Biografi TGH Musthofa Khalidi



TGH Musthofa Khalidy  (ilustrasi sempatbaca.com)


 
Sosok Mustofa, tidak sekadar alim, tetapi juga sosok yang memilih hidup biasa saja meskipun termasuk orang berada secara ekonomi. Jiwa wirausaha, berilmu, sangat melekat dalam diri seorang Mustofa. Selain tekun membimbing ummat yang kemudian hari banyak dari murid-muridnya menjelma menjadi sosok yang didengar dan ditiru



Tersebutlah nama TGH Khalidy. Dia salah seorang tokoh yang kemudian hari memiliki keturunan cukup berpengaruh di masa-masa selanjutnya. Dari data yang ada menyebutkan bahwa Al-Khalidy merupakan keturunan Syekh Nururrasyid Ibnu Hajar Al-Haitami salah seorang Arab yang berasal dari Bagdhad, Iraq, yang datang ke Lombok pada abad ke-13 Masehi/ke-6 Hijriyah.

Syekh Nururrasyid memiliki dua orang istri. Dari istri pertama Syekh Nururrasyid dikaruniai  tiga anak yaitu Sayyid Umar, Sayyid Amir dan Syarifah Qamariyah. Berikutnya, dari istri kedua, Syekh Nururrasyid dikarunia empat orang anak. Yaitu Sayyid Zulqarnain, Raden Lapsari, Al-Khalidy dan Syarifah Latifah. Al-Khalidy sendiri merupakan putra ketiga dari Syekh Nururrasyid.

BACA JUGA: Biografi Datoq Ibrahim


TGH Khalidy bersama istri tercinta Khadijah hidup bahagia bersama di desa Karang Bedil. Meski kehadiran para penjajah waktu itu acap kali membuat cemas datang menghantui, sesekali dada berguncang akibat rasa takut tak membuat seorang Khalidy terlena situasi mencekam itu. Ia menikmati masa bahagia dengan gadis pendampingnya hidupnya, Khadijah. Kebahagiaan itu makin lengkap sejak kehadiran putra-putri kesayangannya bernama Nafsari, Zahrah dan Abdul Sattar.

Beberapa waktu kemudian, senyum bahagia Tuan guru Khalidy (w.1358 H/1940) kembali merekah mendengar istrinya Khadijah segera melahirkan putra ke empat. Bayi mungil keempat yang akan menambah kebahagiaan tuan guru Khalidy itu bernama Musthofa.

Anak keempat tuan guru Khalidy ini dilahirkan pada tahun 1908. Di usia yang masih sangat belia dia sudah dikirim ayahandanya untuk menuntut ilmu. Dan pada saat berumur 10 tahun, tepatnya pada 1918 Musthofa dikirim ke Saudi menyusul kakaknya Abdul Satar.

Musthofa lahir tahun 1908. Putra kedua Tuan Guru Khalidy itu berangkat ke tanah suci bersama saudara tuanya Abdulsatar tahun 1918 selepas perang dunia pertama. Musthofa banyak menghabiskan waktunya belajar di Haramyn. Dia juga beberapa kali bolak balik ke Mekkah. Tentu tujuan dia ke sana, seperti yang diinginkan ayahandanya untuk menuntut ilmu. juga mencari sesuatu yang mungkin saja, akan memberikan pengaruh kepada dirinya pribadi kelak di kemudian hari ketika dia sudah dewasa dan berbaur dengan masyarakat saat nanti tengah berada di kampung halaman.

Setelah kembali ke kampung halaman, TGH Musthofa mengabdikan diri pada ummat dengan mengajar di desa membina masyarakat setempat. Selain memiliki pengetahuan agama yang cukup, dan untuk mengamalkan dan menyebarkan syiar Islam, Musthofa aktif membimbing dan membina masyarakat pada waktu itu. Tidak hanya itu, Musthofa juga hobi bisnis. Beragam jenis usaha dan aktivitas bisnis ditekuni Musthofa, mulai dari bisnis tanah, jual beli mutiara dan lainnya.

Tampaknya, TGH Musthofa memahami betul salah satu hadist nabi berikut: “Berdaganglah kalian ! karena 99 persen rizki ada pada berdagang”.

Tak heran, semangat itu tertancap kuat dalam dirinya, sehingga hari-harinya, selain diisi dengan aktivitas memberikan pengajian, di sela sela kesibukannya, Musthofa mencari nafkah dengan jalan berdagang (bisnis). Tak heran, pada masanya, Musthofa termasuk orang yang berada. Kata lainnya, kehidupan ekonomi Musthofa termasuk dalam kategori mapan (tajir). Keadaan ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari dari hobinya berjualan ‘bisnis’.

Sebagai sosok yang berilmu dan pernah belajar di Haramyn, sekembalinya ke kampung halaman Musthofa sangat diperhitungkan. Selain sebagai sosok yang berilmu, masyarakat yang hendak mengetahui ajaran Islam—Musthofa lah tempat mereka bertanya tentang beragam persoalan-persoalan agama yang tentu saja sebagian di antara warga masyarakat kurang tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali. Sebagai sosok yang berilmu, juga intens menggeluti dunia usaha, menyebabkan seorang Mustofa pun sering berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai kalangan, golongan, kelompok dan bahkan agama. Tak pelak hal ini kemudian menjadikan dirinya dikenal masyarakat dari berbagai latar belakang. Dalam kehidupan sehari-hari pun, kediaman Mustofa hampir tak pernah sepi. Hari ini datang, sebagaian dari masyarakat yang bertanya tentang ilmu agama dan atau mengaji, besoknya, rekan sesama bisnis (pedagang). Pun kemudian hari-hari berikutnya, Mustofa sering didatangi oleh tuan guru, tokoh masyarakat dari berbagai tempat, baik yang sekedar silaturahim ataupun mengaji dan hendak mendengar wejangan pada putra kedua Tuan Guru Khalidy.

Banyak tuan guru yang sering bersilaturahim di kediaman Mustofa, salah satu misalnya, tuan guru yang sangat dikenal publik pada masa itu, yakni Tuan Guru Rais, dari Sukarbela. Menelisik sekilas, kenapa TGH Rais Sukarbela kerap mampir di kediaman TGH Musthofa tentu sesuatu yang tak biasa, melainkan ada hubungan-hubungan tertentu yang kerapkali mereka diskusikan untuk kepentingan ummat.

 
Interaksi tanpa pandang bulu

Sepertinya tiga putra kesayangan TGH Khalidi itu berbagai peran sekembali dari Mekkah. Sekitar dua tahun berada di rumah Kediri pada 1941 setelah pulang dari Mekkah TGH Ibrahim mulai aktif di tengah-tengah masyarakat. Seperti halnya kehidupan di kampung yang terbiasa bergaul, berinteraksi satu sama lain, TGH Ibrahim juga begitu. Dia berinteraksi, berdiskusi sembari pelan-pelan mengajak warga untuk mau melakukan perubahan, mau berfikir maju untuk kemajuan bersama di segala bidang.

Masyarakat yang berinteraksi dan bergaul secara intens pun kemudian tahu kedalaman ilmu agama sosok Ibrahim. Perlahan kemudian banyak yang sering silaturahim lalu belajar ilmu agama di ke kediaman TGH Ibrahim. Lambat laun, makin banyak warga yang datang belajar ilmu agama. Pengajian, akhirnya mulai sering diadakan meski dalam bentuk sangat sederhana. Senang melihat antusiasme warga, TGH Ibrahim pun tambah semangat, lalu terus mendorong agar warga masyarakat waktu itu untuk belajar, berdiskusi tentang berbagai hal, khususnya ilmu agama.   

Seiring waktu pertemuan, kholaqoh-kholaqoh kecil makin sering terlihat di bilik kediaman TGH Ibrahim di masa itu. Semakin hari, murid kian banyak, maka pada tahun 1942, mulai dibuat lagi, rumah yang atapnya dari daun kelapa (kelangsah; sasak), dan bilahan potongan bambu dijadikan tiang agar suasana diskusi dan mengaji lebih memungkinkan menampung banyak orang. 

Saat itu, yang datang ngaji diajarkan ilmu aqidah dan pengetahuan ilmu tauhid. Akhirnya lama kelamaan, pengajian itu diberi nama “Madrasah Tahdiri”. Sayangnya, madrasah ini tidak berumur panjang, keburu ditutup pada sekitar tahun 1943 oleh tentara Jepang yang masuk ke Indonesia termasuk Lombok.

Melihat semangat adik tercinta Ibrahim, begitu antusias mengembangkan ilmu pengetahuan, bersamaan dengan minat masyarakat sekeliling yang cukup antusias, Tuan Guru Haji Mustofa tidak tinggal diam. Tak hanya menyemangati adiknya tercinta, lebih dari itu TGH Musthofa memberikan dukungan moral dan material. TGH Mustofa mewakafkan sebidang tanah di pinggir jalan Dusun Pelowok seluas 30 meter x 30 meter. Separuhnya untuk dibangun Madrasah, sisanya untuk pekuburan warga, khusunya kaum muslim. 

Tak ubahnya pemain inti dalam satu klub sepak bola, yang saling memberikan umpan untuk mencetak gol dan meraih kemenangan—tiga putra Tuan Guru Khalidy berbagai peran terus giat mengajak masyarakat desa dan Dusun Karang Bedil bergotong-royong membangun Madrasah. Madrasah itulah yang kemudian hari banyak melahirkan para tuan guru, tokoh pemuda, pencermah dan yang lainnya. Ketiga putra Tuan Guru Khalidy ini, lebih lanjut membersamai hajat dan mimpi saudaranya. Mereka saling dukung dan memberi semangat dalam menebar syiar Islam melalui lembaga pendidikan yang didirikan secara institusional. Dan akhirnya, Ponpes Islahuddiny ini pun di kemudian hari banyak berkontribusi melahirkan tuan guru, tokoh pemuda yang menyebar seantero Nusa Tenggara Barat (NTB).

Hari berganti, bulan-bulan berlalu, tahun pun terus berjalan, makin terasa manfaat hadirnya lembaga bernama Islahuddny bagi masyarakat baik untuk masyarakat Kediri, lebih-lebih masyarakat luar yang hendak datang mengaji.

Di saat tengah berjalannya pondok Islahudinny, belum lagi santri yang datang dari berbagai desa berdatangan, maka kebutuhan akan sarana dan prasarana fisik dan tenaga pengajar, menuntut perjuangan lebih giat untuk melengkapi. Namun demikian, kebutuhan-kebutuhan untuk itu selalu bisa ditanggulangi. TGH Ibrahim berikut TGH Musthofa terus pro aktif memikirkan dan berusaha mencari solusi agar kebutuhan-kebutuhan santri yang belajar bisa dilaksanakan secara efektif. Di sinilah peran aktif TGH Musthofa makin terlihat untuk berkontribusi lahir dan bathin membesarkan Ponpes Islahuddiny.

Barulah setelah berbagai kebutuhan, sarana dan prasarana lumayan memadai, TGH Musthofa mencoba perjuangan di jalur lain, yang lebih banyak bersentuhan dengan realitas masyarakat.  

Dalam pada itu, akhirnya, dalam perkembangan berikutnya, TGH Mustofa merasa lebih mantap melangkahkan kaki di jalur itu untuk menebar dakwah. Nyaman dengan interaksi dan pergaulan dengan warga secara langsung waktu itu, membuat TGH Musthofa pun tampaknya lebih banyak menghabiskan waktunya berdakwah di tengah pergumulan sosial. Tetapi bukan tanpa resiko, dia harus mampu menyesuaikan waktunya dan tak boleh lupa dengan tugasnya di ponpes Islahuddniy. Syukurnya, di situ adik tercinta Musthofa—TGH Ibrahim rupaya  memainkan peran yang membuat seorang kakak merasa bahagia dengan tanggungjawab seorang Ibrahim. Sepintas melihat peran yang dimainkan adiknya, TGH Musthofa merasa sangat senang, bahagia. 

Hari-hari TGH Musthofa, selanjutnya terus keliling dari satu tempat ke tempat yang lain mengembangkan hobinya. TGH Mustofa memang lebih senang dengan hobi dan dunia yang ditekuni sebelumnya, berbisnis, bersilaturahmi dan lebih memilih mengajar dan membimbing masyarakat di rumahnya sendiri. Di sinilah letak perbedaan tiga putra Tuan Guru Khalidy. Jika Ibrahim selain fokus membesarkan Ponpes yang dulu dirintis dengan saudaranya, ia juga terlibat dalam dunia politik. Sementara Mustofa tidak begitu ingin terlalu tampil, namun kemampuan dan perkembangan bisnis yang ditekuninya tak pernah membuat dia lupa untuk berkontribusi secara materi dalam berbagai kegiatan yang membutuhkan uluran tangannya.

Mustofa sepertinya lebih memilih untuk menikmati dunianya: untuk mendidik ummat secara bebas melalui interaksi dan pergaulan sehari-hari, mengajar dengan gaya khas ‘semi formal’. Juga menikmati hobinya berbisnis dan bergaul dengan masyarakat. Terkait hobi yang juga melekat sebagai tugas dan tanggungjawabnya mendidik ummat, didikan dan murid TGH Musthofa sudah banyak menjadi pimpinan pondok di beberapa tempat.

Dalam pergaulan dan interaksinya dengan masyarakat sosok Musthofa tak pandang bulu, tidak eksklusif. Kehidupan masyarakat setempat yang masih kental dengan adat, tradisi dan budaya saat itu, bagi Musthofa adalah kekayaan yang lahir dari masyarakat yang harus dihidupkan. Terkait ‘budaya’ dan ‘adat istiadat’, sosok TGH Musthofa termasuk orang yang menghidupkan budaya dan tradisi yang diamalkan warga Nahdliyyin, seperti; nyiwak, mitung, nelun dan sebagainya. Amalan ajaran agama yang disyiarkan Mustofa dalam kehidupan sehari-hari adalah amala-amalan Aswaja, sebagaimana ditumbuh-kembangkan oleh organisasi besar yang didirikan oleh hadratus Syekh Hasyim Asy’ari.

Dalam kehidupan sehari-hari, di tengah-tengah istri dan keluarganya, putra TGH Khalidi itu sangat disiplin dalam mendidik putra-putrinya. Tetapi meski disiplin, bukan berarti mengekang kebebasan putra-putrinya. Selain disiplin, ia juga sangat akrab dengan putra-putrinya. Sangat berbeda dengan orang tua kebanyakan, yang kadang renggang dengan putra-putrinya. Tambahan lagi, TGH Musthofa termasuk sosok yang hidup sederhana meskipun termasuk mapan secara ekonomi (kaya). Selain itu sifat yang paling melekat dan diakui adiknya TGH Ibrahim, adalah karakter pemberani seorang, Musthofa. “Iya Musthofa itu sangat pemberani,”tutur TGH Abdullah Musthofa berikut murid dan orang-orang terdekat Musthofa saat masih bersama.


Sisi lain TGH Musthofa Kahlidy

Beda orang, beda pula karakternya. Lain orang, lain pula cita-cita dan prinsipnya. Dua hal berbeda ini, dalam kehidupan akan saling melengkapi dan menunjang satu sama lain. Dan bahkan dengan adanya perbedaan karakter satu dengan yang lain, membuat segala sesuatu menjadi—bukan hanya unik, istimewa tetapi lebih dinamis.

Dalam kaitan ini, melihat sekaligus menilai sosok TGH Musthofa dengan saudaranya, tentu agak berbeda. Jika TGH Ibrahim menikmati dunianya sendiri dengan fokus membina ummat melalui lembaga yang diinisiasi bersama sang kakak. Juga asyik dengan keterlibatannya dalam politik terutama di Golkar, maka TGH Musthofa juga asyik dengan sesuatu yang memang menghendaki apa kata hatinya, seperti mengajar, mendidik ummat melalui pengajian yang diadakanya di rumahnya sendiri dengan santai ‘semi formal’. Di saat yang sama, tidak sedikit santri yang belajar langsung di Ponpes Islahudiny, tinggal (berasrama) di rumah TGH Musthofa. Beruntungnya murid dan santri murid yang tinggal di rumah TGH Musthofa, mereka dapat belajar di Ponpes Islahuddiny juga belajar aneka kitab kuning secara langsung kepada kakak tercinta TGH Ibrahim.

Pengalaman santri, murid, yang mengaji di TGH Musthofa, katanya, mereka diajarkan ngaji bergaya santai dan rileks. Juga humoris. Pengalaman lainnya, banyak santri yang tidak punya kitab, langsung diberikan dan dibelikan cuma-cuma (gratis) oleh tuan guru. Kata salah satu murid TGH Musthofa, bernama TGH Mukhtar Fauzy (kini mengajar di program Takhasuss Islahuddiny), “Kitab-kitab yang saya punya dibelikan oleh tuan guru”.

TGH Mukhtar bercerita :

“…Gaya ngajar papuk Tuan Thafa itu santai. Sedikit, tapi jelas”. TGH Mukhtar juga mengaku, katanya “Berkat bimbingan beliau (TGH Musthofa, red), alhmadulillah saya bisa membaca kitab Arab, bisa mengabdikan ilmu dan diri saya di program Takhasus Ponpes Islahuddiny sampai sekarang”.


TGH Mukhtar menambahkan  :

….Tidak sedikit tokoh-tokoh yang dari Sesela, yang kemudian menjadi tuan guru dan tokoh yang didengar di kampung halamanya, pernah belajar pada papuk Tuan Thafa. Ada tuan guru Ridwan, tuan guru Sanusi, tuan guru Kahar”.     

 
Selain memberi pengajian dan mengajar di rumah, TGH Musthofa hobi bisnis, berdagang. Menurut salah satu putra TGH Musthofa, yakni TGH Abdullah Mustofa (ketua MUI), seperti diulas salah satu media online, TGH Abdullah menceritakan : Bapak dulu hobi bisnis. Beliau bisnis tanah. Selain itu, jual beli mutiara, permata. Jadi bapak paham betul dunia perhiasan. Iya, pokoknya dulu senang bisnis.


Menjelang Akhir Hayat

Sebagai tokoh yang memiliki pergaulan luas, berinteraksi dengan banyak orang, begitu mendengar kabar Papuq Tuan Thafa—begitu kerap ia dipanggil di saat usianya sudah sepuh meninggal, rasa sedih dan duka bercampur jadi satu. Masyarakat dari berbagai kalangan merasa kehilangan atas kepergian sang guru.

Beberapa hari sebelum meninggal tepatnya hari Jum’at, TGH Musthofa mengeluhkan sakit. Meski selalu menolak dibawa ke rumah sakit, keluarga terdekat terus memaksa agar tuan guru mau dibawa. Tak bisa mengelak, tuan guru pun meng-iyakan kemauan istri dan keluarga terdekat waktu itu, agar dirawat di rumah sakit RSUD Provinsi.

Berada di rumah sakit, tuan guru mendapat perawatan intensif dari dokter. Banyak keluarga yang turut hadir menyertai. Banyak sahabat yang datang menjenguk.

TGH Mukhtar yang banyak meluangkan waktu menemani tuan guru, menceritakan :Bahwa rasa sakit yang diderita tuan guru, bukan karena penyakit kronis atau penyakit sebelumnya”. Katanya menirukan ucapan dokter Boediman yang menangani waktu itu, kalau hasil pemeriksaan dari segi medis, penyakit tuan guru tidak ada. Semua normal.

Selama berada di rumah sakit menemani tuan guru, murid yang juga santrinya TGH Mukhtar menyaksikan secara langsung pengalaman-pengalamanya menemani malam-malam sang guru di rumah sakit. Belum beberapa hari saja, tuan guru selalu minta dibawa pulang. Tapi, sayangnya, keinginan tuan guru untuk pulang tak bisa karena kekhawatiran keluarga. TGH Mukhtar juga melihat langsung, selama berada di rumah sakit, tuan guru selalu dalam keadaan posisi duduk dan tak pernah lupa untuk melaksanakan sholat. Hal itu, karena selama berada di rumah sakit, TGH Mukhtar sendiri yang mengambilkan air wudhu sekaligus menemani tuan guru jika hendak ke kamar mandi.

Pada malam-malam berikutnya, tepatnya Minggu, keinginan tuan guru untuk dibawa pulang kembali terdengar dari suara parau tuan guru sembari berbaring di atas kasur. Suara itu reda begitu ada lagi tamu yang datang menjenguk. Selepas sholat Isya’ sembari tuan guru Mukhtar ikut menemani tetamu yang datang. Beberapa jam kemudian, tuan guru Mukhtar memilih tidur lantaran tuan guru juga terlihat tidur pulas di atas pembaringan. Begitu waktu Subuh terdengar, dan Mukhtar hendak membangunkan sang tuan guru, dilihatnya tuan guru sudah dalam keadaan posisi sholat Subuh. Beberapa jam kemudian, sang tuan guru terlihat duduk melepas kepalanya di atas bantal sembari duduk. Begitu dibangunkan, sang tuan guru ternyata telah menghembuskan nafas terakhir. 

Melihat sang tuan guru dalam keadaan demikian, TGH Mukhtar kaget dan segera memangil dokter agar memeriksa kembali. Namun demikian, Tuhan berkata lain. TGH Musthofa pamit dan pergi meninggalkan istri, keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Setelah berbagai persiapan dilakukan, akhirnya tuan guru dibawa pulang untuk dimandikan dan dikafankan kemudian dimakamkan. TGH Musthofa Khalidy meninggal dalam usia yang cukup sepuh tepatnya pada bulan maulid pada tahun 1974 dan dimakamkan di pemakaman Kediri Lombok Barat.

 
Sehimpuan Karomah

Sepertinya suatu keanehan, yang kadang tidak masuk akal yang dilihat oleh seseorang yang dekat dan ditunjukkan secara spontan dari sikap seorang yang dianggap alim, dalam pandangan masyarakat sering dianggap sebagai suatu hal ‘istimewa’. Tak hanya itu, tetapi diyakini sebagai suatu karomah; sebuah keistimewaan yang diberikan sang pencipta kepada hamba kesayangan sang khaliq.

Tentang keanehan, keistimewaan, serta sebutan ‘keramat’, melekat juga pada diri TGH Musthofa. Dia salah satu tokoh yang dianggap memiliki keramat oleh—bukan hanya sebagian orang-orang yang pernah dekat dengannya, tetapi juga masyarakat kebanyakan, khususnya yang ada di Kediri. 

Misalnya, semasa TGH Musthofa hidup, dia pernah mengungkapkan bahwa suatu ketika nanti kita akan kehilangan adiknya TGH Ibrahim. Nah, sepeninggal TGH itu kubah masjid yang ada di Kediri akan jatuh.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1993 TGH Ibrahim meninggal dunia. Sepeninggal TGH Ibrahim, suasana sedih dan haru pun masih menyelimuti perasaan warga Kediri dan sekitarnya. Perasaan sedih itu bercampur kaget luar biasa ketika warga setempat mendapat kabar jatuhnya kubah masjid. Begitu Kubah Masjid yang ada di dusun setempat, mengingatkan sebagian orang yang pernah mendengar secara langsung ucapan TGH Musthofa. Cerita itu pun berkembangan hingga saat ini. Terlepas benar atau tidak, ucapan TGH Musthofa Khalidy saat masih hidup itu, oleh sebagian masyarakat, dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Seakan bukti bahwa TGH Musthofa Khalidy punya kekuatan prediksi yang tinggi.   

Kisah yang lain juga datang dari berbagai sumber. Ceritanya begini, “Selang sehari setelah TGH Musthofa, suatu malam, salah seorang warga Kediri sedang berada di sawah, sedang memperbaiki aliran air di sawah miliknya. Tanpa sengaja, ia melihat cahaya yang muncul dari kuburan. Penasaran dengan cahaya yang aneh dan kali pertama dilihatnya, ia pun mendekati dari mana arah cahaya ‘sinar’ itu keluar dari kubur. Begitu mendekat, ternyata cahaya, sinar yang keluar hingga menembus terus ke atas tanpa sejauh mata memandang, keluar dari kuburan TGH Musthofa Khalidy yang baru sehari dimakamkan”.

Mendengar peristiwa itu, masyarakat setempat beranggapan bahwa ada suatu hal yang istimewa yang melekat pada diri seorang Musthafa Khalidi.

Kejadian yang sama juga pernah dialami salah seorang Camat bernama Raden Muh. Nuh yang bertugas di Kediri. Peristiwa ini terjadi pada 1974. Suatu malam pak Camat yang tugas di Kediri, hendak menghadiri undangan, pertemuan di kediaman datok Nasruddin di Gelogor. Waktu itu, keadaan, kondisi gelap, baik di jalanan dan sebagian warga kampung. Kondisi demikian memang lumrah, karena saat itu masih banyak yang belum memiliki listrik. Di tengah perjalanan hendak menuju Gelogor, tanpa sengaja pak Camat, melihat arah kuburan di mana TGH Musthofa Kahlidy dimakamkan. Tepat dari arah kuburan, tepatnya di makam TGH Musthofa, ia melihat sinar ‘cahaya’ menyembur dan hampir menerangi keadaan gelap di lingkungan pemakaman. Tibalah dia di kediaman datoq Gelogor, dan menyampaikan apa yang dilihatnya saat di perjalanan, beberapa tokoh dan tuan guru yang hadir hanya senyum.  

Dua kejadian yang sama dan terjadi di waktu yang berbeda, diakui oleh banyak masyarakat bahwa Musthofa Khalidy adalah hamba Allah yang memiliki keramat.

TGH Musthofa Khalidy memiliki keistimewaan mengetahui orang pedagang yang doyan bohong. Kalau pedagang yang jualan kepada rekan, sahabat dan kepada TGH Musthofa, begitu selesai akad, selang beberapa saat kemudian, pedagang yang biasanya suka bohong akan mengalami sesuatu yang mencelakakan dan merugikan diri pedagang yang tadinya berbohong.

Penulis: Mashur, MS

Penjual Madu dan Koordinator Inisiatif

5 Comments

  1. Syekh Nururrasyid memiliki dua orang istri. Dari istri pertama Syekh Nururrasyid dikaruniai tiga anak yaitu Sayyid Umar, Sayyid Amir dan Syarifah Qamariyah. Berikutnya, dari istri kedua, Syekh Nururrasyid dikarunia empat orang anak. Yaitu Sayyid Zulqarnain, Raden Lapsari, Al-Khalidy dan Syarifah Latifah. Al-Khalidy sendiri merupakan putra ketiga dari Syekh Nururrasyid.

    SUMBERNYA TIDAK ADA DITULIS

    ReplyDelete
  2. Kenapa niki tulisannya ustad @Dedi Suari

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post