Bekerja, bersyukur dan Jauhi Penyakit Malas

 

Foto, ilustrasi sempatbaca.com



TIDAK bisa kita ingkari, aktivitas sosial ekonomi tak bisa lepas dari kehidupan kita.

Aktivitas sosial ekonomi hampir tak kenal batasan usia. Kalaupun ada, hitungan palingan hitungan jari.

Aktifitas sosial ekonomi itu banyak macemnya. Intinya bekerja. Dari bekerja kita bisa dapet upah, dapet untung. Dari upah dan untung yang didapat kita bisa mengembangkan usaha, kita bisa membeli apa yang kita butuhkan; baik kebutuhan primer, tersier dan sekunder.

Sayangnya bekerja itu membutuhkan ilmu, butuh pengetahuan. Nah ilmu dan pengetahuan inilah yang berpotensi bisa melahirkan sekaligus membeda bedakan jenis aktivitas sosial ekonomi kita. Tak heran realitas aktivitas sosial ekonomi mewarnai kehidupan sosial masyarakat. Dengan kata lain; ada yang jadi tukang parkir. Ada yang jadi pedagang, petani. Ada yang jadi guru, dosen. Ada yang aktivitas sosial ekonominya di kantoran. Ada yang memilih jadi politikus. Banyak lagi yang lainnya.

Kembali kepada, bahwa ilmu dan pengetahuan sebagai modal utama dalam hidup dan kehidupan yang sebentar ini. Dengan ilmu dan pengetahuan, seseorang bisa berbuat. Dengan ilmu dan pengetahuan orang bisa melakukan banyak. Dengan kedua hal itu pula orang bisa dan punya keahlian. Juga kreatifitas.

Anda punya keahlian, anda kreatif, yakinlah ia akan menghasilkan duit. Anda kreatif, anda ahli; duit mudah didapet. Duit akan mengalir bak air sungai. Hanya saja frekuensi 'mengalirnya', ada yang rendah. Ada yang tinggi, bahkan ada yang mengalirnya begitu kencang 'deras'.

Rasa Syukur
Allah memberikan lampu hijau terhadap semua jenis aktivitas sosial ekonomi 'pekerjaan'. Asal saja, aktivitas itu tidak dilarang oleh yang maha mengatur: Allah. Prinsip ini menggambarkan bahwa semua jenis pekerjaan itu baik, tinggal kita yang memilih.

Bekerja itu sebuah kemuliaan. Bekerja itu sebuah fitrah yang ada dalam diri manusia. Makanya, Agama sangat benci hamba yang pemalas. Agama murka pada hamba yang enggan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Agama menarik diri pada penghayatnya yang enggan memaksimalkan potensi yang ada dalam diri mereka.

Saya bersyukur dengan apa yang saya lakukan kemarin, hari ini, dan saya berharap juga kondisi ini saya alami di masa-masa yang akan datang. Apa sebab? Tak lain karena masih bisa memanfaatkan dan bisa memaksimalkan potensi diri saya pada lembaga atau tempat saya bekerja. Meski telat, saya masih bisa menunaikan tanggungjawab. Meski tak banyak dapet duit, tetapi yang sedikit itu saya yakini mengandung berkah.

Saya juga selalu bahagia, sebab orang orang di sekeliling saya (teman, sahabat) selalu memanfaatkan waktu mereka untuk bekerja, dan saya yang menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri apa yang mereka lakoni--dengan itu kemudian saya lebih bergairah dan termotivasi untuk tetap bergulat dengan serangkaian aktivitas hari-hari dalam hidup saya. Anda bagaimana? I hope same like me.

Di suatu kesempatan, saya bertemu dengan salah seorang. Usianya lumayan sepuh. Dia pensiunan PNS. Meski di usia yang kian menua, dia masih semangat. Dia terus meluangkan waktunya untuk melakukan hal hal bermanfaat. "Pensiun itu bukan berarti mematikan kreativitas," ujarnya kepada saya.

Kata-katanya itu, mengoyak bathinku. Bukan karena saya tak suka tetapi karena kata kata itu menghujam ke dalam bathin, sehingga bikin semangat menyala-nyala.

Di tempat lain, saya juga sempat dibuat tersentak ketika menyaksikan seorang lelaki yang cukup sepuh usianya, masih terus bekerja karena tak mau merepotkan putra putrinya. Kenyataan ini, kontras dengan kita kita yang masih muda, sering dibelenggu penyakit malas.

Yang lebih saya syukuri lagi, istri di rumah, selalu legowo dengan ritme kesibukan (pekerjaan) saya. "Oh istriku, kau memang luar biasa. Kamu memang tercipta untukku. Aku ada, karena kau tercipta," ujarku setiap saat.

Aku kadang geleng-geleng, betapa dia selalu mengerti keadaanku. Memahami kondisiku. Sehingga tak bisa kusembunyikan dalam lubuk hati terdalam, untuk selalu berujar seperti yang dicelotehkan Vocalis Ada Band, dalam lirik tembangnya, "Kau Auraku". Ya...istriku itu Aura dalam jiwaku.

Iya, begitulah. Istriku selalu menyemangati setiap langkahku, lebih lebih dalam urusan pekerjaan. Meski sesekali dia cemberut karena saya terlalu egois dan sering alpa menemaninya jalan-jalan ke tempat yang dia sukai, entah ke Mall, kulineran atau duduk termanggu di tepi pantai menikmati senja berteman menu-menu mak nyus dari si pemilik warung, kedai atau lesehan 'murah-meriah'.wikwik....

So, menjadilah kita insan yang tak menyia-nyiakan hidup ini. Semoga kita ini insan yang pandai bersyukur dan sebisa mungkin kita lawan penyakit malas.

Akhirul kalam, semoga kita selalu terbiasa dengan aktivitas sosial ekonomi sebagai modal hidup di dunia dan di akhirat. Dan tak lupa menyandarkan seluruh aktifitas kita untuk tujuan ibadah: hanya pada sang pencipta. Inilah cara sederhana memaknai Ekonomi Islam. Juga mempraktikkan ilmu ekonomi yang didasari nilai-nilai syariah.

*) Penulis Tinggal di Batulayar.

Post a Comment

Previous Post Next Post