TGH. Musthofa Banjar, The First Leader NU Lombok



TGH Mustafa Bakri dan sejumlah tokoh-tokoh waktu itu (ilustrasi, sempatbaca)


TGH Mustafa Bakri (selanjutnya ditulis: MB) adalah perintis NU di NTB. Dia tak hanya cerdas, tetapi juga berilmu. Kata almarhum TGH Taqiuddin Mansur, "TGH Mustafa tergolong ulama yang kreatif dan pekerja keras



By: Mashur, M.S


ULAMA dari Banjarmasin ini lahir dari pasangan H. Sa’id dan Hj. Sa’diyah. Ayahnya memiliki tujuh orang anak, yakni H. Ahmad, H Sayuti, H Musthofa Bakri, H Yusuf, Hasan, Husain dan H. Abdulloh.

Musthofa, putra ketiga dari enam bersaudara. Beliau lahir sekitar tahun 1886 di daerah Tunggul Ireng, Kab. Martafura Kalimantan Selatan.

Mendengar kata “Banjar” di benak kita, teringat salah satu ulama masyhur, yaitu Maulana Syaikh Muhammad Arsyad Bin Abdullah Al-Banjari atau ulama yang bergelar Datuk Kalang Fayan Martafura.

Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang merupakan leluhur dari BM, salah satu ulama terkemuka di tanah air. Karya dan kitab yang ditulis Syaikh Banjar dijadikan rujukan hampir seluruh ulama dunia. Konon, sederet kitab-kitab yang ditulis sang syaikh antara lain: Kitab ushuludiin; Kitab Tuhfaturrogibin; Kitab Nuqtatul Ajlan. Kitab ilmu Faraid; Kitab Kanzul Ma’rifat; Kitab Barincung; Kitab Al-Qaulul Muhtar; Kitab Nikah; Kitab fatwa-fatwa Sulaiman Kurdi; Kitab Sabilal Muhtadin; Kitab Majmuk; Kitab perukunan besar, dan yang lainnya.

Khusus untuk kitab Sabilall Muhtadin, kitab tersebut merupakan salah satu karangan yang cukup dikenal. Kitab itu ditulis pada sekitar tahun 1193 H. Cetak kali pertama di Kota Mekah pada tahun 1300 H. kemudian cetakan ke dua dicetak di Turki pada tahun 1302 H. cetakan ketiga dicetak di Mesir pada tahun 1037 H dan sekarang juga sudah dicetak di Indonesia. Kitab karangan Dati Kalampayan itu kini banyak dicetak dengan huruf Arab berbahasa melayu, ada juga yang berhuruf latin berbahasa Indonesia. Kitab ini juga sejak lama dipelajari umat Islam di Brunai, Malasyia, Philipina, Thailand, Kamboja dan santri-santri di pondok pesantren di seluruh Indonesia. Malahan di beberapa negara Islam seperti Arab Saudi, Mesir, Turki, Lebanon, dan negara-negara lainya menyimpan Kitab Sabilal Muhtadin di perpustakaan-perpustakaan tua, dan terkenal di negara-negara tersebut.


Di Kalsel, Martapura, Banjarmasin banyak terlahir ulama lain, antara lain :Syaikh Muhammad Ghani, Husin Qodri (penulis buku senjata mukmin), dan beberapa ulama besar yang lain.

Nama-nama ulama besar dari banjar itupun tak lain, merupakan nasab dengan TGH. Banjar Sekarbela.

Musthofa kecil, sampai ke Lombok, dibawa ayahnya H. Sa’id. Tujuan sang ayah merantau di Pulau Seribu Masjid hendak berdagang.
Sebelum akhirnya, mukim di Sekarbela, terlebih dahulu mukim di Ampenan, tepatnya di Karang Ujung. Ia hijrah ke Sekarbela pada sekitar tahun 1942 karena pada masa itu kondisi keamaanan di Ampenan sebagai kota pelabuhan tidak kondusif menyusul terjadinya ancaman pengeboman dari pemeritah kolonial Jepang dan sekutunya sehingga beliau memutuskan untuk tinggal di Sekarbela. Sesampai di Sekarbela, ia tinggal di sekitar lingkungan Pande Emas kemudian hijrah dan menetap di Sekarbela lingkungan Pande Besi Undagi.

Menuntut Ilmu
Setelah beranjak remaja, ia bersama saudara-saudaranya diutus ayahnya menimba ilmu ke Sekarbela, berguru kepada sang nuhat, TGH Muhammad Rais.

Untuk menarik minat dan menambah semangat juang anak-anaknya dalam menuntut ilmu, ayahnya yang dikenal cukup berada menerapkan sistem’reward’ yakni memberikan hadiah atau uang lebih bagi anak-anaknya yang memperoleh nilai yang bagus dalam menuntut ilmu.

Selama menimba ilmu di Sekarbela, Mustafa kecil dianggap murid yang cerdas. Tak pelak, ayahnya teramat sangat memberikan perhatian. Nuntut ilmu di Sekarbela, Musthofa mengayuh sepeda dari karang Ujung Ampenan.

Ia gigih dalam menuntut ilmu. Berkat kegigihanya, kemampuannya dalam ilmu agama terus meningkat. Di Sekarbela ia mendalami beragam cabang ilmu kebahasaan bahasa Arab. Sementara dari keluarganya, ia secara tidak langsung sudah dibekali ilmu Fiqih. Semasa remajanya ketika berguru di Sekarbela, ia dikenal sangat menghargai dan mencintai para ulama.

Setelah sekian lama menetap di Lombok, atas saran sang ayah, Musthofa dikabarkan pernah kembali ke daerah asalnya di daerah Martapura untuk memantapkan pengetahuan agamanya kepada orang-orang dan kerabat terdekatnya di daerah Banjarmasin. Di daerah asalnya yang juga disebut sebagai ‘Serambi Madinah’ itu, MB dengan gigih dan sabar mendalami ilmu pengetahuan di bidang Fiqih. Juga berbagai cabang ilmu keagamaan yang lain selama sekitar 6 tahun. Di daerah asal nenek moyangnya itu, ia berguru kepada beberapa ulama yang masih memiliki ikatan keluarga dengannya (Bersambung)

Post a Comment

Previous Post Next Post