Idul Adha, Tradisi dan Omelan tentang Sekeliling Kita




Ilustrasi, sempatbaca.com


Penulis : AGUS DEDI PUTRAWAN, MASYHUR


By: Agus Dedi Putrawan

(Dosen UIN Mataram)

Tiap momentum bagi pemuda adalah stimulus. Ingatan tentang pantai adalah reaksinya.


By: MASYHUR
(Penulis Lepas Tinggal di Batulayar)


Tiap momentum selalu mencerminkan tradisi dan budaya. Dan pasti ada imbasnya terhadap aktivitas sosial masyarakat


Momentum Idul Adha kali ini maupun hari-hari besar Islam lainnya telah mentradisi, mengakar dan mengkristal dalam masyarakat. Penulis merasakan itu, terutama sekali di keluarga-keluarga besar di dusunku. Apa yang telah menjadi urat nadi culture terutama di momen Ied Adha antara lain bisa dilihat dari dua hal berikut: yaitu planning ziarah dan menghabiskan waktu di pantai.

Anda tahu tidak, rasa-rasanya, tidak afdol jika mereka tidak melakukan dua hal yang saya sebut itu tadi.

Pertama ziarah kubur. Jelas tujuan mereka untuk mengingatkan diri pada kematian.
Apa perlunya mengingat kematian? Barangkali ini erat kaitannya dengan celoteh seorang filsuf, "The death is untheological". Kematian adalah peristiwa paling teologis yang bisa bikin manusia seisi bumi ini tak henti-henti dibuat kaget dan bertanya-tanya.

Lalu yang kedua, mereka menuju Destinasi pantai. Di pantai hampir seluruh masyarakat rekreasi membunuh waktu, mengejar kepuasan bathin dan spirit sosial yang boleh jadi bisa mengobati luka batin yang sekian lama menga-nganga.

Untuk yang kedua ini, sepertinya perlu bercerita lebih panjang, sebab relatif luas kait kelindannya dengan realitas sosial kehidupan masyarakat.

Bagi anak muda, pantai identik dengan acara penting, hampir pada setiap hari-hari besar pantai menjadi pusat gravitasi. Tokoh psikologi sperti uninya B.F Skinner berujar, "Perilaku merupakan respon atau reaksi terhadap stimulus dari luar dirinya sendiri".

Jadi, setiap hari besar bagi pemuda adalah stimulus. Maka, ingatan tentang Pantai adalah reaksinya.

Ngomel-ngomel tentang pantai.
Pedagang pelecing, dagang bakso, sate bakar, ikan bakar, cilok, jajanan tradisional, pedagang es buah, es campur, pedagang mainan, tukang parkir sedari subuh sudah mempersiapkan diri mereka, sebab jika telat maka bisa jadi, bukan hanya akan sulit untuk merengsek masuk ke areal pantai (Seperti kasus Pantai Cemare kec. Lembar) lantaran jalanan macet, sesak oleh para pengunjung yang padat merayap tetapi juga akan kehilangan peluang untuk meraup pundi-pundi rupiah: uang. Hasrat terhadap uang, dalam konsep ekonomi, dimiliki karena ia memenuhi kebutuhan kita secara tidak langsung, sebagai 'pelicin' untuk perdagangan dan pertukaran. Yang lebih wah lagi, hasrat terhadap uang luar biasa dahsyat.

Kok bisa?
Oh jangan salah. Bisa saja. Bahkan pasti.

Uang memang menggoda. Godaan uang begitu besar. Bahkan uang adalah sesuatu yang bisa membuat orang dimabuk kepayang. "Satu-satunya hal yang membuat orang mabuk kepayang, selain cinta, adalah uang kartal," kata Benjamin Disraeli.

Itulah mengapa pemenuhan hasrat terhadapnya terkadang membabi buta, tak peduli mana lawan, mana kawan.

Kenyataan menunjukkan, geliat aktivitas sosial ekonomi begitu tampak. Lihat saja, pelaku usaha, pedagang, yang menjajakan barang aneka rupa di pasar yang mereka sepakati sebagai tempat bertransaksi, sudah didatangi sedari pagi buta. Bahkan, nyaris habis subuh pun, terlihat sudah standby. Realitanya ya seperti itu, dikejar deadline untuk ber(ekonomika-ria) ngurusin masalah kehidupan praktis sehari-hari.

Mereka mengejar berkah dan ikhtiar meraih untung yang didapat bisa dua hingga tiga kali lipat. Keuntungan lumayan tersebut untuk tabungan anak sekolah, harga sepatu anak-anak mereka, tas, buku tulis, harga bensin untuk anaknya yang kuliah agar kelak anak-anak itu tidak seperti bapak dan ibunya yang tidak sekolah, bekerja serabutan dan sering dapat bantuan pemerintah.

Tapi sayang. Sayang beribu sayang, kali ini ........dan kali-kali yang lainnya, yang entah kapan akan menujukkan tanda-tanda normal, para pedagang belum bisa begitu leluasa berdagang.

Di tengah kondisi seperti saat ini, Pantai ditutup, kerumunan dibubarkan demi menjaga umat manusia dari virus Corona. Virus yang memupuskan harapan para orang tua pedagang kaki lima musiman di pantai-pantai. Orang tua yang tidak tahu beda antara PPKM dan PPKN. hehehe..

Untuk keselamatan harus ada yang dikorbankan. Prihal ini, sangat disayangkan masih belum seutuhnya kita mafhumi.
Namun bagaimanapun, syukurlah meski demikian kenyataanya, kegaduhan akibat kebijakan yang kadang salah difahami sehingga membingungkan dan menyesatkan, merusak tingkah laku ekonomi, dapat dibendung dan sudah diantisipasi secara baik melalui aturan-aturan dan norma sebagai kebijakan pemerintah (policy of goverment) untuk kepentingan bersama. Bukankah maslahah al-ummah itu harus jauh diprioritaskan lebih dulu?

Begitulah. Di setiap momentum, di situ selalu tercermin tradisi-tradisi tertentu. Semoga kita ikhlas dan lekas menyadari.

Post a Comment

Previous Post Next Post