CUKUP

 




Foto: koleksi penulis/ilustrasi, sempatbaca.com


Tak berguna apa-apa yang kita punya dalam hidup ini, tanpa ada sandaran pada sang ilahi. Apalagi sampai menghalakan segala cara

 

Cukup itu susah alias njlimet. Tapi jika anda bisa, imbasnya luar biasa. Anda adalah sosok orang langka jika bisa mempraktikkan merasa 'cukup'.

Kategori Cukup seperti apa? Iya: setidaknya cukup untuk mencintai kecuali hanya pada sang pencipta. Cukup untuk tak terlalu menyibukkan diri, kecuali hanya kepada Allah. Cukup untuk percaya, kecuali hanya kepada sang pencipta. Cukup untuk makan dan minum, karena jika berlebihan Anda akan memuntahkan apa yang telah bikin anda kenyang itu, lalu statusnya bergeser jadi haram. Cukup untuk istirahat, sebab jika berlebihan anda kategori orang pemalas.

Cukup untuk bekerja, mengejar harta, sebab jika tidak, bisa menjerumuskan Anda pada upaya menumbuhkan benih-benih al-hubbud al-dunya pada diri Anda.

Lebih jauh terkait harta benda. Dewasa ini manusia tidak pernah puas dengan harta. Dan ini pula karakter yang tumbuh subur pada diri kita, kecuali yang Allah beri taufik dan hidayah. Yang Allah beri sifat bijak untuk menyikapi harta dengan benar. Tengok saja, ada yang menghabiskan waktunya hanya untuk urusan dunianya, sampai lupa melakukan ketaatan dan lalai akan kehidupan kekal di akhirat.

Cukup untuk mengumbar janji, sebab jika tidak, anda masuk kategori orang munafik. Cukup untuk merenung, sebab jika tidak, anda akan cepat dirasuki mahluk halus. Cukup untuk menyanjung, sebab jika tidak, anda akan terjerumus pada fanatisme buta. Sedang sikap fanatik ini cenderung menganggap diri saja yang benar. Cukup untuk belajar, sebab jika tidak anda akan berlagak sok pintar.

Terus cukup seperti apa lagi? Saya kira Cukup dulu lah.
Jadi, merasa cukup itu luar biasa. Merasa cukup itu realisasi dari pada bersyukur. Mari kita belajar dan berikhtiar untuk merasa cukup. Cukup dalam segala hal, kecuali dalam kebaikan dan pada sesuatu yang bersifat transenden yang maha wajibul wujud.

Saya pikir merasa Cukup ini adalah bagian dari Berfilsafat, sebab berfilsafat itu, meminjam frase Jujun S Suriasumantri (2003:19), "Berendah hati".
Dalam konteks ini, Jujun menegaskan bahwa berendah hati di sini dimaknai : bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini.

Analisis semacam itu mengilustrasikan bahwa tidak semuanya yang kita miliki akan bikin kita: Cukup. Malah sebaliknya, setelah mampu meraihnya, anda akan mengejar kembali keinginan itu untuk merasa cukup, lantas begitu seterusnya.

Terdapat salah satu hadist. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)

Hadis lain juga membeberkan:
Dari Ibnu ‘Abbas bin Sahl bin Sa’ad, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Ibnu Az Zubair berkata di Makkah di atas mimbar saat khutbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438).

Berikhtiar Merasa Cukup
Kecendrungan kita (manusia) terhadap segala hal dalam hidup ini, dan bisa menyeret kita pada sikap membabi buta menghalakan segala macam cara, mendesak kita untuk terus berusaha agar bisa memiliki rasa 'CUKUP'.

Tanpa usaha dan ikhtiar untuk mendekat pada sang pencipta, sulit rasanya kita bisa mempraktikkan nilai-nilai etis (bijak, sadar) menyikapi kecendrungan dan naluri alamiah yang melekat pada diri manusia.

Tulisan ini, setidaknya menjadi bahan renungan penulis sendiri. Dan mudah mudahan menjadi bahan muhasabah kita bersama. Semoga Allah senantiasa mencukupkan kita dalam segala hal.

Bukankah tak berguna apa-apa yang kita punya dalam hidup ini, tanpa ada sandaran pada sang ilahi. Inilah salah satu esensi manusia religius. 

Penulis: Mashur, MS

Penulis Lepas, dan Penjual Madu

Post a Comment

Previous Post Next Post