Ilustrasi, sempatbaca.com
Hanya kata kata yang tersisa dan kuandalkan. Semuanya bercampur dan terpecah pecah. Tak ada angan angan dan mimpi lagi (Life of Pi)
Sepenggal kutipan di atas saya kutip dari dialog aktor dalam film Life of Pi. Si aktor menulis kata kata itu dalam secarik kertas.
Belum tuntas, semua ia tulis, tiba-tiba angin badai dan gelombang menghempas Skoci. Kekagetan luar biasa membuat kertas itu lepas dari jemari tangannya. Tulisan dalam lembaran kertas terbang dibawa angin. Jatuh dan berlabuh bersama birunya air laut. Saya pikir, dia pasti berharap kertas yang ditulisnya itu kembali ke pangkuannya. Sayang, harapan tetap harapan.
Betul. Sungguh. Tak ada harapan lembaran kertas itu, bakal kembali kepangkuan, untuk ia lanjutkan tulisan yang sempat terhenti itu.
Life of Pi. Itulah judul filmnya. Dari film itu, saya mengutip kata/ungkapan yang bagiku begitu menghujam jiwa. Perasaan.
Kata kata memang kelewat sakti. Orang sedih, bisa menghapus sedih yang dialaminya dengan ‘kata-kata’. Orang senang, mengekspresikan rasa senangnya bisa dengan kata kata.
Rindu juga bisa terobati oleh kata-kata. Sayang juga dengan kata kata. Marah juga dengan kata kata. Kesal juga dengan kata kata. Kata katalah yang bisa mengekspresikan segalanya. Kata-kata lah yang bisa mengerti dan memahami apa yang dirasakan orang.
Sekilas, kita perhatikan, tampaknya, kalimat itu adalah luapan emosi klimaks ketika yang mengucapkannya berhadapan dengan kondisi yang entah ia tak mampu lagi mengucapkan kata dan kalimat. Atau ketika yang mengucapkannya sudah tak kuasa lagi, menahan sesuatu yang sedang bikin hatinya gelap, juga emosi yang tak kuasa dibendung.
Betapa saktinya (kata-kata). Bila kau rindu, ekspresikan kerinduanmu dengan kata kata. Sama halnya dengan kesedihan. Tulis saja apa yang ada dalam fikiran dan perasaan. Pendek kata, segala hal, dan apa yang kau alami bisa kau enyahkan secara perlahan bila kau mau menulis; kata. Iya, kata-kata
Life of Pi adalah sebuah novel petualangan fantasi yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama. Novel karya Yann Martel itu terbit pertama kali tahun 2001.
Piscine Molitor (Pi) Patel sebagai tokoh utamanya. Dalam film berlatar laut dan beberapa tempat, bocah ingusan asal India, Pondicherry, mengalami hal-hal berbau spiritualitas dan praktikalitas sejak di usia belia. Ia bertahan hidup selama 227 hari setelah bencana kapal di Samudra Pasifik bersama seekor harimau benggala bernama Richard Parker.
Sebelum terbit, novel ini disodorkan ke beberapa penerbit. Sayang, novel ini ditolak oleh sedikitnya lima penerbitan di London sebelum diterima oleh Knopf Kanada, yang menerbitkannya pada bulan September 2001. Edisi novel di Britania Raya memenangkan Man Booker Prize for Fiction pada tahun berikutnya. Novel ini juga masuk nominasi Canada Reads CBC Radio tahun 2003, yang dimenangkan oleh Nancy Lee. Terjemahan Perancisnya, L'histoire de Pi, masuk nominasi kontes tersebut versi Perancis, Le combat des livres yang dimenangkan oleh Louise Forestier. Novel ini memenangkan Boeke Prize, sebuah penghargaan novel Afrika Selatan, pada tahun 2003. Tahun 2004, novel ini memenangkan Asian/Pacific American Award for Literature untuk Fiksi Dewasa Terbaik tahun 2001–2003. Pada tahun 2012, novel ini diadaptasikan menjadi sebuah film fitur teater yang disutradarai Ang Lee dan dengan naskah karangan David Magee. Kira-kira begitu.
Sebagai penonton, saya jelas takjub menonton adegan demi adegan hingga cerita tuntas. Saking senang melototinya, berulang ulang kuputar melalui layar komputer. Sesekali saya mengajak si kecil, ikut nonton. Kuajak si kecil duduk di atas pangkuanku. Sesekali si kecil bertanya-tanya tentang gambar yang dilihatnya dalam film tersebut. Apa yang ditanyakannya pun kadang kujawab semampuku. Maklumlah, anak berumur di bawah tujuh tahun pertanyaannya aneh dan beragam. Anda pasti pernah merasakan seperti yang pernah kualami.
Berhadapan dengan si kecil, saya kadang kewalahan menjawab pertanyannya. Si kecil tak mau peduli apa yang ditanyakannya benar atau tidak. Logis atau tidak. Yang penting bertanya....bertanya dan terus melontarkan pertanyaan.
Ada banyak adegan-adegan yang kadang tak masuk diakal. Belum lagi view lautan yang luar biasa menarik yang tampak dalam film itu. Menggugah rasa. Sesekali aku menggumam, "Luar biasa dahsyat film ini".
Kembali ke cerita--saat badai datang menghempas Skoci seorang Pi. Betapa Pi, terseok-seok oleh desir angin dan gulungan ombak.
Aktor Pi seakan merana di tengah lautan. Ia hanya seorang diri. Kiri kanan, depan dan belakang berhadapan dengan lautan sepi nan sunyi. Pi seperti kehilangan harapan, tapi ternyata tidak. Penulis Ira D. Aini (2020) dalam tulisannya terkait film itu menulis: “Ada dua bahaya yang masih mengancam nyawa Pi. Pertama, ia harus berhadapan dengan ganasnya gelombang laut karena cuaca masih buruk dan tidak ada pertolongan untuk mencapai daratan. Kedua, ia harus tetap siaga karena di dalam sekocinya ada binatang buas seperti anjing hutan dan Richard Parker. Saat itu, Pi merasa sangat frustasi, ketika menyaksikan anjing hutan bertarung, mencakar-cakar zebra dan orange jus dalam goncangan gelombang laut sehingga mereka semua mati”.
Banyak yang menggugah perasaanku pada kejadian demi kejadian dalam film itu. Kren memang. Salah satu yang menggugah juga ketika Pi menulis, "Hanya kata kata yang tersisa dan kuandalkan. Semuanya bercampur dan terpecah pecah. Tak ada angan angan dan mimpi lagi".
Pada tanggal 21 Juni 1977, kapal barang Tsimtsum berlayar dari Madras menuju Canasa. Pada tanggal 2 Juli, kapal itu tenggelam di Samudra Pasifik. Hanya satu sekoci berhasil diturunkan, membawa penumpang seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seekor orang-utan betina, seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kilogram dan Pi-anak lelaki India berusia 16 tahun. Selama lebih dari tujuh bulan sekoci itu terombang-ambing di Samudra Pasifik yang biru dan ganas. Di samudra inilah sebagian Kisah Pi berlangsung. Kisah yang luar biasa, penuh keajaiban, dan seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat orang percaya pada Tuhan.
Luar biasa film itu. Andai saja itu bukan alam rekaan, betapa naas nasib sang pria. Tak ada penyelamat tunggal kecuali Tuhan, jika orang berbulan-berbulan berada di tengah lautan yang sepi lagi mencekam.
Betapa mengerikan ujian yang dihadapi Pi dalam film itu. Jauh mengerikan ketimbang fenomena Lockdown musabbab pandemi Covid-19 saat ini.
Pandemi Covid-19 belumlah seberapa. Toh juga banyak yang senang dengan Pandemi Covid-19 ini; lebih-lebih yang memegang kendali proyek dalam penanganan corona ini. Kok senang?
Iya. Pasalnya banyak bantuan untuk masyarakat yang disunat. Kucuran dana, mengucur deras bagi para pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dengan penanganan Covid-19.
Kalau masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah dan bekerja serabutan tentu sangat terpukul dengan dampak Covid-19. Banyak karyawan-karyawan yang di-PHK. Banyak para pekerja mogok kerja. Pendek kata, aktivitas sosial ekonomi hampir mati total 'lumpuh'.
Aktivitas ibadah juga seakan terhenti. Tak lain, sebab kondisi yang memungkinkan kehadiran (kerumunan) banyak orang.
Situasi dan kondisi dibatasi. Ragam opini menguak seperti air tumpah dari bejana. Kritik (pro-kontra) bermunculan. Bahkan masyarakat saling hujat sana-sini. Mana benar, mana salah tak bisa dibedakan. Semua campur aduk. Sesekali dipikirkan; ngeri memang. Pendek kata, tak bisa teruraikan kata-kata. Dan kata-katalah yang bisa mengekspresikan segala sesuatu. Sesuatu yang memungkinkan kita kadang tak mampu berbuat apa-apa.
Kata-kata memang kelewat sakti.
Penulis : Mashur, MS
Penjual Madu
Post a Comment