TGH Musthofa Banjar, The First Leader NU Lombok




Salah seorang utusan bernama KH.M.Dahlan, disambut TGH.Mustafa Bakri di Lombok. Selanjutnya terjadi pertemuan di Bioskop Ampenan. Dari pertemuan itu, akhirnya terbentuk konsul NU Lombok


Salah satu nama gurunya di Martapura adalah H. Abdurrahman Shiddiq. Gurunya ini oleh masyarakat Martapura di kenal akrab dengan nama Gulu Adu’, dan nama lainya juga adalah Kaek Pelimasan.

Kepergian BM ini pula atas saran ayahnya yang memang sangat perhatian dalam melihat bakat putra-putranya tak tanggung, sang ayah pun siap menanggung biaya hidup keluarga putra kesayangannya itu kalau ia memang mau menenuntut ilmu kembali ke kampung halamanya.

Saat diminta sang ayah pergi ke kampung asal untuk memperdalam ilmu agama, MB sudah berkeluarga.

BACA JUGA : TGH. Musthofa Banjar, The First Leader NU Lombok


Akan tetapi, BM merasa punya tanggung jawab karena telah berkeluarga sehingga membuatnya, harus memboyong sang istri Hj. Amnah untuk menemaninya ke Martapura. Selama berguru di Daerah kelahiranya itulah yang membuat ilmu pengetahuan agama yang dimiliki MB semakin matang. Di Sekarbela, yang mendapatkan banyak ilmu tentang ilmu kebahasaan bahasa Arab (ilmu alat) dan dari daerah kelahirannya, ia memperoleh ilmu di bidang fiqih. Dua pengetahuannya ini berpadu sehingga selain alim, menjadikan BM sosok cerdas.

BM pernah berguru pada H. Abdurrahman Shiddiq. Beliau merupakan keturunan cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari yang kelima dari ibu yang Bernama Shafura. Namun bila ditinjau dari penini’an sidin (Ummu Salamah) binti A’limul A’llamah pangeran Mufti H. Ahmad bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dengan kata lain, ia adalah keturunan langsung dari Datuk Kalampayan dari istrinya yang Bernama Gwat Nio. H. Abdurrahman Shiddiq dikenal sebagai ulama yang sangat arif lagi bijaksana, jujur, tegas dan berani dalam memeutuskan suatu hukum dalam batas kebenaran.

Kiprah di Masyarakat
Sejak balik dari Banjar, dia mulai menunjukkan kiprah dan perannya untuk membimbing dan mengajari masyarakat, melalui pengajian-pengajian yang dihadirinya. Seiring itu, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat membuat dirinya kian dikenal.

Dalam perjalanan berdakwah, di satu sisi, tantangan dan ujian selalu dihadapi. Di sisi lain, BM juga merasa senang, kehadirannya untuk berbagi ilmu pengetahuan terutama ilmu agama menarik simpati masyarakat.
Meski beliau begitu ditokohkan, BM bergaul tak pandang bulu. Beliau dikenal baik, santun dan mudah senyum. Tak heran kemudian, mengundang banyak simpati. “Manis wajahnya, santun bahasanya bila berjumpa, dan salam tak pernah terlupa sebagai pembuka,” begitu komentar orang-orang yang pernah bertemu, bergaul dengannya.

Separuh hidupnya ia abdikan untuk mengasuh dan memberikan pengajian kepada masyarakat Sekarbela. Setiap hari setelah solat lima waktu (shubuh, zhuhur, ashar, magrib dan isya), rumahnya selalu dipadati orang-orang yang ingin menimba ilmu darinya.

Tidak hanya di Sekarbela, ia bahkan memiliki ruang kecil di tempat ia berjualan kitab di karang ujung Ampenan yang dijadikannya tempat berdiskusi atau mengaji bila ada orang-orang tertentu yang ingin bertanya kepadanya tentang berbagai masalah dilihat dari sudut pandang agama. Di samping itu, ia juga sering memberikan pengajian khusus bagi keluarga dan masyarakat kampung Banjar di salah satu kediaman keluarganya di kampung Banjar, Ampenan. Selain itu, jamaah yang hadir di pengajiannya itu tersebut berasal dari beberapa tempat di Ampenan, seperti Kampung Melayu, Otak Dese, Pejeruk, pelembak, Tinggar dan lain sebagainya.

Dari itu, kelihatan upayanya dalam mengembangkan Islam. Walaupun dengan cara dan bentuk sederhana, tapi kesungguhan hatinya dalam berdakwah tercermin dari sikapnya yang selalu terbuka bagi orang-orang yang ingin menggali ilmunya disela-sela
ia mencari rezeki di tempat ia berjualan. Di sela-sela kesbiukan menafkahi keluarganya, BM selalu meluangkan waktunya untuk memberikan pengetahuan agama bagi rekan-rekannya sesama pedagang.

Untuk keluarga dan anak-anaknya, ia sangat gigih membekali putera-putrinya ilmu agama. Ketika anak-anaknya sudah menginjak usia sepuluh hingga belasan tahun, TGH. Mustafa Bakri turun tangan langsung dalam memberikan pendidikan keagamaan dengan mengajari anak-anaknya berbagai kitab-kitab matan, kitab-kitab fiqih yang menerangkan tentang thaharah, tata cara sholat hingga yang berkaitan tentang adab. Setiap hari, ia tak henti dan berulang kali berpesan untuk selalu memperhatikan sholat, “Jangan pernah tinggalkan sembahyang!”, ungkapnya dengan lembut kepada putra-putrinya.

Pejuang Nahdhatul Ulama
Selain mengajar, membimbing ummat pada masa itu, hari-hari sang tuan guru juga dihabiskan untuk menjadi pedagang. Dalam menggeluti aktivitas berdagang, aneka jenis barang dijual tuan guru, mulai dari kain, kitab, buku-buku dan barang yang layak dan pantas dijual.

Tamhid menuturkan, “TGH Musthofa itu pedagang sejati. Apa saja dia jual. Dan sambil jualan dia berdakwah”.
Kaitan dengan jualan kitab, hal ini tidak terlepas dari hobi sang tuan guru mengoleksi kitab-kitab dan hobinya akan rasa haus ilmu pengetahuan. lebih dari itu, dengan banyaknya koleksi kitab dan buku yang dimilikinya menjadikan tuan guru Banjar mudah mempelajari dan membaca kitab dan buku sehari-hari. Dengan itu kemudian, semakin memperluas pengetahuannya sebagai modal membimbing masyarakat.

Sibuk berjualan, ternyata tak membuat aktivitas-aktivitas lain mengganggu. Sang tuan guru selain tetap istiqomah memberikan pengajian, menjadi imam di waktu sholat, ia juga berperan dalam salah satu organisasi terbesar Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, NU telah mulai berkembang secara organisatoris di tangan TGH Mustafa Banjar. Pada usianya yang telah beranjak dewasa dan matang, ia telah resmi dilantik menjadi pengurus NU cabang Ampenan pada Tahun 1939.

Dengan kata lain, dapat diungkapkan bahwa awal NU di Lombok (Konsulat NU) ini ada karena TGH Mustofa tahun 1939. Ia dipilih menjadi ketua konsulat, setelah sebelum itu pernah mengikuti Muktamar NU ke 14. Pada bulan Juli (sebagai peninjau) Muktamar Magelang. Selang beberapa waktu kemudian, TGH Mustafa membentuk konsulat di Ampenan, dan dia juga mengusulkan terbentuknya kantor yang mengurusi masalah agama, semacam KUA untuk saat yang berkembang sekarang ini.

Dalam carut marut pergolakan politik pada masa silam, ia telah ikut berpartisipasi secara aktif dalam salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Melalui wadah NU inilah ia bersama-sama dengan saudara-saudaranya H. Sayuti, H. Ahmad dan H. Abdulloh menuangkan Ide-ide politik Islam dan gagasannya untuk memperjuangkan Kaum muslimin dari akar rumput. Beberapa nama yang menjadi rekan seperjuangan tuan guru Banjar ini dalam NU adalah Cik Darlan, Ki Agus Muchsin, Cik Thayib, Umar Alkaf, Guru Melibu, Ubaidillah Alkaf, Ahmad bin Abdurrahman Alaydrus, H. M. Karim, H. Abdurrahman Baco, Cik Abdul Gani dan lain-lain.

Karena dikenal sebagai kader dan pengurus NU yang aktif dan loyal, ia pun sering kali diutus mewakili beberapa acara musyawarah dan pertemuan yang diadakan oleh pengurus pusat PBNU di beberapa daerah. Ia diutus sebagai duta NU dari daerah NTB yang dulu masih disebut Sunda Kecil karena memang
dikenal penggiat NU yang cerdas dan ‘alim. Kegemaran dan karakternya yang kuat dalam memperjuangkan Islam melalu jalur formal seperti lembaga dan organisasi-organisasi yang berbasis Islam menurun pada salah satu cucu perempuannya, yaitu Dra. Hj. Warti ah. M.Pd. cucunya ini juga dikenal cukup aktif di NU dan pernah diamanahi sebagai Ketua Fatayat NU provinsi NTB periode 2010-2015.

Pejuang NU itu Tutup Usia
Al-Banjari dari Sekarbela ini berpulang kepangkuan sang pencipta pada usia yang lumayan sepuh, yakni saat tuan guru berumur 82 tahun pada Jum’at, malam bulan Rabi ul Awwal tahun 1388 H atau tahun 1968 Masehi.
Bagi masyarakat Sekarbela, pada tahun 1968 itu adalah duka dan kesedihan besar yang dialami, lantaran pada tahun tersebut Sekarbela kehilangan dua pilar terbaiknya, yakni TGH. M. Ra’is pada bulan Syawwal disusul kemudian TGH. Musthofa Banjar pada bulan Rabiul Awwal. TGH. Musthofa Banjar mangkat setelah pulang memenuhi undangan peringatan Maulid Nabi besar Muhammad SAW di salah satu rumah rekannya di Batu Ringgit. Mangkatnya ulama ini menggemparkan masyarakat Sekarbela dan masyarakat Ampenan. Ia meninggal secara mendadak tanpa sempat sakit. Sekembalinya memenuhi undangan peringatan maulid dari Batu Ringgit, TGH. Musthofa yang hendak menanggalkan baju di kediamannya untuk menghilangkan rasa panas akhirnya terjatuh dan tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhir dan meninggalkan warisan nilai-nilai Islam bagi beberapa muridnya di Sekarbela.

Beberapa saat ketika ia hendak berangkat untuk mendirikan sholat Jum’at, salah satunya puteranya. Muhammad Tarmizi, melihat situasi yang tidak lazim pada sosoktuan guru. Pada hari terakhir ia berada di Sekarbela, ia berangkat ke Masjid dengan wajah dan penampilan yang sangat bersih, hingga di seluruh badannnya nampak seperti ada sinar yang memancar: “Tumben tiang gitek almarhum arwah mangkun ngeno (Baru kali itu saya melihat almarhum seperti demikian)”, ujar putranya itu sambil terheran karena tidak menyangka bahwa hari Jumaat itulah ia terakhir kali bisa melihat sang ayah.

Selepas dimandikan, disholatkan, sang perintis NU di NTB itu, dihantar ke pemakaman. Jalanan dan areal kuburan sesak oleh ribuan para pelayat.

Keranda mayat sang tuan guru, berpindah dari tangan ke tangan karena begitu banyak jamaah yang berebutan untuk mengiringinya sekaligus turut serta memberikan penghormatan terakhir.

TGH Mustafa diketahui punya karomah. Salah satunya, "Kalau ketemu hujan tuan guru tidak basah," kata salah seorang yang pernah penulis tanya (selesai).

Post a Comment

Previous Post Next Post