Satire si Petani Itu

 


Foto, ilustrasi sempatbaca.com


By: SAIN AQIJE*)

Semilir angin berhembus melambai, menyentuh, merayap ke tiap ujung dan helai daun. Terpaan angin di balik cahaya mentari begitu menguning seperti kepulan kabut yang membawa rasa sejuk.

Pagi sekali....iya, sepagi itu, tampak, langit Batulayar bagai kanvas putih dengan sapuan birunya warna langit nan cerah. Di sebelah laut biru seluas mata memandang. Sedang mengalihkan kedua mata ke utara berdiri tegaknya perbukitan nan kebiruan gelap, memanjakan mata. Aduhai.

Saya melihat, hamparan luas tanaman padi para petani mulai menunduk beranjak dewasa.

Bentangan tali rapia berisikan ratusan plastik warni-warni layaknya barisan pelangi, meramaikan hamparan sawah. Si petani berharap bentangan tali rapia itu ampuh mengusir sekawanan burung-burung usil. Kata si petani, "Jebakan itu mudahan ampuh menakuti gerombolan burung-burung itu".

Pria petani paruh baya itu mondar mandir di pematang sawah miliknya. Kepalanya celinguk sana, celinguk sini. Sorot matanya tajam. Tak lama, lantas ia memegangi ranting pohon yang diikatkan plastik besar. Dia menggoyang-goyang ranting di tangannya sembari berkata, "Husssssssss...... husssssssss.....hussssss.... Hoooooo.... hoooooo.... Kampret kau burung!".

Lelaki itu setahuku sering dipanggil Amak Rahim. Sehari-hari lelaki petani itu menghabiskan waktunya di sawah.

Si petami itu bergumam, "Capek dan berat jadi buruh tani. Apalagi pas tanam padi!.berat...berat".

Dari baru taburi biji sampe mau panen, ada hama dan penyakitnya.
"Berat..berat".
Ia berceloteh.

Ketika berbuah. Ratusan burung bercumbu ria setiap hari, menyantapnya. Sehari saja tidak di jaga habis buah padi itu dimakan. Apalagi kita tidak jaga satu sampai dua Minggu. Kita dapat apa?.

Udah biaya tanam, dan perawatan mahal. Pupuk mahal, yang subsidi sedikit. Belum obat-obatnya, apalagi dengan kondisi yang jarang turun hujan, seperti saat ini. Belum lagi dipersulit nambah biaya, mengairi sawah.

Anggaran besar kementerian pertanian, petani bertahan kesulitan.

Nasib para petani Indonesia. Begitulah.
Kaya tidak, modal besar, untung pas-pasan.

"Berat.. berat.. jadi petani hari ini" keluhnya.

Satire sang pejuang pangan di atas tamparan bagi kita.

Kenyataan membuktikan; seorang petani, bahkan ribuan petani seantero kerap di pandang sebelah mata. Tak pelak kemudian, para petani seringkali dihadapkan oleh kesulitan demi kesulitan.
Begitulah.

Apa gerangan prihal Satire?
Satire adalah gaya bahasa yang membuat sindiran atau ledekan. Bersamaan itu ia dibarengi kritik tajam, dikemas dengan ungkapan yang bervariasi hingga menghasilkan kesan yang membuat pembaca atau pendengar tertawa dan pihak yang dikritik meringis (tertawa getir).

Hari ini, bagi saya, Satire, adalah ungkapan yang menarik kita gunakan untuk menumpahkan kejenuhan atas realitas (realitas apa saja) yang sering bikin kita muak, termasuk satire petani itu.

Terus berjuang para petani. Nasib pemenuhan bahan pokok ada di pundak kalian. Semangat dan terus ikhlas berjuang. Semoga perhatian pemerintah lebih terasa lagi.

*) Penulis aktif di PAC GP Anshor dan Penikmat Kopi

1 Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post