Biografi Ketua PCNU Lobar; TGH Syafi'in



TGH Syafi'in, TGH Ulul Azmi dan beberapa pengurus NU saat foto bersama saat Muktamar beberapa tahun silam (ilustrasi, sempatbaca.com)


Separuh hidupnya, TGH Syafi'in hibahkan untuk membesarkan NU di awal-awal berkembang, terutama sekali di Lombok Barat



Setelah usia sekolah, Syafi’in memulai aktivitas belajar di salah satu sekolah dasar (SD) dan tamat pada tahun 1951/1952. Tahun tamat belajar itu berdasarkan surat keterangan tamat belajar sekolah dasar 6 tahun berdasar dengan nomor 21/A-7/1972. Madrasah Muallimin Muhammadijah Jogjakarta tahun masuk 1957 dan 1960. Selepas itu ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Alijah (Aliyah) Agama Islam Negeri (MAAIN), tuntas tahun 12 Mei 1969.

Syafi’in termasuk anak muda yang pandai mencuri waktu. Di sela-sela waktu dan kesibukan yang saban hari terus mengitari kesehariannya, aktivitas mudanya ia manfaatkan untuk belajar dan menuntut ilmu: ngaji pada beberapa orang yang dianggap mumpuni di diakui memiliki pengetahuan luas di bidang ilmu agama.

Ketika umur 18 tahun pada tahun 1956 bersama ayahnya H.Abdurrahman (Amaq Srinun) yang punya kemampuan financial dan tekad kuat untuk membangun Yayasan Al-Banun yang kala itu bernama PGAP Al-Banun (Pendidikan Guru Agama Persiapan, yang sekolah selama 4 tahun), selanjutnya lebih di kenal dengan Al-Banun, diletakkan batu pertama/disahkan oleh Datuk bengkel yang pada mulanya meminta TGHK. Syeikh Zainuddin Abdul Majid namun beliau mengatakan biar saja TGH. Juaini yang mengesahkannya. Al-Banun sempat vakum ketika tahun 1977 yang kala itu terpilih menjadi anggota DPRD kabupaten Lobar sampai tahun 1987. Dan kembali hidup pada tahun 1988 oleh putri-putrinya.

BACA JUGA: TGH Syafi'in; Ketua PCNU Lobar Pertama

Ghirah menuntut ilmu seorang Syafi’in kian bertambah ditandai pula dengan masih semangatnya ia menyelesaikan studi S1-nya di IAIN sunan Ampel Surabaya (sekarang UIN Mataram). Padahal kala itu ia sudah berumur, dan menyelesaikannya ketika umur 50 tahun.
Setelah sekian lama, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sarjana muda di Sunan Ampel Surabaya, kelar pada 29 September 1975. Selepas sarjana muda, selain aktif di tengah-tengah masyarakat, lagi-lagi, ia memanfaatkan waktunya untuk menuntut ilmu kepada sejumlah tuan guru yang ada di Lombok. Sejumlah nama seperti; Datoq Bengkel, Maulana Syeikh, TGH. Juaini Narmada, TGH. Adnan Batu Rimpang, Bapak Samiun (Mejeti) Kakek dari TGH. Ali Hafid Alimuddin (Pemegang sanad qira’at Sab’ah) adalah sederet nama-nama guru tempat ia menimba ilmu agama dan belajar tentang falsafatul hayat. Tentu nama tokoh dan tuan guru yang disebut itu hanya segelintir orang. Masih banyak lagi guru-guru lain yang pernah ia datangi untuk sekedar meminta petuah, nasehat dan yang lain. Syafi’in juga sahabat sekaligus baik dan banyak belajar pada Datuk Bagu Turmuzi, TGH. Hulaimi Umar Gerantung dan lain-lain.

Selang beberapa tahun kemudian, sembari itu, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya dan memilih IAIN Sunan Ampel (UIN sekarang) menjadi salah satu pilihannya waktu itu. Hari-hari Syafi’in pun kemudian disibuki urusan belajar; bikin makalah, tugas kelompok dan seabrek tugas yang lain. Barulah pendidikan di perguruan tinggi strata satu (S1) Tuntas pada 9 September 1988.

Rupa-rupanya, Syafi’in muda punya rasa ingin tahu yang tinggi. Karakter yang ‘rasa ingin tahu’ yang tinggi itu mengantarkannya untuk masuk dan belajar secara langsung pada tokoh-tokoh ormas seperti NW, Muhammadiyah kemudian NU. Di NW TGH Syafi’in takzim pada sosok maulana syekh, dan pernah menjadi murid maulana syekh beberapa tahun. Di Muhammadiyah ia begitu mengagumi sosok Hamka. Ia pun kemudian menghabiskan waktunya untuk belajar di Muallimin Muhammadiyah Jogyakarta. Sementara di NU, rasa kagumnya tak mengalahi kekagumannya kepada TGH Saleh Hambali, ulama sepuh dari Bengkel.

Dia juga sangat mengagumi KH Abdurrahman Wahid. Kekaguman itu pula yang membuatnya sering berinteraksi dengan cucu khadratus syekh Hasyim Asyari, Gus Dur. Aktivitas politik TGH Syafi’in di PKB, membuat seorang Syafi’in beberapa kali bertemu bertemu dengan Gus Dur. Bahkan ketika mengikuti suatu acara bersama Gus Dur, TGH Syafi’in kerap diminta memimpin do’a dalam berbagai acara di luar daerah. Tidak hanya akrab dengan pendiri PKB, TGH Syaif’in juga akrab dengan putri-putri Gus Dur. Salah satu Putri Gus Dur, Yenny Wahid, pernah bersilaturahim di kediaman TGH Syafi’in di Lombok. Ini menunjukkan bukti keakrabannya dengan Al-marhum cucu pendiri NU itu.

Syafi’in menikah di usia 23, tepatnya pada tahun 1961 (lima tahun setelah pendirian yayasan Al-Banun). Dia menikah dengan gadis pilihannya bernama Aminah, gadis asal Kelayu Lombok Timur. Aminah adalah putri sulung dari pasangan H. Hasbul Muhsin.

Melepas masa lajang, Syafi’in merasakan hal berbeda. Kondisi ini lumrah sebab dia hidup bersama perempuan yang dicintai. Ia pun punya tanggungjawab besar mengayomi. Hari-hari yang penuh suka dan duka dilalui bersama sang istri tercinta. Kedua pasangan pengantin tampak bahagia. Kebahagiaan itu dirasakan Syafi’in kian lengkap, begitu dianugerahi keturunan. Meski termasuk keturunan berada ‘kaya’, Syafi’in tak mau selalu minta belas kasihan orangtuanya. Malah sebaliknya, sejak menikah dia sudah belajar hidup mandiri
. Tak heran kemudian ketika berusaha dan belajar hidup mandiri, banyak tantangan dan ujian yang dihadapi.

Selama 25 tahun lama hidup bersama sang Istri, beberapa saat kemudian ia harus mengikhlaskan istrinya itu pergi lebih dulu dipanggil sang pencipta. Istrinya berpulang ke Rahmatullah pada tahun 1986. Siapa yang tak berduka dan merasa pilu ditinggal orang tercinta? Semua pasti merasa ada yang hilang. Syafi’in pun begitu.

Dari rawut wajahnya, terlihat ia begitu terpukul. Ditinggal istri yang dicintai pada waktu itu, tentu saja Syafi’in mengaku merasa kehilangan. Suka tidak suka, mau tidak mau, Syaif’in harus mengikhlaskan pendamping hidupnya pergi selama-lamanya.

Kiprah
TGH Syafi’in cukup aktif di NU. Pernah menjabat ketua Tanfidziyah. Khidmat di NU sejak tahun tahun 1994 sampai 2004. Selain aktif di kepengurusan NU tingkat kabupaten, juga aktif membimbing masyarakat di kampung halamannya pada masa itu.

Di kampung halamannya, hampir tak ada waktu yang kosong. Dia memberikan pengajian tiga kali dalam seminggu, yaitu pada malam Selasa dan Rabu. Dan di lain hari yaitu pada Jum’at sore. Pengajian yang disampaikan TGH Syafi’in selain membahas persoalan-persoalan agama yang terkait dengan kehidupan sehari-hari juga membahas masalah tarekat. Jamaah pengajian yang dipimpin TGH Syafi’in tidak hanya berasal dari kampung halaman, banyak juga masyarakat dari luar yang datang berbondong-bondong untuk mengikuti pengajian yang secara langsung dibimbing oleh TGH Syafi’in, juga hendak mendengar petuah dan nasehatnya. Berkaitan dengan tarekat yang diajarkan TGH Syafi’in itu erat kaitannya dengan tarekat Umar Kelayu dan TGH Umar Geranteng, sebab istrinya merupakan keluarga dari TGH Umar Kelayu.

Selama hidupnya, TGH Syafi’in memiliki banyak perhatian terhadap berbagai bidang. Perhatiannya di berbagai bidang ini menunjukkan—Di Satu Sisi, bahwa dirinya benar-benar berjuang bukan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan masyarakat dan organisasi NU. Di sisi lain, memperlihatkan bahwa sosok TGH Syafi’in tekun dan ulet dalam berjuang. TGH Nasrullah (mantan tanfidziyah) cerita ke saya. Kata TGH Nasrullah, "Sosok TGH Syafi’in itu ulet dan tekun berjuang".

Di bidang Politik, ia pernah aktif di PPP dan PKB. Dari dua partai yang ia sendiri menjadi bagian di dalamnya, mengantarkan ia menjadi anggota DPRD hinga dua priode lebih. Konon, ia menjadi politikus di PKB karena sangat mengagumi Gus Dur. Lebih jauh dikemukakan, melihat karirnya di dunia politik yang cukup cemerlang itu, tentu tidak lepas dari penilaian positif masyarakat terhadap sosok Syafi’in.

Selain aktif di politik TGH Syafi’in juga aktif membimbing masyarakat, memberikan pengajian ke berbagai tempat.


 TGH Syafi'in ini konon dikenal cukup akrab dengan mantan Presiden dan Ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid


Yang unik dari TGH Syafi’in, selain sebagai politikus, da’i (penceramah/tokoh agama) dia juga begitu minat terhadap seni dan olahraga. Di bidang seni, dia hobi menyanyi dan bermain gitar. Dia juga begitu lihai bermain biola dan piano.

Koleksi alat-alat musik itu masih tersimpan rapi di kediamannya. Minat dan bakat terhadap seni ini tumbuh subur semasa TGH Syafi’in berada di Jogyakarta. Sementara di bidang olahraga, TGH Syafi’in sangat hobi bulu tangkis. Bahkan pernah bergabung dalam komunitas pebulu tangkis Portis pada tahun 1963 menjuarai kompetisi.
Selain yang dibeberkan di atas, sejumlah keterlibatan TGH Syafi’in semasa hidupnya antara lain beberapa kali ikut terlibat dalam berbagai kegiatan di NU; seperti pelatihan kepemimpinan dan manajemen NU pada tanggal 22 sampai 29 Oktober 1989. Kegiatan ini diikuti TGH Syafi’in pada pada waktu kepengurusan PWNU NTB TGH Zainuddin Mansyur MA. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang dilaksanakan lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia pada masa Lakpesdam dinakhodai oleh H Said Budhaeri. Sementara ketua Tanfidziyah pengurus pusat PBNU pada waktu itu, adalah KH. Abdurrahman Wahid. Kegiatan NU lainnya, yaitu di LDNU, yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Syukron Makmun dan sekretaris H Zaini A Syakur. Kegiatan tersebut merupakan forum konsultasi nasional LDNU yang diselenggarakan pengurus pusat LDNU pada 19 sampi 22 September tahun 1987 yang diselenggarakan di Jakarta.

Tambahan lagi, TGH Syaif’in pernah menjabat wakil sekretaris NU NTB (berdasarkan SK Piagam pernghargaan pengurus LDNU).

TGH Nasrullah mengungkapkan : TGH Syafi’in berikut sahabatnya TGH. M Anwar gigih memperjuangkan NU pada masa itu. Perjuangan itu dilakukannya dengan tekun dan istiqomah.

Jejak rekam TGH Syafi’in ternyata tak cukup sampai uraian yang diulas tersebut di atas. Dia tak hanya sekadar terlibat di satu bidang dan perhatian terhadap kondisi sosial yang ada pada waktu itu. Selain sebagai politisi, di tengah-tengah masyarakat, TGH Syafi’in cukup dikenal—tidak hanya sebagai tokoh agama, tetapi juga tokoh pendidikan. Keterlibatannya di dunia pendidikan tak dapat diragukan. Berdirinya Ponpes Al-Banun berlabelkan NU. Keberanian mencantumkan kalimat “Nahdlatul Ulama” kerap bukan tanpa resiko, melihat banyak sebagian saudara kita yang kadang punya pandangan miring terhadap organisasi besar yang didirikan Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari. Keberadaan Ponpes Al-Banun tentu turut berkontribusi untuk membangun dan mengembangkan pendidikan nasional dan ajaran yang menyebarkan ahl sunnah wal jama’ah.

Dalam hemat penulis, melihat sekilas plank Ponpes bertuliskan Nahdlatul Ulama, ini sekaligus tamparan bagi banyak pesantren yang mengaku NU, tetapi tidak punya nyali menuliskan kata-kata Nahdlatul Ulama di tembok-tembok pesantren yang mereka miliki. Apalagi mau membuat plank khusus dengan ukiran indah kalimat, “Nahdlatul Ulama”. Terlebih di masa-masa itu, NU belum begitu berkembang.
Di bidang pertanian, TGH Syafi’in juga punya perhatian serius. Dia menginsiasi berdirinya lembaga yang mengakomodir pembibitan padi dengan nama UD Al-Banun (1985). Aktivitas di bidang ini, merupakan salah satu bentuk kepeduliannya.

TGH Syafi’in tipikal pemimpin sabar tetapi punya karakter kuat. Kedua sifat yang dimilikinya itu, sepaket dan saling melengkapi sebagai ciri dan karakter dalam diri dan kepribadiannya. Kata lainnya saling mengisi. Artinya bahwa; saat-saat diperhadapkan situasi dan kondisi yang kadang membuat seseorang mudah dibelengu emosi sesaat, maka sikap ‘sabar’ menjadi alat kontrol. Di sinilah karakter TGH Syafi’in yang sabar sangat menguntungkan posisinya, baik saat dia sebagai politisi dan posisinya sebagai
ketua ormas di NU tingkat kabupaten.

TGH Syafi'in orangnya low profile. Dia tipikal orang yang tidak mau terlalu dibuat ribet dengan masalah-masalah yang dipikirkan dan berdampak pada kondisi psikologis.

Salah seorang rekannya bilang, "TGH Syaif’in itu, pribadi yang tak pernah risau atas sesuatu yang telah lalu ataupun yang besok—yang belum pasti benar terjadi atau tidak? Bagi Syafi’in, “Hari tempat ia hidup, di situlah hari yang harus dipikirkan. Asalkan, kita hidup, harus memanfaatkan waktu yang kita punya karena kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput.

Saat masih hidup, salah satu kegemaran TGH Syafi’in adalah sering bersilaturahim. Kaitan ini, mengingat dia pernah menjadi ketua Tanfidziyah, maka jelas silaturahmi adalah kekuatan untuk mampu mengorganisir jamaah untuk membesarkan NU, khususnya di Lombok Barat.

Sosok yang pernah menjadi Ketua PCNU Lobar itu, menghembuskan nafas terakhirnya pada 16 Juli 2020. Dimakamkan di pemakaman keluarga di dusun Dasan Desa Majeti Batu Kuta Narmada. Dia pergi dan tak akan kembali. Semoga Allah menempatkannya di tempat yang terbaik. Amin. (Selesai)




Post a Comment

Previous Post Next Post