Belajar Zuhud dari GUS DUR





Review buku: K.H. Husein Muhammad, Samudra Kezuhudan Gus Dur

Gus Dur termasuk tokoh bangsa luar biasa. Banyak sisi menarik dalam diri cucu hadratus syekh KH Hasyim Asyari


Banyak dimensi yang dapat dipelajari dan diteladani dari sosok KH Abdurrahman Wahid—atau yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur. Salah satunya adalah kezuhudannya dalam menjalani kehidupan. Meski pernah menjabat sebagai presiden dan ketua umum organisasi masyarakat Islam terbesar di dunia, Gus Dur adalah sosok yang sangat luar biasa. Beliau dikenal sebagai seorang yang zuhud, seorang wali, dan seorang yang sangat menghargai kemanusiaan.

Gus Dur lahir dengan pikiran dan gagasan yang sungguh mengagumkan. Beliau menguasai khazanah keilmuan klasik Islam, pengetahuan sosial, budaya, seni, sastra, politik, dan agama-agama dunia. Namun demikian Gus Dur tidak melupakan seni zuhud dalam kehidupannya. Para ulama mendefinisikan zuhud secara berbeda-beda. Namun yang pasti zuhud itu bukan berarti tidak boleh punya uang, pakaian, atau kendaraan yang bagus. Memiliki boleh saja, namun tidak mengganggu hati dan pikirannya.

Gus Dur sendiri mengartikan zuhud sebagai hidup sederhana, bersahaja, ugahari. Beliau menerapkan hal tersebut dengan penuh kesenangan, bahkan beliau ketika mendapatkan honor, langsung diberikan kepada orang lain tanpa melihat berapa isi honor tersebut. Kehidupannya sangat sederhana, dilihat dari segi manapun, tetap sederhana, pakaiannya, makannya, semua serba sederhana. Kisah hidupnya terus menjadi perbincangan di dunia.

Dalam buku “Samudra Kezuhudan Gus Dur” karya K.H. Husein Muhammad menceritakan tentang spiritualitas Gus Dur yang selalu melakukan kezuhudan berdasarkan nilai-nilai luhur. Kezuhudan Gus Dur yang disampaikan dalam buku ini cukup lengkap, tentang keseharian, kesederhanaan, kesukaan, bahkan sampai kematian beliau.

Dikisahkan, waktu kuliah di Timur Tengah, Gus Dur kerap pergi ke Eropa bukan untuk melancong, melainkan untuk mencari uang, antara lain dengan bekerja mencuci kapal dan piring. Pun, di masa awal pernikahan, Gus Dur tak memiliki asisten rumah tangga, dan tak berkeberatan untuk mencuci pakaian, sementara istrinya bertugas menyetrika dan membantu keuangan keluarga dengan menjual kacang goreng. Setelah menjadi tokoh nasional dan internasional, Gus Dur tetap bersahaja dan tak gila harta.
Putrinya yang bernama Mbak Alissa Wahid beberapa kali pernah meminta kepada Gus Dur untuk dibelikan ini dan itu tetapi tidak dituruti. Sempat ia menyampaikan kepada ayahnya bahwa di sebuah laci terdapat uang. Namun, Gus Dur menjawab bahwa itu uang rakyat. “Itu uang titipan untuk rakyat, bukan uang kita,” katanya menirukan jawaban Gus Dur. Gus Dur juga tidak pernah mempersoalkan pakaian yang dikenakannya. Ketika kerah baju panjang batiknya rusak, lengan bajunya digunting untuk menambal kerah tersebut.

Gus Dur memang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, namun bukan berarti Gus Dur adalah komisaris di perusahan besar yang bergelimang harta. Banyak dari orang-orang yang mengerti bahwa Gus Dur adalah salah satu orang yang sering tak punya uang. Meskipun demikian, tak sedikit orang yang datang ke Gus Dur untuk meminta bantuan. Gus Dur selalu memberikan apa yang dibutuhkan, jika memang ada.

Suatu hari, ada orang yang memberi Gus Dur uang dalam jumlah banyak, tapi Gus Dur tak segan-segan memberikan semua uang yang diterimanya itu kepada orang yang datang berkunjung ke rumahnya karena kesulitan ekonomi atau perlu bantuan. Namun, pernah juga Gus Dur tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada orang yang datang dengan mengeluhkan kebutuhannya. Gus Dur tak kehabisan akal, ia bisa menyampaikan kata-kata yang menggembirakan dan menenangkan. Dari kejadian tersebut, tergambar jika Gus Dur tak mau melihat orang itu pulang dengan membawa kekecewaan.

Itulah pelajaran penting bagi kita bagaimana seorang Gus Dur mengajarkan zuhud kepada keluarganya, dan pada hakikatnya juga mengajarkan kepada kita. Ruang kezuhudan Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur menjalani hidup yang sederhana, bersahaja, dan tidak bermewah-mewah. Sebab itulah banyak orang menyebut sosok Gus Dur dengan sebutan ugahari. Sebuah kehidupan yang tidak merasa senang manakala diberi rezeki lebih dan tidak merasa susah manakala berkurang.

Dalam buku KH Husein Muhammad ini, juga diceritakan tentang keanehan-keanehan Gus Dur yang lucu. Seperti kebiasaan tidur saat sedang rapat, atau acara yang sangat penting, namun mampu menjelaskan apa yang ada di dalam acara tersebut. Ada satu hal yang sangat kontroversial dan saat ini terbuktikan. Yaitu tentang celotehan Gus Dur yang mana beliau menyebut DPR sebagai Taman Kanak-Kanak, dan sekarang justru hal tersebut menjadi sebuah kenyataan (hal 198).

Meskipun Gus Dur seseorang yang dianggap penting, tetapi dia tidak mau menjadi sosok di menara gading yang sama sekali tidak mengetahui denyut kehidupan masyarakat di bawah. Gus Dur tetaplah Gus Dur. Meskipun dipilih oleh para kiai sepuh untuk memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), beliau tidak mengubah gaya hidupnya yang penuh dengan kesederhanaan, santai, akrab, dan bersahabat dengan siapa saja. Seolah tak ada yang berubah darinya walaupun jabatan pimpinan tertinggi tanfidziyah organisasi para ulama diembannya.

Pemimpin besar yang wafat pada 30 Desember 2009 silam ini lekat dengan kendaraan umum. Bahkan ketika dirinya menkhodai organisasi Islam terbesar seperti Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ketua Umum (1984-1999). Suatu hari, Gus Dur butuh mengkomunikasikan berbagai idenya kepada para kiai dan sejawat lainnya di berbagai tempat, ia jalani sendiri. Misal ketika menemui Gus Mus di Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Gus Dur ke sana sendiri dengan menggunakan bus umum.

Sewaktu Gus Dur diundang lokakarya di sebuah pesantren di Cilacap, Jawa Tengah juga menggunakan bus saja. Setelah di terminal, lalu ia menyambung dengan angkot dan kemudian dilanjutkan dengan naik becak. Dia datang dengan membawa segepok map berisi makalah dan foto kopi kliping sebagai bahan ceramahnya.

Tahun 1985, Gus Dur mengunjungi sahabatnya, KH Muhammad Jinan di Gunung Balak Lampung. Setelah naik bus Jakarta-Lampung, lalu naik angkot, ia meneruskan dengan berjalan kaki sepanjang empat kilo meter. Jalan menuju pesantren memang hanya setapak.

Sifat kezuhudan Gus Dur bagi Kiai Husein merupakan wujud nyata atas kedalaman ilmu Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu Kiai Husein sendiri menjuluki Gus Dur sebagai Sang Zahid, manusia dengan sifat zuhud yang tinggi. Pengembaraan Gus Dur dalam menyelami setiap detak kehidupan menjadi alasan untuk meraup sebanyak-banyaknya hikmah sehingga dia tidak peduli dengan identitas sosialnya ketika harus berjejal dengan masyarakat umum di bus atau angkutan kota (angkot).

Dulu, ketika Gus Dur masih memimpin NU, setiap hari beliau menerima banyak sekali surat dari warga dan umatnya di daerah-daerah. Ada pengurus NU, Kiai, santri, petani, nelayan, tukang kebun, pedagang kelontong, dan lain-lain. Surat-surat itu dibacanya satu per satu. Kebanyakan isinya adalah permohonan bantuan dana untuk keperluan yang beragam, baik untuk fasilitas organisasi, pembangunan masjid, mushalla, madrasah, pesantren atau untuk diri sendiri dan keluarganya yang sedang kekurangan biaya hidup.
Gus Dur membacanya satu persatu dengan teliti. Ia lalu mengambil kartu pos wesel yang sengaja disiapkan dan ditaruh di laci meja kerjanya. Kemudian ia menulis dengan tangannya sendiri. Di dalamnya ia menuliskan angka rupiah tertentu dan berbeda-beda. Gus Dur mengambil honor-honor yang diperolehnya dari tulisan yang dimuat atau dari seminar yang dihadirinya, lalu dibagi menurut pertimbangannya sendiri. Kezuhudan Gus Dur sangat luar biasa, bertolak belakang dengan kehidupan masa kini yang sangat mengagungkan dunia material, beliau mampu bertahan dari berbagai godaan harta maupun tahta dunia.

Gus Dur selalu istiqomah melihat hidup hanya sebagai saluran berkah untuk orang-orang di sekitar. Sebab, sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Ungkapan demikian bagi Gus Dur bukan sekadar jargon melainkan sebagai tugas mewujudkan Islam rahmatan lil alamin yang sudah tidak bisa ditawar. Hal lain yang kerap kali Gus Dur lakukan adalah melontarkan humor dengan menertawakan dirinya sendiri dan tidak pernah untuk merendahkan orang lain.

Salah satu bukti kezuhudan Gus Dur lainnya adalah ketika para lawan politik mempreteli kekuasaanya untuk melengserkan beliau dari kursi presiden, dengan entengnya beliau mengatakan “tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan dengan mati-matian”. Memang kelihatan aneh dan nyleneh, kebanyakan orang akan mempertahankan kedudukanya dengan cara mati-matian tapi Gus Dur malah sebaliknya.

Kesederhanaannya, bertolak belakang dengan kehidupan masa kini yang sangat mengagungkan dunia material. Inilah yang membuatnya mampu bertahan dari berbagai godaan harta maupun tahta yang seringkali menjerumuskan para aktifis yang sebelumnya menyatakan diri untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat.

Kiai Hussein, mengungkap sejumlah pengalamannya berdekatan dengan Gus Dur. Bagi Hussein, sikap hidup Gus Dur layak diteladani dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad, yang menekankan ummatnya untuk bersikap sederhana, dan tak menggantungkan diri pada duniawi. “Gus Dur menghayati kesederhanaan dan mementingkan pemberian bagi orang lain. Sebagai seorang yang zahid, Gus Dur tak pernah menceritakan kepada siapapun soal rizki yang sudah dibagikannya untuk mereka yang memerlukannya, kecil maupun besar. Gus Dur, selalu tak ingin membuat orang yang memintanya kecewa atau pulang ke rumahnya dengan wajah duka dan tangan yang tak bawa apa-apa,” paparnya.

Gus Dur bisa dilihat sebagai Kiai atau Ulama karena beliau ‘alim (paham agama) dan pernah belajar di beberapa pesantren dan perguruan tinggi Islam dalam maupun luar negeri. Beliau juga seorang Gus atau anak Kiai, karena secara “trah” beliau adalah cucu dari KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama’ dan pendiri Negeri ini. Memang secara sanad (mata rantai keilmuan) dan keturunan orang besar tidak diragukan lagi. Tidak heran kalau beliau adalah orang besar aset Negara ini.
Gus Dur adalah sosok yang dikenal dengan berbagai sifat dan sikap khas, salah satunya adalah sikap toleran.

Contohnya dalam permasalahan agama, toleransi beliau terhadap agama minoritas di Indonesia sangatlah jelas, salah satu bentuk toleransi beliau dalam hal ini adalah adanya kebijakan penghapusan pelarangan peringatan Imlek dan atribut Tionghoa. Bahkan hal ini yang membuat Gus Dur di juluki “bapaknya Tionghoa”. Semboyan Gus Dur yang masih selalu kita ingat: “Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama”. Dengan wawasannya yang luas, pengetahuannya yang tinggi, sikapnya yang mengayomi semua, dan keteguhan prinsipnya akan kebinekaan bangsa Indonesia, ia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan yang denyutnya makin kuat hingga sekarang.

Menurut Gus Dur, manusia tetaplah manusia, yang keyakinan dan pemikirannya tidak bisa diberi tanda. Oleh karena itu, hanya Allah-lah yang berhak menghakiminya, bukan yang lain, bahkan menurutnya, ihsan adalah rukun kemanusiaan yang merupakan puncak keberagaman seseorang (hal 109). Hal ini berkaitan dengan prinsip Maqasid asy-Syariah yang menurut beliau adalah perlindungan atas kemanusiaan. Di dalam Maqasid asy-Syariah, semua tertuju pada Tuhan, tetapi yang membedakan hanyalah jalan dan bahasa yang berbeda-beda.

Membaca buku karangan KH Husein Muhammad ini ibarat sebuah permata pelengkap kepustakaan tentang Gus Dur–seorang tokoh dengan sepak terjang sedemikian luas. Kezuhudan Gus Dur yang disampaikan dalam buku ini cukup lengkap, tentang keseharian, kesederhanaan, kesukaan, bahkan sampai kematian beliau. Berbeda dengan penulis lain yang menceritakan tentang keberhasilan Gus Dur, KH Husein lebih menceritakan tentang spiritualitas Gus Dur yang selalu melakukan kezuhudan berdasarkan nilai-nilai luhur.

Setiap kata-kata di dalam buku ini menyentuh setiap pembacanya, sehingga pembacanya dapat menikmati setiap kisah dan perjuangan Gus Dur serta kezuhudannya. Bahasa yang digunakan juga sederhana, tidak terlalu ilmiah, dan cocok untuk dibaca oleh orang-orang yang kurang faham bahasa ilmiah. Meskipun beliau sudah wafat, tetapi jasa-jasanya, karya-karyanya, sejarah kehidupannya, terasa masih ada dan utuh dalam kehidupan saat ini. Bagaimana tidak? Bahkan sekarang pun, ada organisasi yang komunitasnya adalah para pecinta Gus Dur, para perindu Gus Dur, seperti organisasi Gusdurian, yang bahkan sudah menyebar di setiap daerah di Indonesia ini. 


(Dari berbagai sumber)

Post a Comment

Previous Post Next Post