By: MASHUR*)
Di tengah pandemi ini, di mana masyarakat dituntut lebih sering berada di rumah: stay at home. Kondisi ini bagi perokok, kebutuhan akan kretek kian menjadi-jadi. Pun kemudian, kata sebagian orang, merokok, “bisa membendung virus Corona masuk ke tubuh”? benarkah?
JAMAK kita tahu: ad-dukhan (rokok) tidak dianggap sebagai barang langka di negeri
ini. Ad-dukhan atau yang memiliki
nama lain dalam masyarakat arab sebagai at-tabgh
dan atau at-tinbãk di berbagai
tempat bisa diperoleh, entah dalam jumlah banyak dan sedikit, baik eceran dan
bungkusan. Mulai warung, kios di gang-gang perkotaan, terlebih di toko, supermarket,
rokok amat sangat gampang dibeli. Pelanggan pun seakan tak pernah sepi. Mungkin
saja lantaran daya tarik kenikmatannya yang menggugah. Dengan sebab hanya
menghisap sebatang rokok—katanya—konsentrasi semakin bertambah, ide bernas
terus mengalir, bagi yang mengkonsumi dalam sekejap bisa dibuat tenang, rileks,
meski efek buruknya sulit untuk dibantah.
Rokok tak mengenal siapa mereka, apapun jenis
kelaminnya, bahkan usia sekalipun. Hampir Semua kalangan doyan mengonsumsi
rokok: dari anak usia sekolah, tak terkecuali remaja, dewasa. Dari kalangan
intelek, kyai sampai kalangan awam sekalipun, rokok tak ubahnya “pendamping
setia” yang senantiasa menemani aktivitas kesibukan hidup sehari-hari.
Mereka berseloroh, “tak lengkap rasanya,
jika rokok tak ada di saku celana, kantong baju, dalam tas atau juga tak nongol
dalam sajian secangkir kopi hangat, teh dan lainnya dalam hampir setiap
kesempatan, obrolan dan diskusi”. Bagi
perokok aktif, setelah makan adalah waktu yang dipersepsikan sangat
tepat. Tanpa menghisap rokok terasa ada yang kurang. Kebiasaan yang sering kita
temukan juga bahwa nikmat merokok cenderung memuncak setelah makan.
Rokok dan Masyarakat
Miskin
Rokok begitu digemari semua kalangan, dari
yang paling miskin, golongan menengah, tak pelak bagi mereka yang kaya: punya
berlimpah harta. Terlebih untuk ukuran satu bungkus perhari. Kenyataan
membuktikan, rokok sepertinya bagian dari kebutuhan. Tepatnya kebutuhan yang
harus dipenuhi kalangan “perokok”.
Tak heran masyarakat banyak menyisihkan
pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan rokok. Terlebih di tengah pandemi
ini, di mana masyarakat dituntut lebih sering berada di rumah: stay at home. Pun kemudian, kata
sebagian ornag, merokok, “bisa membendung virus Corona masuk ke tubuh”.wkwkwk.
Contoh kasus, masyarakat miskin di pulau
dewata Bali banyak menyisihkan pendapatan untuk membeli rokok. Budgeting rokok sebagai pengeluaran (non
makanan) berada di tangga kedua setelah pengeluaran kebutuhan pokok beras
(makanan) terpenuhi. Meski tidak secara
umum, ada korelasi antara rokok dan angka kemiskinan (Bali Post, 5-11/08/2016). Dan boleh jadi, merokok akan membuat
masyarakat miskin kian parah. Pendek kata, pengeluaran untuk rokok nomor dua
setelah pengeluran untuk beras.
Bagaimana dengan masyarakat miskin di daerah NTB, serupa kasus di Bali, atau malah lebih parah dari itu?
Membuktikannya,
dibutuhkan data akurat sebagai jawaban. Mungkinkah jika harga rokok yang santer
diberitakan serta mengejutkan publik belum lama ini, akan benar-benar naik
hingga tiga kali lipat, masih mampu memikat konsumen terutama kaum miskin terus
mengkonsumsi rokok?
Rokok, dan Ruang
Imajinasi
Jelas-jelas dunia medis memandang sinis objek
bernama rokok. Sebabnya, memang sejatinya bukan hanya merugikan tetapi sangat
berbahaya bagi diri perokok. Kanker
tenggorokan, kanker paru-paru, kanker lambung, penyakit jantung koroner,
pneumonia, gangguan sistem reproduksi merupakan sederet anacaman penyakit yang
siap menjadi boomerang. Kendati demikian, manfaat yang diperoleh bagi perokok tak mampu membendung
stereotype tersebut.
Tidak putus-putusnya berbagai program dan
atau kegiatan digelar, ruang konsultasi tersebar di mana-mana untuk mengurangi
konsumsi rokok, agaknya kurang mempan juga mengatasi kebiasaan merokok. Belum
lagi, suguhan gambar-gambar “mengerikan” yang terdapat pada kemasan rokok
sebagai upaya untuk melakukan pencegahan, nampaknya juga bukan hantu
menyeramkan bagi si perokok.
Rokok tak bisa dilepaskan dari manfaat yang
didapatkan bagi perokok. Artinya, tidak mengurangi jumlah perokok, malah kian
bertambah banyak saja konsumsi individu terhadap rokok. Sebuah penelitian yang
pernah dilakukan menyebutkan; pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa sebanyak
99,7 persen anak melihat iklan rokok di televisi, dimana 68 % mengatakan
memiliki kesan positif terhadap iklan rokok tersebut dan 50 persen mengatakan
menjadi lebih percaya diri seperti di iklan.
Sutawa (2014) dalam satu karya seni bertajuk
“merokok dapat menyebabkan imajinasi
tinggi, tapi tidak untuk semua orang” membuktikan fakta yang terjadi di
semua perokok. Karya tersebut menggambarkan rokok menjadi fokus utama. Dalam
karya Sutawa terdapat gambar-gambar yang membuktikan imajinasi-imajinasi yang
muncul namun hanya setengah bidang dari rokok tersebut. Dan setengahnya lagi tanpa gambar apapun. Isyarat bahwa memang rokok bagi beberapa orang
penting bahkan dijadikan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi (primer). Kalau
memang seperti ini faktanya, maka sudah bisa dipastikan, jika kebutuhan itu tak
terpenuhi ada rasa tak puas, seseorang bisa menjadi stres, efek buruk lain pun
akan terasa sulit untuk dihindari.
Jelaslah, kebiasaan merokok bagi mereka yang
perokok dapat menghadirkan ketenangan, rileks. Lantaran merokok juga, ide dan
gagasan serta imajinasi mengalir tanpa henti, yang boleh jadi tidak mustahil
dari ide dan gagasan yang lahir tersebut muncul karya besar, dan jelas
karya-karya yang dihasilkan itu akan menjadi inspirasi dan berguna untuk orang
lain. Siapa yang tidak kenal Chaerul Anwar?. Ia
seorang perokok berat. Penulis pun tahu dan pertama kali melihat seorang
Chairul Anwar dalam sebuah majalah, gambarnya sedang menghisap rokok. Seperti
banyak dituturkan orang, jika diperhatikan foto-foto Chairul yang kita lihat
sekarang tak banyak varian gaya dan polanya. Lipatan kedua bibirnya, pasti,
terselip sebatang rokok. Fotonya yang paling dikenal publik Indonesia agaknya
saat ketika di mana Khairul Anwar itu menghisap sebatang rokok. Tidak heran
orang beranekdot; jika tidak merokok, bisakah dia menjadi seorang genius,
seperti kita kenal sekarang? Saya juga meyakini, bahwa karya-karya penyair
berjuluk Binatang Jalang yang sampai saat sekarang ini memenuhi perpustakaan di
kampus-kampus dan banyak dipelajari itu,
dipastikan lahir tak lepas dari belenggu asap rokok atau kebiasaannya merokok.
Ini hanya dua contoh tokoh, belum lagi tokoh-tokoh kaliber, sastrawan besar,
pemikir dan orator ulung lain yang tak pernah lepas dari kebiasaan merokok.
Tentu, telinga kita akrab juga dengan Albert
Einsten. Pemikir jenius itu doyan asap dengan lain kata ia seorang pecandu
rokok. Katanya, Einsten pernah berujar, “saya percaya merokok biasa memberikan
konstribusi akan suatu perdamaian dan keakraban”. Statemen tokoh yang dikenal
dengan teori relativitasnya itu, agaknya tidak gegabah menganggap rokok sebagai sesuatu yang
berharga dalam kediriannya.
Akan terasa jauh perbedaanya jika tak
merokok, akan sangat dirasakan kekurangan begitu berarti dalam hidup si
perokok. Barangkali akan bisa dibenarkan pula; tidak merokok sehari bak terasa
seminggu tanpa sepiring nasi atau tidak pernah makan. Meskipun demikian, hal
seperti itu tidak sepenuhnya dialami oleh semua perokok aktif. Tetapi merokok
hanya difungsikan sebagai hal-hal biasa, sekedar ikut trend, bisa juga gaya
hidup.
Oleh karena itu, tidaklah bermaksud membela
(perokok dan bukan perokok), juga tidak untuk memaknai lebih mendalam hakikat
barang ini, melainkan sekedar membuka
diri terhadap kenyataan akan situasi yang kita amati. Sesuatu yang tidak hanya
baik, namun juga buruk. Kebiasaan buruk bisa menghasilkan sesuatu yang
mendatangkan kebaikan. Apa yang baik, berpotensi juga untuk mendatangkan
keburukan dalam kehidupan. Rokok salah satunya.
Rokok tetaplah rokok. Apa yang dipersepsikan belum tentu sama dengan orang diluar kita, terlebih ikhwal asap beracun (monoksida) tersebut.
Rokok tetaplah rokok. Apa yang dipersepsikan
belum tentu sama dengan orang diluar kita, terlebih ikhwal asap beracun (monoksida) tersebut. Ulama pun
berselisih faham tentang hukum rokok. Tiap orang punya pengalaman masing-masing
terhadap rokok yang melekat dalam kebiasaan kehidupan sehari-hari. Yang pasti
pada tiap sesuatu terdapat manfaat dan kerugian di dalamnya. Keduanya bagai
saudara kembar, berjalan seiringan. Singkat kata berdampak sangat buruk, selain
memang dampak positif yang disebabkan olehnya juga banyak.
Hanya saja, kalau berlebihan, semena-mena
memandang sinis “smoker”, apalagi menghukumi status rokok sebagai sesuatu yang
haram inilah yang semestinya digugat. Penulis Kitab Kopi dan Rokok Syekh Ihsan Jampes (2009: 56) menegaskan, orang yang berakal sehat tak mungkin
berkata bahwa rokok adalah haram li dzatih. Maka, sebaiknya, sinisme lebih
tepatnya dialamatkan kepada para koruptor yang menggerogoti uang negara. Belum
lagi, fenomena-fenomena aneh dan sangat tidak masuk akal yang belakangan muncul
memekikkan telinga. Aneh bin ajaibnya, dalang, aktor orang-orang yang terlibat
di dalamnya ialah mereka yang mengerti hukum, etika dan moral, juga paham
agama??.
*) Artikel ini pernah dimuat Harian SUARA NTB, 2 November
2016. Isinya mengalami penyempurnaan dan perubahan sesuai kondisi kekinian.
Post a Comment