Mau Raih Bahagia dengan Cara yang Dibenarkan?

 


Sumber foto: www.google.com


Inti bahagia itu sebuah rasa yang bikin orang merasa tenang, nyaman dan enjoy dengan apa yang sedang dialaminya

Satupun di dunia ini tak ada yang tak ingin bahagia. Sebaliknya, semua ingin bahagia. Baik bahagia menjalani hari-hari dalam hidupnya dan bahagia menjalani tugas dan tanggungjawab. Bahkan bahagia menjalani hidup hingga ajal datang menjemput.

Bahagia bentuknya macam-macam,-- terekspresi juga dengan beragam cara. Dengan ini, menunjukkan bahwa ekspresi bahagia berkaitan dengan sesuatu yang lebih luas dan kompleks, lebih-lebih bila berbicara tentang bahagia lalu dikaitkan dengan kehidupan.

Satu hal yang perlu kita tahu: bahagia yang dirasakan satu orang dengan orang lain beda-beda. Lain orang, lain pula caranya meluapkan rasa bahagia. Namun, meski jenis-jenis bahagia dan ekspresi rasa ‘bahagia’ berlainan, inti bahagia itu sama, yakni orang merasa tenang dan nyaman. Seseorang menikmati betul apa yang sedang dialaminya. Lantaran betapa nikmatnya: bahagia yang dirasakan, orang pun setiap saat, setiap waktu ingin merasakan. Bahagia juga tidak bisa terlepas dari masalah psikologi setiap orang.

Bahagia bisa kita kelompokkan jadi dua. Pertama, bahagia yang dapat dibenarkan (bahagia yang baik/positif). Kedua, bahagia yang tidak bisa dibenarkan (bahagia negatif). Atau bahagia yang tidak sejalan dengan nilai hidup dan kemanusiaan.

Bahagia yang baik, bisa dibenarkan, adalah suatu perasaan, baik zahir dan bathin, yang dialami seseorang karena memperolehnya dengan cara yang benar. Tidak hanya meraih kebahagiaan dengan cara yang benar, tetapi juga memperolehnya disertai kerja keras, perjuangan. Yang lebih penting lagi, doa. Kategori bahagia jenis ini, banyak contohnya. Misalnya, seseorang yang merasa bahagia lulus menjadi abdi negara (PNS). Untuk meraih keberhasilan (lulus) menjadi PNS itu, standar dan ketentuan hukum yang berlaku telah dilaluinya. Tak ada yang dirugikan dan membuat orang merasa dirugikan karena yang bersangkutan lulus karena memenuhi standar kelulusan dan aturan hukum. Contoh yang lain juga banyak: sebagian ada yang bahagia, lantaran diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Kita juga bisa melihat teman/sahabat/keluarga kita bahagia karena baru saja menikah (hidup bersama dengan wanita yang dicintainya). Terdapat juga jenis orang yang bahagia karena sudah melahirkan karya, tulisannya dimuat media, bahagia punya rumah baru, bahagia naik jabatan, bahagia karena mendapatkan rizki melimpah (harta) dan banyak lagi bahagia yang lain dalam kehidupan yang kita jalani. Manakala, keberhasilan yang diraih itu, dalam prosesnya dilakukan sesuai aturan dan ketentuan yang ditetapkan, maka perolehan atas ‘rasa bahagia’ itu adalah sebuah kebahagian yang dapat dibenarkan. Kata lainnya, bahagia yang baik dan sesuai dengan ajaran agama. Singkat kata, sesuatu apapun yang membuat orang bahagia, dan sesuatu itu dibolehkan hukum agama dan hukum-hukum lain yang berlaku, maka itulah kebahagian yang baik (sah).

Selanjutnya, bahagia yang tak bisa dibenarkan (bahagia negatif). Atau bahagia yang tidak sejalan dengan nilai hidup dan kemanusiaan. Seperti apa gambaran Bahagia yang tak bisa dibenarkan?. Bahagia negatif bisa terjadi lantaran cara dan tindakan untuk memperolehnya bukan hanya berbenturan dengan nilai agama, tetapi juga melanggar etika sosial kehidupan masyarakat. Akibat yang ditimbulkannya : bikin orang lain terasa dirugikan.

Tidak sulit menemukan kriteria bahagia yang tidak dibenarkan ini, terlebih dalam kondisi kehidupan saat sekarang. Misalnya orang meraih ke-bahagia-an lantaran ada orang lain yang tersakiti. Bisa juga karena seseorang Bahagia, mendapat rumah mewah, mobil dan fasilitas lainnya, tetapi meraih semua itu dilakukan melalui kebohongan dan adu domba. Juga bersikap curang. Ini adalah sebagian contoh yang barangkali kita lihat dan saksikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dalam ajaran agama (Islam) tidak ada yang tidak boleh dilakukan dan diperoleh dalam hidup ini, asal, cara dan sesuatu yang hendak diinginkan, melakukannya tidak berbenturan nilai-nilai kebaikan. Bila manusia menginginkan bahagia dengan harta benda, hidup berkecukupan, agama telah menganjurkan pemeluknya untuk mencari harta itu melalui usaha dan bekerja, karena hasil dari keduannya menghadirkan kebahagiaan. Bila manusia ingin bahagia dengan wanita yang dicintainya, agama menganjurkan untuk segera menikah sesuai aturan agama. Jadi, gampang dan mudah sekali. Alhasil, agama memudahkan kita semua.

Dalam konteks yang lebih luas, bila manusia ingin hidup bahagia (aman, damai, tenteram) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama menganjurkan pemeluknya untuk saling menghormati dan menghargai (toleransi). Toleransi merupakan salah satu cara dan upaya agar manusia mampu membendung kemelut yang tengah terjadi dalam kehidupan, dengan ini kemudian hidup pun akan terasa aman, nyaman dan tenteram ‘bahagia’. Bukankah hidup membahagiakan adalah dambaan setiap manusia?.

Tentu amat disayangkan, berbagai konflik dan pertikaian yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak lain dan tidak bukan, akar penyebab itu : kurangnya sikap saling menghormati dan menghargai. Selain itu, dalam menghadapi masalah, nafsu lebih ditonjolkan ketimbang perasaan. Padahal, nafsu sering menggiring seseorang terjerumus berbuat salah dan dosa. Terdapat sebuah hadist yang menyatakan: “Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar: “Apakah jihad besar itu?” nabi bersabda: mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya (HR. Al-Baihaqi).

Kesimpulan yang bisa dipetik dari cuplikan hadist di atas, bahwa dalam sikap dan tindakan, nafsu tidak boleh dikedepankan. Pun ketika memutuskan suatu perkara, nafsu dan kepentingan harus ditekan. Bahkan kita dianjurkan untuk melawan hawa nafsu (nafs al lawwamah). Mengedepankan hawa nafsu, bukan meredakan situasi dan keadaan, melainkan hanya akan membuat persoalan kian pelik. Suasana tambah keruh. Lalu, keadaan menjadi kacau (bersambung)


Penulis: Mashur, M.S

Penulis Lepas, dan Penjual Madu

Post a Comment

Previous Post Next Post