Masa Depan NU

 


Ilustrasi, sempatbaca.com


NU menjadi obyek kajian yang seksi bagi dunia kesarjanaan. Puluhan sarjana di Amerika, Eropa, Australia, dan Jepang, berlomba-lomba menulis tentang NU


Saya tak kuat menahan diri untuk tidak menulis seputar NU. Menjelang muktamar di Lampung minggu ini, timeline di media sosial saya berseliweran berita dan pernyataan seputar NU. Yang paling menarik dari semua kabar tentang NU adalah kandidat Ketua Umum yang bakal memimpin NU nanti.

Saya tidak megikuti dengan detil siapa saja calon-calon Ketum yang bakal meramaikan bursa pemilihan nanti. Yang saya tahu ada dua nama besar yang paling berpotensi memimpin jam'iyah ini. Yang pertama adalah KH Said Aqil Siradj, petahana yang sudah menjabat Ketum selama dua periode. Yang kedua adalah KH Yahya Cholil Staquf, yang kini menjabat sebagai Katib Am di PBNU.

Ada beberapa kandidat lain yang saya dengar. Tapi saya tak terlalu akrab dengan nama-nama itu. Jadi saya abaikan saja. NU adalah organisasi besar yang butuh pemimpin dengan kapasitas besar. Nama-nama lain di luar dua kandidat itu, menurut saya, kurang layak diperhitungkan. Mereka bisa saja ikut bertarung, untuk meramaikan pesta demokrasi yang dihelat kaum Nahdliyyin itu. Seburuk-buruknya, jika kalah, mereka sudah bisa tampil di panggung yang penuh dengan sorot kamera.

Nah, dari kedua kandidat itu, siapakah yang paling layak memimpin NU ke depan? Tanpa ragu sedikitpun, saya memilih Gus Yahya Staquf sebagai nakoda NU. Bukan hanya karena Kiai Said sudah memimpin jam'iyah ini selama dua periode, tapi karena NU sekarang membutuhkan seorang sosok yang mampu membawa NU satu langkah ke depan. Dan saya melihat tidak ada satupun tokoh NU sekarang ini yang memiliki kualitas seperti itu selain Gus Yahya. Tidak juga Kiai Said.

Sejak ditinggalkan Gus Dur, kepemimpinan NU seperti berjalan di tempat. Tak ada tokoh pengganti yang bisa menyamainya, bahkan mendekati kualitasnya. Tidak KH Hasyim Muzadi, penggantinya, tidak juga Kiai Said. Sejak ditinggalkan Gus Dur, NU seperti kehilangan arah, tak punya karakter, dan mudah terombang-ambing. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki NU adalah jumlah anggotanya, yang menjadi daya tarik sangat besar bagi politik nasional.

Kiai Hasyim adalah seorang politisi
, yang tak punya visi intelektual, apalagi visi kemajuan. Sementara Kiai Said lebih sebagai seorang kiai tradisional, yang selalu kikuk berhadapan dengan dunia modern. Untunglah dia dikelilingi anak-anak muda cerdas di bawahnya.

Harus dicatat dengan tinta tebal, NU mulai mendapatkan perhatian dunia internasional sejak dipimpin Gus Dur. Studi-studi tentang Islam Indonesia sebelum Gus Dur memimpin NU didominasi oleh kelompok-kelompok modernis. NU bukan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Tapi, setelah Gus Dur datang, NU menjadi obyek kajian yang seksi bagi dunia kesarjanaan. Puluhan sarjana di Amerika, Eropa, Australia, dan Jepang, berlomba-lomba menulis tentang NU.

NU yang sebelumnya bisu, tak punya juru bicara, tiba-tiba mencuat dengan sosok Gus Dur yang luar biasa. Bukan hanya mampu menjawab soal-soal non-agama, Gus Dur memiliki kemampuan berkomunikasi dengan sangat baik, termasuk penguasaan bahasa Inggris, yang tak banyak dimiliki oleh orang-orang NU. Singkatnya, Gus Dur adalah mesiah yang membawa NU dari kegelapan ke panggung penuh sorot cahaya.

Gus Yahya mungkin tak sama dengan Gus Dur. Tapi saya haqqul yakin kualitasnya mendekati Gus Dur. Saya tak kenal secara personal, tapi mengikuti kiprahnya dan mendengarkan pidato-pidatonya, Yahya Staquf adalah sosok yang pantas untuk memimpin NU. Seperti Gus Dur, ia lahir dari lingkungan darah biru NU. Juga seperti Gus Dur, dia pandai berkomunikasi, piawai berbahasa Inggris, dan mudah bergaul dengan siapa saja. Belum ada tokoh NU yang memiliki kecakapan paripurna semacam itu selain dia.

Dengan kemampuannya, Gus Yahya bisa membawa NU ke level yang lebih tinggi. Bukan hanya di pentas politik nasional, tapi juga di panggung dunia. Sudah cukup lama NU tak memiliki jubir yang baik di dunia internasional. Kehadiran Gus Yahya bisa mengisi kekosongan itu.

Muktamar NU adalah penentuan apakah NU akan terus menjadi buih, yang hanya menarik buat para politisi, atau akan menjadi penggerak perubahan, seperti pernah dilakukan Gus Dur dulu.

Selamat bermuktamar!

Penulis : Lutfie As-Syaukani
Dosen, Pemikir

Post a Comment

Previous Post Next Post