sumber foto: https://www.google.com/search?q=ilmu+pengetahuan&sxsrf
Kutukan ilmu pengetahuan: banyak akademisi lebih fokus ‘terdengar pintar’ daripada membumikan sains pada masyarakat
By: AHMAD JUNAIDI*)
Pemerintah seringkali mengeklaim bahwa Indonesia telah berada di peringkat tertinggi untuk jumlah penerbitan karya ilmiah di Asia Tenggara.
Data dari sistem
pemeringkatan jurnal ilmiah Scimago, misalnya, menunjukkan bahwa pada tahun
2020 produktivitas riset Indonesia berada di posisi ke-21 dunia – naik 15
peringkat dari tiga tahun sebelumnya. Peringkat ini berpotensi terus naik
seiring gencarnya budaya publikasi ilmiah di perguruan tinggi Indonesia.
Namun, jumlah
produksi riset yang tinggi ini tidak diikuti penyebarluasan ilmu pengetahuan
yang baik dari komunitas akademik kepada salah satu pihak yang paling
membutuhkannya, yakni masyarakat.
Banyak pihak, dari
guru besar hingga wakil menteri, telah menyuarakan kurangnya komunikasi sains
di Indonesia.
Profesor dan mantan
rektor Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Edy Suandi Hamid,
misalnya, mengatakan penyebarluasan sains yang lemah ini merupakan “pemborosan
besar hasil riset” di Indonesia.
Lemahnya komunikasi
ilmiah ini disebabkan berbagai hal, di antaranya tidak banyak dosen yang
bersedia membagikan hasil riset dengan cara dan melalui media yang lebih mudah
diakses dan dipahami. Mereka seakan lupa bahwa masyarakat awam sangat kesulitan
dalam memahami analisis mereka dalam jurnal ilmiah.
Kutukan
ilmu pengetahuan
Selama ini, komunitas
akademik di Indonesia khususnya di universitas lebih banyak dituntut oleh
perguruan tinggi untuk mencurahkan tenaganya menerbitkan tulisan di
jurnal-jurnal internasional bereputasi.
Dampaknya, tulisan
tersebut terbit menggunakan format, gaya bahasa, dan kosakata akademik, yang
biasanya dalam bahasa Inggris sehingga susah dikonsumsi masyarakat.
Jarak yang sudah
lebar antara penulis akademik dengan masyarakat umum ini kemudian diperparah
oleh “kutukan ilmu pengetahuan”. Kutukan ini berbentuk bias berpikir yang
terjadi pada orang dengan tingkat wawasan lebih tinggi yang gagal
mempertimbangkan suatu masalah dari perspektif orang yang lebih awam.
Akibatnya, komunikasi sains semakin tidak terjembatani.
Steven Pinker,
profesor psikologi di Harvard University, Amerika Serikat (AS), misalnya,
mengatakan ilmuwan dan dosen sangat suka menggunakan suatu gaya menulis penuh
jargon yang disebut “academese”.
Ia memberikan contoh
kutipan dari suatu artikel ilmiah yang menggunakan bahasa yang rumit yang dalam
bahasa Indonesia kurang lebih bermakna: “Partisipan membaca beberapa pernyataan
deklaratif yang kebenarannya diafirmasi atau ditolak melalui pembubuhan sebuah
kata asesmen yang muncul setelahnya”.
Kalimat yang muncul
dalam bagian metodologi dari artikel ilmiah tersebut saja sudah sangat sulit
dipahami penutur asli bahasa Inggris, apalagi pembaca Indonesia.
Padahal ada pilihan
kalimat yang lebih sederhana tanpa mengurangi makna. Pinker memberikan contoh,
yang dalam bahasa Indonesia mungkin berbunyi: “Partisipan membaca beberapa
kalimat, masing-masing diikuti pernyataan benar atau salah”.
Kalimat ini jauh lebih
singkat dan jelas sehingga mudah dipahami. Namun, masyarakat maupun pembuat
kebijakan masih sangat jarang menemukan artikel ilmiah yang ditulis dengan gaya
bahasa seperti ini.
Di bidang-bidang
tertentu seperti ilmu sosial dan humaniora, kebiasaan gaya penulisan yang sarat
dengan kosa kata spesifik dengan struktur kalimat yang padat dan majemuk masih
menjadi tantangan – terutama bagi pembaca yang bukan penutur asli bahasa
Inggris, termasuk kebanyakan orang Indonesia.
Menurut riset dari
Inggris yang meneliti ratusan guru dan kepala sekolah, banyak pendidik yang
ingin meningkatkan kapasitas mengajarnya masih mengalami kesulitan dalam
memahami hasil penelitian di jurnal. Pada akhirnya mereka lebih mengandalkan
informasi dari sumber populer seperti media massa.
Sengaja
terdengar rumit
Budaya academese,
atau gaya menulis dengan bahasa tinggi ini bisa jadi wujud dari keinginan
penulis akademik menaikkan reputasi diri dengan menonjolkan kredibilitas
ilmiah.
Bahkan, beberapa di
antaranya bisa jadi melakukannya untuk sekadar menutupi kesan bahwa temuan
ilmiahnya biasa saja dan tidak menawarkan hal baru.
Studi yang dilakukan
Daniel Oppenheimer, profesor psikologi Carnegie Mellon University di AS,
misalnya, menemukan bahwa 86% respondennya mengaku pernah sengaja menggunakan
kosakata rumit supaya terdengar lebih ilmiah.
Selain itu, dua
pertiga dari mereka juga mengaku menggunakan tesaurus untuk mencari sinonim
kata-kata yang lebih akademik dalam artikelnya.
Ini menunjukkan bahwa
penggunaan bahasa yang tinggi dan rumit merupakan ciri khas yang dilanggengkan
oleh budaya publikasi dalam dunia akademik.
Perbanyak
tulisan populer di media
Salah satu cara
komunitas akademik bisa mengatasi hal ini sebenarnya adalah membedakan antara
target pembaca dari komunitas akademik dengan mereka yang merupakan masyarakat
awam. Salah satu contohnya adalah melalui tulisan populer di media massa.
Sayangnya, saat ini
masih sangat sedikit dosen yang menulis di media ilmiah populer yang memiliki
proses penyuntingan yang berpihak pada pembaca awam.
Akademisi tidak hanya
kekurangan waktu dan kecakapan untuk menulis ilmiah populer, tapi juga tidak
ada insentif bagi mereka untuk menyebarkan wawasan ilmiah lewat kanal ini.
Sebagai gambaran,
pemerintah saat ini hanya fokus pada penghargaan kepada dosen yang menulis di
jurnal ilmiah sesuai dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi No. 20 Tahun 2017.
Insentif ini tidak
hanya diberikan oleh pemerintah pusat dalam bentuk penghargaan uang, namun juga
dari institusi masing-masing dengan besaran yang beragam. Di Universitas Islam
Indonesia (UII), misalnya, insentif untuk prosiding (karya ilmiah untuk
konferensi akademik) tingkat internasional bisa dihargai sampai Rp 8 juta.
Sementara itu,
dukungan untuk menulis di media populer berupa poin yang sangat kecil, yaitu
hanya 1 angka kredit (AK) untuk tulisan di majalah populer. Bandingkan dengan
menulis di jurnal nasional berbahasa Inggris yang bisa sampai 20 AK.
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) perlu
memberikan insentif lebih pada dosen untuk menuliskan hasil penelitian atau
menggunakan wawasan ilmiah mereka untuk membedah isu hangat di masyarakat
dengan bahasa yang lebih lugas, jelas, dan membumi melalui media bereputasi
yang mampu mencapai banyak kalangan.
Dari sini pun bisa
muncul tuntutan dan dorongan bagi akademisi untuk meningkatkan kapasitas mereka
dalam mengomunikasikan hasil penelitian yang tidak melulu melalui seminar, tapi
melalui karya ilmiah populer.
Publikasi melalui
jurnal dengan gaya akademik memang tetap harus ditingkatkan kualitasnya karena
memiliki pangsa pembaca tersendiri. Salah satunya adalah ilmuwan yang membangun
wawasan ilmiah di bidang mereka masing-masing.
Tapi, penyebarluasan
hasil penelitian secara lebih luas juga harus didorong sebagai solusi atas
miskinnya komunikasi sains di Indonesia agar ruang ini tidak diisi misinformasi
dari media sosial dan portal-portal daring yang oportunis.
*) Lecturer (Universitas Mataram) , PhD Candidate, Monash University
sumber: https://theconversation.com
Post a Comment