Mengubah Hidup Manusia Lewat Membaca

 

Oleh: Redaksi*)

 

Menyuguhkan buku, bahan bacaan kepada seseorang untuk dibaca, selain bisa mengubah pribadi sendiri, kelompok  dibimbing ke arah lebih baik menjalani lembar demi lembar draft kehidupan yang akan dilalui. Siapapun dia? Mau penjahat, perampok, pemeras, penipu, bahkan para napi yang mendekam di balik jeruji.

 

SELAIN dapat mengubah pribadi sendiri, dapat juga seorang manusia dibimbing ke arah lebih baik-memiliki arti menjalani lembar demi lembar draf kehidupan yang akan dilaluinya dalam berperilaku. Siapapun dia? Para penjahat (perampok, pemeras, penipu), para Napi yang mendekam dibalik jeruji besi sekalipun. Caranya cukup mudah: menyuguhkan buku atau bahan bacaan kepada seseorang untuk dibaca.

Dalam hubungan ini, barangkali, itu sebab Harvey Mackay, penulis empat buku Best Seller, berkenaan aktivitas/kebiasaan membaca, mengatakan: hidup kita diubah, salah satunya oleh buku. Buku yang dibaca seorang. Sementara buku, kata penulis Austria Franz Kafka (1883-1924), seumpama kapak yang dapat dijadikan senjata untuk mencairkan lautan beku dalam diri kita.

Penjara dan Visi Mencerahkan

Seorang akan mendapatkan pengetahuan lebih dengan membaca, karena melalui bacaan seorang bisa mendapatkan suatu hal baru dan berguna bagi tumbuh kembang pribadi dalam hidup kesehariannya. Seorang pemikir pernah berpesan, lebih-kurang berbunyi: “perbanyaklah membaca buku, karena sesuatu yang tidak diperoleh di buku satu, bisa didapatkan di buku lainnya”.

Pesan ini, meneguhkan kembali “sesungguhnya” membaca suatu hal yang menjadi keharusan, karena memungkinkan diri (pembaca) punya pengetahuan atas apa yang belum sama sekali diketahui sebelumnya. Yang terpenting lagi, membaca membuat orang hati-hati dalam sikap, juga bijak lagi arif melihat warna perbedaan dalam memandang ragam persoalan yang kian hari terus mengitari. Dengan bekal semacam itu, membawa fase perubahan bagi diri, masyarakat dan bangsanya.

Pasalnya? Semakin besar rasa suka seseorang pada sebuah buku yang di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan, dalam arti menikmatinya dengan membaca, pastilah ia memiliki wawasan dan cakrawala pandang luas jauh ke depan. Jadi, membaca tak diragukan, merupakan aktivitas positif yang harus terus dibiasakan sejak dini, sebab; mendatangkan banyak faedah.

Kasus di Brazil menarik untuk dicermati. Bayangkan! Seorang narapidana bisa mengurangi tahanan jika rajin membaca. Belum lama ini beberapa media massa nasional dan internasional, menyebutkan bahwa para Napi diharuskan membaca dengan jumlah belasan buku dari berbagai perspektif ilmu: karya sastra, filsafat atau buku lainnya untuk memotong maksimum 48 hari tiap tahun. Setiap satu buku yang habis dibaca tahanan akan mendapat pengurangan hukuman empat hari. Bukan main?.

Tak terhenti di situ, para penghuni jeruji besi, diharapkan bisa menulis sesuai bacaan yang dilahapnya dalam bentuk artikel/essai dan sebagainya. Setelah menuangkan ide/gagasan dalam sebuah tulisan, oleh tim khusus yang telah dibentuk, hasil tersebut dinilai. Tim khusus inilah yang mempertimbangkan layak tidaknya seorang narapidana untuk berpartisipasi dalam program bertajuk “Pembebasan melalui Membaca”. Apa yang dilakukan negara yang lepas dari jajahan Portugis pada 7 September 1822, memantik kesadaran semua kita, meski membaca buku di penjara bukanlah hal asing dan baru, namun proses kreatif penerapan kebijakan untuk para tahanan, bagi saya menakjubkan: berani, langka dan penuh edukasi. Setidaknya setelah keluar dari penjara, para tahanan perlahan mengalami perubahan. Melalui program ini, para Napi meninggalkan penjara dengan visi yang lebih cerah untuk menghadapi dunia” kata  Andre Kehdi, seorang yang berprofesi sebagai advokat di Sao Paulo. Menurutnya, seseorang bisa meninggalkan penjara dengan pencerahan dan memiliki wawasan dunia yang lebih luas. Mereka pasti akan menjadi orang yang lebih baik saat bebas dari penjara. Saya yakin bahwa semua orang, mengetahui akan arti dan pentingnya membaca (kompas.com. 3/7/2012).

Sungguh, membaca mengambil peran perubahan--sosial sekaligus--bagi manusia dalam hidupnya. Siapapun dia? Tanpa kecuali. Meminjam pendapat Prof. Henry Guntur Tarigan, dalam bukunya; “Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, 1979” menyebutkan dua point penting prihal membaca. Pertama, membaca itu, suatu alat komunikasi yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat berbudaya. Kedua, bahwa bacaan yang dihasilkan dalam setiap kurun zaman dalam sejarah sebagian besar dipengaruhi oleh latar belakang sosial tempatnya berkembang. (hal. iii).

Dalam konteks pendidikan anak bangsa, membaca merupakan proses yang menjadi lokomotif seorang anak. Dari sana akan mengalir konstruksi pemikiran kreatif yang menghidupkan jiwa dan gagasannya, karena mumpuni mengondisikan kerangka berpikirnya dalam pemikiran kritis, sebab terdidik dalam membaca.

Maka, haruslah disadari semua elemen bangsa ini: terutama yang terlibat secara penuh dan bergelut sehari-hari dalam dunia pendidikan dari jenjang paling awal hingga level pendidikan tinggi. Apalagi, saat sekarang ini, di tengah berbagai kemajuan yang diraih bangsa ini serta berbagai penghargaan yang diperoleh dari luar negeri, tentu berkebalikan dengan terbatasnya akses buku yang menyimpan berbagai ilmu pengetahuan dan karya-karya bersejarah untuk dibaca dan diketahui oleh masyarakat. Namun, amat disayangkan, sampai saat ini pula menuliskan sebanyak puluhan ribu sekolah: SD, SMP hingga SMA/sederajat belum memiliki perpustakaan. Jumlah tersebut dengan rincian; 50 persen SD, yakni 55.545, SMP 12.029 dan adapun pada jenjang SMA/SMK, 8.904, tidak memiliki ruang baca perpustakaan (Kompas, 8/10/2012). Padahal salah satu sarana penting untuk menumbuhkan minat baca adalah perpustakaan. Perpustakaan, adalah sarana standar yang harus ada untuk meningkatkan mutu pendidikan…. dan, pendidikan merupakan ukuran kemajuan sebuah bangsa. Kehidupan dewasa ini, semangat membaca pun “seakan pudar”, yang boleh jadi, ini salah satu sebab yang membawa efek negatif bagi kondisi psikologis para pelajar, mahasiswa. Akibatnya tawuran, sikap kekerasan serta anarkisme dan sebagainya, kerap terjadi di mana-mana. Dalam pada itu, kasus teroris (bom bunuh diri) yang tidak sedikit melibatkan para generasi muda, juga menjadi gejala hal tersebut. Minimnya, keberpihakan pihak-pihak terkait yang punya peran dan andil besar terhadap proyek pembinaan anak bangsa seutuhnya, jelas, mengindikasikan hal semacam itu. Berlawanan dengan cita-cita pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa  (bersambung).

Post a Comment

Previous Post Next Post