Gus Dur, Pancasila dan Pribumisasi Islam

 


Ilustrasi, sempatbaca.com


Oleh : Syaiful Arif


Ketika propaganda pembenturan Islam dan Pancasila menyeruak pasca-Reformasi. Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang agama dan dasar negara, kembali relevan. Dalam rangka peringatan ke-11 tahun haul (30 Desember 2020) beliau, memahami pemikiran ini menjadi sangat penting.

Dalam sebuah makalah berjudul _Islam and Pancasila: Development of A Religious Political Doctrine in Indonesia_ yang disampaikan di sebuah seminar internasional di Seoul pada 1990. Gus Dur menawarkan perspektif radikal tentang Pancasila sebagai doktrin politik religius bagi bangsa Indonesia. Artinya, alih-alih membenturkan kedua hal tersebut. Gus Dur justru memahami Pancasila sebagai doktrin politik religius perspektif agama Islam. Bagaimana beliau sampai pada kesimpulan ini?

Untuk mencapai jawaban tersebut, kita harus bersifat historis, dengan berpijak pada akar keprihatinan paling awal dari pemikirannya. Akar keprihatinan itu pernah beliau sampaikan melalui tulisan bertajuk, _Islam, the State and Development in Indonesia_ di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1981. Penulis pikir, semua pemikiran Gus Dur selanjutnya, adalah uraian dari tulisan panjang berjumlah 30 halaman ini. 

Di dalam tulisan tersebut, Gus Dur melakukan pemetaan awal terhadap hubungan Islam, negara dan pembangunan. Tentu konteksnya ialah negara Orde Baru dalam kerangka pembangunanisme. Pemetaan tersebut lalu menghasilkan rumusan yang menarik. Yakni, hubungan antara ketiga elemen tersebut yang tidak bersifat alternatif, tidak pula suplementer, melainkan komplementer.

Alternatif artinya Islam ditawarkan sebagai pengganti sistem kenegaraan dan pembangunan. Sedangkan suplementer artinya Islam hanya dijadikan pelengkap bagi pembangunan. Yang pertama dikembangkan oleh kelompok Islam formalis yang mencitakan Negara Islam. Yang kedua dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam rangka Islam suplementer inilah, pesantren dijadikan instrumen pendukung pembangunan. Satu hal yang ditolak oleh Gus Dur.

Lalu apakah maksud Islam komplementer atas negara dan pembangunan? Menurut Gus Dur, Islam harus menjadi penyempurna bagi kedua hal tersebut. Mengapa? Karena Islam memiliki visi tersendiri atas negara dan pembangunan, yang bisa menyempurnakan (bukan menolak) sistem kenegaraan dan pembangunan modern. Bagaimana caranya?

Inilah yang mengantar kita pada jantung karakter Gus Dur sebagai seorang pemikir filsafat hukum Islam (ushul fiqh). Menurut Gus Dur, ushul fiqh adalah mutiara rasionalitas Islam. Inilah mengapa ketika di Pesantren Ciganjur yang beliau asuh, terdapat dua kitab babon ushul fiqh yang dikaji, yakni _al-Risalah karya Imam Syafi’i_, serta _al-Mustasfa_ karya Imam al-Ghazali. Kitab kedua menjadi kitab terakhir yang beliau ampu sebelum wafat pada 2009. 

Dalam pemikiran Gus Dur, visi utama Islam ialah agama kasih sayang. Visi ini diwujudkan melalui akidah dan dipraktikkan dalam bentuk syariah. Dialektika akidah dan syariah ini lalu melahirkan akhlak yang secara inheren bersifat sosial (etika sosial). Maka tujuan utama diturunkannya syariah (maqashid al-syari’ah) ialah perlindungan terhadap hak-hak asasiah manusia. Yakni perlindungan terhadap hak beragama, hak hidup, hak berpikir, hak keturunan dan hak properti. Menariknya, Gus Dur lalu memilih demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik yang mampu mewujudkan maqashid al-syari’ah tersebut. Bukan Negara Islam, karena bagi Gus Dur, yang terpenting dari negara bukanlah struktur negara, melainkan hubungan kekuasaan dan rakyat di dalam negara tersebut. Atau dalam bahasa sederhana, yang terpenting adalah fungsi negara dalam mewujudkan visi Islam. Bukan bentuk Negara Islam. 

Hal ini terjadi karena menurut Gus Dur, negara bukan tujuan (al-ghayah), melainkan sarana (al-wasilah). Selama sarana tersebut mampu mengantar kita pada tujuan. Maka bentuk dari sarana itu tidak lagi menjadi persoalan, selama sarana tidak mengkhianati tujuan. 


Sumber Inspiratif

Dalam konteks inilah, Islam bertemu dengan Pancasila. Menurut Gus Dur, “Islam menerangi kehidupan umat Muslim di Indonesia, melalui Pancasila. Untuk itu, Pancasila harus diuji, sejauhmana ia mampu mewujudkan nilai-nilai Islam. Hanya dengan cara ini, maka Pancasila tidak terhenti sebagai dasar negara, tetapi juga pandangan hidup bangsa” (Wahid, 1990:3).

Artinya, Islam adalah sumber yang menerangi kehidupan umat Muslim melalui Pancasila. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Karena dalam pandangan Gus Dur, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan cerminan dari tauhid, sehingga sila kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial tersinari oleh tauhid. Pemahaman sila ketuhanan sebagai cerminan tauhid ini beliau kuatkan melalui Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, 1983. 

Dalam kaitan ini, Gus Dur menempatkan Islam tidak sebagai satu-satunya sumber inspiratif bagi Pancasila. Sebagaimana Soekarno yang menawarkan Pancasila sebagai ide sintetis yang menyatukan Islamisme, nasionalisme dan sosialisme. Maka Gus Dur juga berpikiran serupa, dengan menempatkan Pancasila sebagai sintesa ideologi-ideologi dunia. Pada titik inilah Gus Dur melakukan apa yang dilakukan Soekarno, yakni pribumisasi ide-ide global ke ranah nasional. Dalam perspektif Gus Dur, pribumisasi tersebut dilakukannya hingga ke ranah lokal sehingga Islam membumi dengan budaya Nusantara.   

Keselarasan Budaya

Melalui metode ushul fiqh, Gus Dur melakukan pribumisasi Islam yang akhirnya melahirkan keselarasan antara Islam, budaya Nusantara dan bangunan kenegaraan Indonesia. Pancasila, NKRI dan demokrasi menjadi bagian dari bangunan kenegaraan tersebut. 

Pribumisasi Islam dilakukan Gus Dur tidak melalui metode di luar Islam, tetapi berdasarkan metodologi pembentukan hukum Islam (istinbat al-hukm). Sebab selain al-Qur’an dan hadist, terdapat kemaslahatan (al-maslahat) dan adat (‘urf) yang menjadi sumber bagi penerapan hukum. Kemaslahatan dan adat ini merupakan substansi dari kebudayaan, yang oleh Gus Dur dimaknai sebagai kehidupan sosial manusiawi (human social life). 

Di dalam Pancasila, kehidupan sosial manusiawi merujuk pada kondisi ideal Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang diperjuangkan melalui kebangsaan, demokrasi menuju keadilan sosial. Praksis kemanusiaan ini diterangi oleh ketuhanan, sebagaimana perintah Islam untuk memuliakan kemanusiaan dan membangun struktur masyarakat berkeadilan. Demi perjuangan keadilan ini, ketegangan antara Islam dan budaya lokal perlu dileraikan. Tidak dengan menghapus budaya tersebut, tetapi membiarkannya sebagai kewajaran hidup, selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Peleraian ketegangan agama dan budaya ini harus dilakukan, agar umat Islam tidak terjebak dalam perjuangan simbolik, baik dalam kerangka cita Negara Islam atau Arabisasi budaya Islam. 

Berbagai argumentasi Islam atas Pancasila, serta argumentasi Pancasila atas visi Islam inilah yang membuat Gus Dur menyebut Pancasila sebagai doktrin politik religius. Dengan demikian, antara Islam dan Pancasila bukan dua entitas berbeda. Melainkan kesatuan nilai yang saling menguatkan. 


Penulis: Syaiful Arif, adalah Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Alumni Pesantren Ciganjur, Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 29 Desember 2020)

Post a Comment

Previous Post Next Post