Membedakan Orang Berilmu

 


Foto: sumber google.com

 

Agak sulit membedakan mana orang berilmu atau tidak. Jadi pandai-pandailah menilai


Uniknya ilmu agama dengan ilmu sains bahwa level ilmu agama seseorang tidak terlalu mudah untuk dibuktikan oleh orang awam. Maksudnya, kalau orang awam akan kesulitan memastikan apakah seorang tokoh itu memang ahli ilmu agama atau bukan.

Sedangkan dalam masalah ilmu sains, setiap orang bisa langsung menilai dan memastikan dengan mudah, apakah dia punya ilmu atu tidak.

Mau contoh yang gampang?

Misalnya ban motor kempes, bawa aja ke tukang tambal ban pinggir jalan. Kalau si tukang tambal bisa dengan terampil mengerjakan dengan cepat, sepuluh menit doang pekerjaannya selesai, maka kita bilang dia berilmu. Namanya Ilmu tambal ban.

Tapi kalau tukang tambal ban gadungan, ada aja masalah dan pekerjaannya nggak selesai-selesai. Buka pentil aja pun nggak bisa. Nyalain kompresor pun bingung. Habis ditambal baru jalan sepuluh meter, sudah kempes lagi.

Nah kita yang awam pun tahu bahwa itu tukang tambal ban tidak berilmu alias gadungan. Pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan sambil merem, ternyata nggak beres-beres juga.

Lalu bagaimana kita yang awam ini bisa menilai kualitas keilmuan seorang tokoh agama atau ustadz?

Agak susah juga. Sebab banyak sekali para ustadz dan tokoh agama yang pintar ngomong, jagoan akting di panggung, pintar kutap-kutip ayat, hadits dan ungkapan-ungkapan berbahasa Arab.

Apalagi kostumnya pun kadang amat sangat meyakinkan. Pokoknya susah untuk mengetahui apakah dia punya ilmu atau tidak.

Yang bisa menilainya harus seorang ulama yang berilmu dan lebih tinggi ilmunya dari rata-rata.

Mau contoh?

Yang gampang saja lah. Saya kuliah S-3 diajar oleh Prof. Said. Agil Husein Al-Munawar. Beliau bagikan tugas makalah. Begitu saya maju ke depan membacakan makalah, Beliau pun banyak banget memberi catatan disana-sini. Makalah saya penuh dengan coretan-coretan Beliau, wabil-khusus angka tahun wafat para ulama.

Belum lagi tambahan buku dan kitab referensi yang beliau tambahkan, jauh lebih banyak dari yang sudah saya jadikan footnote.

Nah disitu kelihatan bahwa ilmu saya ini tidak ada apa-apanya di hadapan beliau. Walaupun saya kelihatannya sudah kayak ustadz beneran, begitu diminta menuliskan suatu tema pembahasan, ketahuan ilmu saya masih cetek.

Dan hal yang sama juga Beliau lakukan ketika saya sowan ke kediaman Beliau dalam rangka bimbingan disertasi. Hampir semua halaman diberi catatan disana-sini. Waw banget dan keren abis lah. Karena semua itu ilmu dan saya malah belum sampai kesitu ilmunya.
**

Sampai suatu hari saya diundang hadir pada acara Halal bi Halal Masjid Raya Bintaro Jaya Sektor 9. Pengurus nampaknya berhasil mengundang hampir semua para narasumber yang terjadwal di masjid itu. Termasuk saya salah satunya.

Banyak sekali dari narasumber yang sudah bergelar doktor dan sudah jadi singa podium dimana-mana. Namun dalam acara itu, tidak ada satu pun nara sumber yang berani maju ke depan memberi ceramah apalagi taushiyah.

Kok bisa?

Siapa yang berani ceramah di depan Prof. Dr. Sayid Agil Husein Al-Munawar. Meski sudah pada jadi doktor, tapi banyak banget yang dulu waktu menulis disertasi dibimbing oleh Beliau.

Semua kita ini murid beliau. Mana ada yang berani berkutik di depan Beliau. Mau ilmu yang mana saja, Beliau punya. Mungkin orang hanya tahu bahwa suara Beliau kalau baca Quran atau syair sangat merdu dan kuat tahan nafasnya.

Padahal itu hanya fenomena gunung es. Di bawah permukaan laut, masih dalam dan jauh lebih besar lagi.

Tapi ya begitulah, hanya kita-kita saja yang tahu posisi macam ini. Di mata jamaah awam, mereka tidak bisa bedakan mana guru besar dan mana ustadz remahan rengginang macam saya ini.

Penulis : Ahmad Syarwat
Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post