SAYA berada di Lombok Timur kemarin sekitar satu mingguan lebih. Selasa, (20/4) malam, setelah sholat Isya’, saya tiba-tiba kepikiran. “Wah sudah lama saya tidak mendapatkan undangan acara. Kalau ada yang ngundang, pingin juga hadir”.
Sebelum virus corona merebak, ada saja undangan diskusi, seminar, workshop atau pelatihan dari berbagai lembaga yang datang, baik sebagai pengembira, peserta atau pembicara. Kalau bulan puasa begini juga biasanya ada saja undangan buka puasa bersama.
Sejak virus itu muncul, sebagian besar waktu saya memang berada dirumah, baik di Lombok Timur maupun Lombok Barat. Keluar pun kalau ada urusan, kebutuhan dan kepentingan tertentu. Saya bisa hitung dengan jari beberapa kegiatan yang saya ikuti yang menuntut untuk keluar rumah.
Bulan puasa ini memang saya sedikit tidur malam. Saya baru tidur setelah sholat subuh. Nanti bangunnya sekitar jam 8 atau jam 9 pagi. Rabu, (21/4) lalu setelah bangun saya melihat dan mengecek whatshap (WA). Ada masuk satu WA yang tidak ada namanya.
Dia nanya kabar, pernalkan nama dan dari instansinya. Ya, saya inget - ia teman lama yang dulu datang memewawancarai saya dan mengundang hadir laporan tahunan instansinya. Ia sudah lama tidak bertemu dan ngundang.
Setelah pesannya saya jawab, ia lalu menelpon untuk meminta kesediaan hadirnya diacara Facus Group Discution (FGD) yang ia adakan. “Acaranya besok, dua hari. Dari Kamis sampai Jum’at” katanya. Selain karena isu yang akan dibahas memang konsen saya beberapa tahun belakangan ini, beberapa kali terlibat dipenyusunan dan hadir pada launcing hasilnya disebuah hotel di Mataram – undangannya itu pun saya sanggupi.
Cuma bedanya tahun ini FGD diadakan secara daring (online) dengan peserta terbatas via zoom. Kalau tahun-tahun sebelumnya FGD tersebut biasanya diadakan di hotel dengan peserta yang banyak dan beragam perwakilan instansi, ormas, media massa dan lembaga sosial masyarakat. Tim penyusunnya biasanya juga datang wawancara dan minta data.
Mendapat undangan FGD dari teman itu, saya langsung inget permintaan (request) yang saya sampaikan setelah selesai sholat Isya’ itu. “Pingin diundang acara”. Cepat sekali datang permintaan itu. Istilah anak mudanya, “tak pakai lama (TPL)”.Tidak sampai 24 jam.
Saya tidak perlu menyebut nama instansi yang mengundang saya itu disini. Beberapa teman yang tahu saya mengikuti acara itu tahu nama instansi itu. Mereka tahu dan melihat saya mengikuti acara tersebut. Tapi mungkin tidak tahu proses apa yang terjadi sebelum acara itu. Kalau baca tulisan ini mungkin ia senyum-senyum saja.
Kalau menggunakan logika (pikiran) sadar, kejadian yang saya alami dan lakukan diatas mungkin dianggap tidak ada hubungannya atau dianggap kebetulan saja. Tidak ada istilahnya menggunakan pikiran yang sifatnya abstrak bisa menarek apa lagi memesan undangan. Itu hasil hayalan dan imaginasi saja.
Namun bagi orang yang mengerti ilmu menggunakan pikiran, kajadian seperti itu hal biasa yang sering dialami oleh banyak orang. Itu bukan kejadian luar biasa atau keajaiban yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang biasa seperti kita. Dan tidak ada peristiwa kebetulan bagi orang yang mengerti atau mengenal cara pikiran bekerja.
Lisa Nicholas, salah seorang penulis buku, Chicken Soup For The African American Soul dan direktur Motivating The Masses And Motivating The Teen Spirit mengatakan, “Apa yang Anda pikirkan adalah apa yang anda wujudkan. Seluruh hidup Anda adalah perwujudan dari pikiran-pikiran yang berlangsung dalam benak Anda” kata perempuan kelahiran Los Angeles, California, AS ini.
Makanya John Assaraf, seorang pengarang, pembicara dan penasehat bisnis kelahiran Tel Aviv, Israil mengkritik orang yang selalu membicarakan hal-hal yang tidak ia inginkan dari pada membicara apa yang ia inginkan. “Masalahnya kebanyakan orang memikirkan apa yang tidak mereka inginkan, dan mereka bertanya-tanya mengapa hal-hal yang tidak mereka inginkan itu terus bermunculan” kata John Assaraf yang banyak menulis buku bagaimana mewujudkan impian.
Dalam buku The Secret, Rhonda Byrne, penulis buku itu menguraikan penjelasan Lisa Nicholas dan John Assaraf yang menyinggung satu-satunya penyebab mengapa orang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan karena mereka terjangkiti ‘wabah tidak ingin’. Ciri orang yang kena wabah ini menurut Byrne, “mereka lebih memikirkan apa yang tidak mereka inginkan dari pada apa yang mereka inginkan”. Mereka berpikir, berbicara, bertindak dan fokus pada apa yang ‘tidak mereka inginkan’.
Bagi Byrne, ‘pikiran tidak ingin’ itu ibarat virus penganggu, penolak dan penghalang terealisasinya keinginan. Untuk itu wabah (virus) itu sebelum menyebar kemanamana, harus dihilanhkan terlebih dahulu. Coba kita cermati, itu sering kita alami - banyak keinginan kita yang sulit sekali terealisasi atau terwujud. Padahal kalau kita bandingkan dengan saudara, sahabat atau orang lain yang kita perhatikan sepertinya mudah ia mendapatkan apa yang diinginkan. Ia juga terlihat santai dan tenang menjalankan aktivitas sehari-hari.
Di sinilah sekali lagi pentingnya kita melihat diri kita ke dalam, mencermati pikiran-pikiran kita, mengoreksi atau memahami diri kita. Jangan-jangan memang masih ada bental block yang masih menghalangi atau menghambat sehingga apa yang kita inginkan itu sulit sekali tercapai. Kalau kesehatan fisiknya saja perlu dicek, pikiran dan mental juga perlu dicek dan lakukan pemeriksaan secara rutin agar kesehatan pikiran terjaga dan terkontrol.[]
Sebelum virus corona merebak, ada saja undangan diskusi, seminar, workshop atau pelatihan dari berbagai lembaga yang datang, baik sebagai pengembira, peserta atau pembicara. Kalau bulan puasa begini juga biasanya ada saja undangan buka puasa bersama.
Sejak virus itu muncul, sebagian besar waktu saya memang berada dirumah, baik di Lombok Timur maupun Lombok Barat. Keluar pun kalau ada urusan, kebutuhan dan kepentingan tertentu. Saya bisa hitung dengan jari beberapa kegiatan yang saya ikuti yang menuntut untuk keluar rumah.
Bulan puasa ini memang saya sedikit tidur malam. Saya baru tidur setelah sholat subuh. Nanti bangunnya sekitar jam 8 atau jam 9 pagi. Rabu, (21/4) lalu setelah bangun saya melihat dan mengecek whatshap (WA). Ada masuk satu WA yang tidak ada namanya.
Dia nanya kabar, pernalkan nama dan dari instansinya. Ya, saya inget - ia teman lama yang dulu datang memewawancarai saya dan mengundang hadir laporan tahunan instansinya. Ia sudah lama tidak bertemu dan ngundang.
Setelah pesannya saya jawab, ia lalu menelpon untuk meminta kesediaan hadirnya diacara Facus Group Discution (FGD) yang ia adakan. “Acaranya besok, dua hari. Dari Kamis sampai Jum’at” katanya. Selain karena isu yang akan dibahas memang konsen saya beberapa tahun belakangan ini, beberapa kali terlibat dipenyusunan dan hadir pada launcing hasilnya disebuah hotel di Mataram – undangannya itu pun saya sanggupi.
Cuma bedanya tahun ini FGD diadakan secara daring (online) dengan peserta terbatas via zoom. Kalau tahun-tahun sebelumnya FGD tersebut biasanya diadakan di hotel dengan peserta yang banyak dan beragam perwakilan instansi, ormas, media massa dan lembaga sosial masyarakat. Tim penyusunnya biasanya juga datang wawancara dan minta data.
Mendapat undangan FGD dari teman itu, saya langsung inget permintaan (request) yang saya sampaikan setelah selesai sholat Isya’ itu. “Pingin diundang acara”. Cepat sekali datang permintaan itu. Istilah anak mudanya, “tak pakai lama (TPL)”.Tidak sampai 24 jam.
Saya tidak perlu menyebut nama instansi yang mengundang saya itu disini. Beberapa teman yang tahu saya mengikuti acara itu tahu nama instansi itu. Mereka tahu dan melihat saya mengikuti acara tersebut. Tapi mungkin tidak tahu proses apa yang terjadi sebelum acara itu. Kalau baca tulisan ini mungkin ia senyum-senyum saja.
Kalau menggunakan logika (pikiran) sadar, kejadian yang saya alami dan lakukan diatas mungkin dianggap tidak ada hubungannya atau dianggap kebetulan saja. Tidak ada istilahnya menggunakan pikiran yang sifatnya abstrak bisa menarek apa lagi memesan undangan. Itu hasil hayalan dan imaginasi saja.
Namun bagi orang yang mengerti ilmu menggunakan pikiran, kajadian seperti itu hal biasa yang sering dialami oleh banyak orang. Itu bukan kejadian luar biasa atau keajaiban yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang biasa seperti kita. Dan tidak ada peristiwa kebetulan bagi orang yang mengerti atau mengenal cara pikiran bekerja.
Lisa Nicholas, salah seorang penulis buku, Chicken Soup For The African American Soul dan direktur Motivating The Masses And Motivating The Teen Spirit mengatakan, “Apa yang Anda pikirkan adalah apa yang anda wujudkan. Seluruh hidup Anda adalah perwujudan dari pikiran-pikiran yang berlangsung dalam benak Anda” kata perempuan kelahiran Los Angeles, California, AS ini.
Makanya John Assaraf, seorang pengarang, pembicara dan penasehat bisnis kelahiran Tel Aviv, Israil mengkritik orang yang selalu membicarakan hal-hal yang tidak ia inginkan dari pada membicara apa yang ia inginkan. “Masalahnya kebanyakan orang memikirkan apa yang tidak mereka inginkan, dan mereka bertanya-tanya mengapa hal-hal yang tidak mereka inginkan itu terus bermunculan” kata John Assaraf yang banyak menulis buku bagaimana mewujudkan impian.
Dalam buku The Secret, Rhonda Byrne, penulis buku itu menguraikan penjelasan Lisa Nicholas dan John Assaraf yang menyinggung satu-satunya penyebab mengapa orang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan karena mereka terjangkiti ‘wabah tidak ingin’. Ciri orang yang kena wabah ini menurut Byrne, “mereka lebih memikirkan apa yang tidak mereka inginkan dari pada apa yang mereka inginkan”. Mereka berpikir, berbicara, bertindak dan fokus pada apa yang ‘tidak mereka inginkan’.
Bagi Byrne, ‘pikiran tidak ingin’ itu ibarat virus penganggu, penolak dan penghalang terealisasinya keinginan. Untuk itu wabah (virus) itu sebelum menyebar kemanamana, harus dihilanhkan terlebih dahulu. Coba kita cermati, itu sering kita alami - banyak keinginan kita yang sulit sekali terealisasi atau terwujud. Padahal kalau kita bandingkan dengan saudara, sahabat atau orang lain yang kita perhatikan sepertinya mudah ia mendapatkan apa yang diinginkan. Ia juga terlihat santai dan tenang menjalankan aktivitas sehari-hari.
Di sinilah sekali lagi pentingnya kita melihat diri kita ke dalam, mencermati pikiran-pikiran kita, mengoreksi atau memahami diri kita. Jangan-jangan memang masih ada bental block yang masih menghalangi atau menghambat sehingga apa yang kita inginkan itu sulit sekali tercapai. Kalau kesehatan fisiknya saja perlu dicek, pikiran dan mental juga perlu dicek dan lakukan pemeriksaan secara rutin agar kesehatan pikiran terjaga dan terkontrol.[]
Post a Comment