi lebih dulu. Lagi-lagi dia merasa kehilangan. Suka tidak suka, ikhlas tidak ikhlas, dia sepertinya harus belajar menerima takdir Tuhan, kehilangan buah hati yang lama dinanti-nantinya.

Selama menikah, ia menghidupi keluarganya dengan berprofesi sebagai petani. Di sawah, ia menghabiskan waktunya menebar benih, menyiram tanaman padi. Hobinya berburu pun masih menjadi aktivitas yang disenanginya di sela-sela kesibukan di sawah tidak terlalu padat. Menurut TGH Nuh, bapak itu hobi seskali pergi berburu (nembak). “Pokoknya kalau ada waktu luang, bahkan boleh dibilang dia itu pergi nembak/berburu tiap hari,”kenang TGH Nuh.

Bulan demi bulan berganti. Tahun demi tahun pun berjalan. Entah kenapa di kemudian hari TGH Na’im kembali ditimpa ujian sehingga ia harus bercerai kembali dengan istri keduanya. H Na’im pun kembali menikmati masa-masa sendiri. Meskipun demikian, ia selalu merasa happy dan enjoy menjalani hari-hari dalam hidupnya. Aktivitas di NU pun menjadi kegiatan yang kerap mewarnai hari-hari dalam hidupnya.

Ternyata kalau jodoh memang masih ada, Tuhan pasti memberikan kesempatan bagi si hamba untuk bisa menikah. Hal itu dialami oleh H Na’im, ia pun kembali menikah dengan gadis bernama Narimah. Beberapa tahun hidup bersama sang istri Naim dikaruniai anak, sayangnya Na’im harus merasa kehilangan lagi. Sesaat kemudian dalam waktu yang tak begitu lama ujian ‘cerai’ kembali menimpa rumah tangga Na’im.

Selepas cerai, kembali ia menikmati kehidupannya seorang diri sendiri. Seakan cobaan dan ujian seperti tiada henti. Meski demikian, dia tetap tegar menjalani hidup. Aktivitas dan interaksinya dengan banyak kalangan yang aktif di NU waktu itu tetap ia jalin.

Beberapa tahun kemudian, H Naim kembali menikahi perempuan bernama Rawiyah. Mempersunting Rawiyah, H Na’im berharap kembali memiliki keturunan. Bagi dia mimpi untuk memiliki putra putri adalah harapan yang tiada pernah pupus. Benar saja, tak lama kemudian, ia dikaruniai keturunan bernama Siti Zainal Abidin.

Mendengar istri tercinta Rawiyah mengandung, alangkah bahagia seorang H Na’im. Belum lahir saja, seakan nestapa ujian yang pernah dialaminya beberapa tahun silam seakan menghapus luka dan perih derita ujian yang pernah ia alami.

Semasa muda, Na’im terbilang pemuda yang berani, kreatif dan gigih. Dia aktif mendorong pemuda dan masyarakat untuk melakukan perubahan demi sebuah kemajuan. Jika rekannya TGH Muhammad Ya’cub aktif mengajar dan membimbing masyarakat melalui pengajian, maka H Na’im lebih giat mendorong pemuda untuk melakukan perubahan sosial. Tokoh sosial bagi seorang Na’im pantas disematkan padanya, sementara TGH Muhammad Ya’cub dikenal sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat sekaligus.

Bersama masyarakat dan tokoh setempat di desa Batu Kuta, H Na’im mendorong dan terlibat untuk mendirikan madrasah Darul Qur’an yang ada di Batu kuta pada tahun 1972. Meski tidak terlibat menjadi tenaga pendidik, dan memilih berada di balik layar namun kontribusinya untuk mengembangkan lembaga pendidikan Qur’aniyah yang kemudian hari menjadi pondok pesantren menjadi catatan sejarah bagi warga nahdliyin umumnya dan warga batu kuta khususnya. 

 
NU dan Sahabat Dekat

Di NU, TGH Na’im terlibat sejak dia masih muda, sekitar 33 tahun. Hal ini diperkuat oleh catatan Sohimun Faisol.  Sohimun Faisol mengungkapkan bahwa: di Lombok dan NTB sejak NU Pertama kali menjadi parpol (1952-1971) terdapat beberapa tokoh NU, di wilayah Lombok Barat (termasuk kota Mataram) salah satunya adalah TGH Na’im.  Pada saat itu, TGH Na’im berusia sekitar 33 tahun.

Kedekatan TGH Na’im dengan tokoh-tokoh NU pada waktu itu juga memperkuat bahwa TGH Na’im adalah tokoh NU yang tidak memilih jalur politik seperti rekannya yang lain. Beberapa nama yang dekat dengan H Na’im yaitu TGH Anwar, TGH Hamzah Karim serta datok Bengkel. Tiga tokoh tersebut menjadi sahabat-sahabat perjuangan. Sementara datoq Bengkel, tidak sekadar dianggapnya sebagai sahabat tetapi juga guru tempat dia bertanya dan belajar. Posisi Datoq Bengkel yang sedemikian istimewa, dengan begitu, maka ketika Datoq Bengkel menginstruksikan sesuatu atau ada yang dibutuhkan, H Na’im tak pernah menolak. Dia seegra mencari-cari cara untuk melaksanakan instruksi Datoq Bengkel.

Di kepengurusan NU, H Na’im tercatat pernah sebagai wakil Ro’is Syuriah NU Lombok Barat yang pada saat itu ketua tanfidziyahnya adalah H. M. Hamzah Karim. Keterlibatan H Na’im secara struktural karena dipilih menjadi pengurus makin menambah kesibukannya sehari-hari.

Banyak hal yang telah diperbuat H Na’im  untuk berjuang membesarkan organisasi NU, berikut rekan dan sahabat pengurus lainnya selama menjadi pengurus NU. Misalnya, H Na’im punya andil besar atas keberadaan Sekretariat lembaga pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif). Upayanya bersama rekan-rekannya, salah satu di antaranya Hamzah Karim agar bagaimana kemudian kantor LP Ma’arif tegak berdiri hingga kini tidak terlepas dari perjuangannya.

Seperti diurai sebelumnya, bahwa sosok H Na’im termasuk orang ‘berada’ dari segi ekonomi pada saat itu. Terkait ini, tak terbantahkan bahwa ada yang mengatakan bahwa H Na’im banyak membantu berbagai kegiatan-kegiatan NU di masa-masa kepengurusan NU pada saat itu.  Imam Ghazali mengungkapkan: “Saya tahu bagaimana perjuangan TGH Na’im untuk membangun kantor LP Ma’arif di Mataram itu. Mereka, bersama rekan-rekan pengurus NU pada waktu itu, selain mendorong agar secara fisik kantor LP Ma’arif cepat terlihat, juga melakukan lobi-lobi kepada pemerintah secara administratif”.

Sepertinya, para pejuang NU pada waktu membagi peran. Di satu sisi, ada yang melakukan lobi-lobi politik kepada pemerintah untuk segera menghibahkan tanah untuk membangun LP Ma’arif, sementara di sisi lain, mereka juga mempersiapkan bahan-bahan material untuk membangun kantor LP Ma’arif. hasil kerja keras TGH Na’im pun tak sia-sia. Sekretariat LP Ma’arif di masa-masa itu, seperti  menjadi simbol keberadaan NU. Letaknya yang strategis di perkotaan membuat lembaga pendidikan yang bernaung di bawah PBNU itu seolah memegahkan NU, meski di kemudian hari kantor yang diperjuangkan dengan susah payah waktu itu harus mulai redup bak cahaya lampu di malam hari yang sinarnya mulai redup, lantaran kehabisan minyak.

Sunaryo mengungkapkan:

TGH Na’im itu, dia yang bawa kayu-kayu dari berbagai tempat, termasuk dari kampungnya sendiri. Kayu-kayu bahan membangun gedung Ma’arif itu setahu saya, dari TGH Na’im”.


Terkait aktivitas TGH Na’im di NU dan betapa besar perjuangan NU, diakui juga oleh putra TGH Anwar Monjok, Muhammad Tajudin.

Kuat juga keyakinan penulis, berdasarkan wawancara dengan berbagai tokoh, bahwa TGH Na’im punya andil besar dan pro aktif secara materi dalam membantu untuk mengembangkan bangunan Ponpes Darul Qur’an Bengkel. 

Suatu hari Datoq Bengkel pernah meminta bantuan kepada H Na’im agar dicarikan kayu guna menambah kekurangan bahan kayu untuk pembangunan salah satu sarana dan prasarana yang ada di pondok. Selang beberapa hari kemudian kayu yang diminta Datoq Bengkel segera diantar ke Bengkel.  Ia begitu cekatan mengeksekusi apa yang diinstruksikan pendiri Pondok Pesantren Darul Qur’an Bengkel itu.

Begitulah. Sepanjang hidupnya, selepas mengaji pada dua guru utamanya yakni TGH Abdul Hamid dan Datoq Bengkel, perjuangan untuk membangun masyarakat dan menghabiskan waktu untuk berkhidmat di NU seakan tiada pentahbisan menjadi perjalanan sejarah sosok TGH Na’im. Sayangnya perjuangan selalu ada batas dan akhirnya. Meski keinginan setinggi langit, terkadang karena batas usia, tidak semua impian dan cita-cita itu bisa digenggam. Demikian halnya seorang H Na’im.

Di usia yang sudah kian menua, TGH Na’im lebih banyak menghabiskan masa tuanya di rumah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, H Na’im sering mengeluhkan dirinya tidak bertenaga. Suara batuk yang mengganggu kesehatannya pun seakan tiada henti, membuat kesehatannya makin terganggu. Beberapa menit, sebelum azan berkumandang, H Na’im segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Ashar. Begitu selesai, dia berpindah duduk jarak semester ke belakang. Dalam keadaan duduk, ia menghembuskan nafas terakhirnya tepat di pada usia 64 tahun pada tanggal 24 Juli 1992. Ia meningggalkan keluarga dan satu putri kesayangannya. Dia pergi dan tak akan kembali. Selamat tinggal motivator dan pejuang NU.

Penulis : Mashur, MS

Penjual Madu dan Koordiator Lembaga Inisiatif


Post a Comment

Previous Post Next Post