Ilustrasi, sempatbaca.com
Kita harus terus berharap dan berikhtiar untuk to the best. Teruslah berkhayal, berimajinasi. Imajinasi itu kekuatan
Setiap kita pasti punya harapan, mimpi-mimpi dan cita-cita. Harapan semua itu-- lalu kita gantung setinggi angkasa. Seperti halnya tahun baru: tahun 2022.
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa ya?
Rasanya baru kemarin kita berada di 2021, eh kini sudah 2022.
Setahun lalu, mengakhiri tahun 2020, kita berharap banyak hal. Tapi begitu tiba 2021 dan sedang kita jalani, ternyata juga sama.
Kini, tahun 2021 segera kita lalui, menuju tahun 2022. Kita pasti punya banyak harapan. Dan harapan itu pasti yang indah sekaligus mengesankan. Tidak hanya itu, kita pasti ingin yang gampang-gampang dan kita itu ogah sesuatu yang bikin ribet. Tetapi begitu kita jalani, terkadang sama. Kata penyair Putu Wijaya, "Tak ada yang berubah. Setelah datang tahun baru, ternyata membawa kesamaan serupa. Hanya perasaan saja yang berubah".
Meski begitu, kita harus tetap punya harapan. Harapan itu adalah kekuatan. Saya ingat pesan guru bangsa Prof Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur tentang harapan. Cak Nur bilang : harapan adalah pangkal kebahagiaan yg amat penting. Harapan itulah yg membuat manusia itu lapang dalam hidup dan mampu bertahan terhadap tantangan dan pancaroba.
Lantaran harapan itu penting, kita pun berharap begitu banyak tahun 2022. Harapan itu antara lain semoga tahun 2022 kita lalui makin lebih baik dan berkualitas, dan lebih bisa bikin kita bersyukur. Pendek kata, semua yang baik dan membawa kedamaian.
Apa gak kebanyakan yang kita harap itu?
Ya Gak lah. Tentu tidak.
Jangan pernah takut untuk berharap. Sebab Allah, selalu memberikan kita ruang sangat luas untuk menggantungkan harapan. Allah tempat segala sesuatu bergantung. Dan hanya Allah satu-satunya pemberi harapan yang tidak pernah mengecewakan kita.
Ada pepatah Ingat menarik kita camkan betul-betul di kepala kita. Pepatah itu berbunyi, "Alangkah sempitnya hidup ini jika karena tidak lapangnya harapan".
So, tahun baru telah datang, tantangan baru datang menghadang. Jadi siap-siaplah mengisi lembar demi lembar kehidupan di tahun ini. Jangan pernah sia-siakan.
Kehidupan berbangsa dan bernegara
Belakangan ini, hari-hari dalam hidup ini, terasa sekali bedanya kondisi yang kita alami. Musibah datang bertubi-tubi. Bencana tak henti hentinya melanda. Akibat dari itu semua, kelaparan, kehilangan harta benda bahkan sebagian sahabat kita kehilangan sesuatu yang berharga: keluarga kita, anak-anak dan istri kita.
Belum lagi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang masih belum stabil. Kasus-kasus korupsi merajalela. Perampokan, pembunuhan, terjadi di mana-mana. Perang sesama juga menjadi peristiwa yang membuat dada kita sesak. Di sana sini terjadi saling hujat. Kebencian begitu mudahnya kita sebar.
Terkait kasus yang ada muatan 'kebencian' atau 'dengki', satu peristiwa aktual bisa dijadikan contoh untuk menjadi pembenaran sebagian pihak (kelompok). Yakni kasus salah satu penceramah pimpinan Ponpes di Lombok bernama Mizan Qudsiyah.
Ceramah MQ itu cukup menyita perhatian publik, sebab dianggap menghina makam para leluhur hampir seluruh warga Lombok.
Aroma kebencian tampak pada banyak hal. Bisa dilihat dari sikap, tindakan, baik ditunjukkan secara verbal-nonverbal.
Lalu apa kita hanya diam, membiarkan itu semua terjadi. Tentu tidak kan?
Untuk mengatasinya, kita harus memulai, setidaknya dengan melalui kesadaran. Kesadaran adalah sebuah proses mengenali diri kita, lalu menyadari faktor-faktor atas penilaian dan interaksi terhadap lingkungan sekitar. Kesadaran penulis bagi jadi dua hal: yaitu, pertama, kesadaran personal. Kedua, kesadaran kolektif.
Pertama, kesadaran personal personal awarness). Sebesar apapun usaha pemerintah, usaha kelompok, kalau kita tidak memulainya dari kita sendiri, akan sulit dicapai.
Kesadaran personal ini, jika sudah berkembang, meningkat menjadi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif adalah kesadaran yang lahir karena punya visi dan misi bersama untuk tujuan kebaikan.
Hanya saja, membangun kesadaran itu tidak gampang. Tak heran kemudian, dalam kacamata psikolog kesadaran termasuk salah satu menakjubkan dalam hidup manusia sekaligus sesuatu yang sukar dimengerti.
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa ya?
Rasanya baru kemarin kita berada di 2021, eh kini sudah 2022.
Setahun lalu, mengakhiri tahun 2020, kita berharap banyak hal. Tapi begitu tiba 2021 dan sedang kita jalani, ternyata juga sama.
Kini, tahun 2021 segera kita lalui, menuju tahun 2022. Kita pasti punya banyak harapan. Dan harapan itu pasti yang indah sekaligus mengesankan. Tidak hanya itu, kita pasti ingin yang gampang-gampang dan kita itu ogah sesuatu yang bikin ribet. Tetapi begitu kita jalani, terkadang sama. Kata penyair Putu Wijaya, "Tak ada yang berubah. Setelah datang tahun baru, ternyata membawa kesamaan serupa. Hanya perasaan saja yang berubah".
Meski begitu, kita harus tetap punya harapan. Harapan itu adalah kekuatan. Saya ingat pesan guru bangsa Prof Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur tentang harapan. Cak Nur bilang : harapan adalah pangkal kebahagiaan yg amat penting. Harapan itulah yg membuat manusia itu lapang dalam hidup dan mampu bertahan terhadap tantangan dan pancaroba.
Lantaran harapan itu penting, kita pun berharap begitu banyak tahun 2022. Harapan itu antara lain semoga tahun 2022 kita lalui makin lebih baik dan berkualitas, dan lebih bisa bikin kita bersyukur. Pendek kata, semua yang baik dan membawa kedamaian.
Apa gak kebanyakan yang kita harap itu?
Ya Gak lah. Tentu tidak.
Jangan pernah takut untuk berharap. Sebab Allah, selalu memberikan kita ruang sangat luas untuk menggantungkan harapan. Allah tempat segala sesuatu bergantung. Dan hanya Allah satu-satunya pemberi harapan yang tidak pernah mengecewakan kita.
Ada pepatah Ingat menarik kita camkan betul-betul di kepala kita. Pepatah itu berbunyi, "Alangkah sempitnya hidup ini jika karena tidak lapangnya harapan".
So, tahun baru telah datang, tantangan baru datang menghadang. Jadi siap-siaplah mengisi lembar demi lembar kehidupan di tahun ini. Jangan pernah sia-siakan.
Kehidupan berbangsa dan bernegara
Belakangan ini, hari-hari dalam hidup ini, terasa sekali bedanya kondisi yang kita alami. Musibah datang bertubi-tubi. Bencana tak henti hentinya melanda. Akibat dari itu semua, kelaparan, kehilangan harta benda bahkan sebagian sahabat kita kehilangan sesuatu yang berharga: keluarga kita, anak-anak dan istri kita.
Belum lagi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang masih belum stabil. Kasus-kasus korupsi merajalela. Perampokan, pembunuhan, terjadi di mana-mana. Perang sesama juga menjadi peristiwa yang membuat dada kita sesak. Di sana sini terjadi saling hujat. Kebencian begitu mudahnya kita sebar.
Terkait kasus yang ada muatan 'kebencian' atau 'dengki', satu peristiwa aktual bisa dijadikan contoh untuk menjadi pembenaran sebagian pihak (kelompok). Yakni kasus salah satu penceramah pimpinan Ponpes di Lombok bernama Mizan Qudsiyah.
Ceramah MQ itu cukup menyita perhatian publik, sebab dianggap menghina makam para leluhur hampir seluruh warga Lombok.
Aroma kebencian tampak pada banyak hal. Bisa dilihat dari sikap, tindakan, baik ditunjukkan secara verbal-nonverbal.
Lalu apa kita hanya diam, membiarkan itu semua terjadi. Tentu tidak kan?
Untuk mengatasinya, kita harus memulai, setidaknya dengan melalui kesadaran. Kesadaran adalah sebuah proses mengenali diri kita, lalu menyadari faktor-faktor atas penilaian dan interaksi terhadap lingkungan sekitar. Kesadaran penulis bagi jadi dua hal: yaitu, pertama, kesadaran personal. Kedua, kesadaran kolektif.
Pertama, kesadaran personal personal awarness). Sebesar apapun usaha pemerintah, usaha kelompok, kalau kita tidak memulainya dari kita sendiri, akan sulit dicapai.
Kesadaran personal ini, jika sudah berkembang, meningkat menjadi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif adalah kesadaran yang lahir karena punya visi dan misi bersama untuk tujuan kebaikan.
Hanya saja, membangun kesadaran itu tidak gampang. Tak heran kemudian, dalam kacamata psikolog kesadaran termasuk salah satu menakjubkan dalam hidup manusia sekaligus sesuatu yang sukar dimengerti.
Meski tak gampang, kita harus tetap optimis. Memandang jauh ke depan dalam hidup ini. Kita harus punya mimpi. Kita harus bisa memupuk imajinasi kita. Imajinasi itu kekuatan, imajinasi itu modal besar besar untuk membangun diri. Juga membangun peradaban. Sehingga tak heran, Tokoh besar Albert Einstein, berani berujar, "Imagination is more important than knowledge".
Begitulah.
Semoga di tahun 2002 ini, kita menjadi lebih baik. Juga menjadi the best di tahun-tahun yang akan datang.
Semoga di tahun 2002 ini, kita menjadi lebih baik. Juga menjadi the best di tahun-tahun yang akan datang.
Semoga semua kita baik-baik dan sehat-sehat serta tercapai mimpi dan cita-cita kita di tahun 2022. Selamat tahun baru, semoga kita semua senantiasa dijaga Allah Swt.
Penjual Madu. Pendiri Inisiatif Institut
Post a Comment