By: EL-NIZAM*)
SempatBaca.com- Saya
menikmati betul Minggu pertama bulan November. Sebab, kesibukan di kampus UNU, dan
organisasi Lakpesdam NU tak begitu padat. Sama halnya di Inisiatif Institut,
sebuah lembaga yang saya kelola, juga begitu, tak ada hal mendesak yang harus segera
diselesaikan. Jadi saya merasa lebih enjoy. Waktu senggang sebiasa mungkin saya
nikmati.
Bagi
yang sehari-harinya sibuk, tentu jeda dari kesibukan sangat berarti. Saya pun
begitu.
Akhirnya,
niat sedari awal nonton Liga RT yang digelar di kampung, membuat saya tak
sabaran.
Tibalah
hari Minggu (08/11). Sore harinya, selepas sholat saya bergegas agar bisa duduk
paling depan nonton sepak bola.
Bicara
sepak bola, saya memang hobi sejak dulu. Saking hobinya, bukan hanya mencoba jadi
pemain, dengan beberapa teman saat duduk di SMA— saya juga, urunan ‘uang’ biar
bisa beli majalah/koran sepak bola tiap minggu. Kami pun dengan begitu tak
pernah ketinggalan informasi seputar dunia sepak bola.
Saya
membaur, ikut menyaksikan laga. Yang tarung, kata teman dudukku sebelah; BAJANK
MAKO vs BELABOR TEMBUKU. Sembari menggendong si kecil, Orliniza, saya
memilah-pilah tempat duduk yang agak teduh. “Biar lebih asyik nonton,”pikirku.
Kutengok
kiri kanan, beragam spanduk dan baliho terlihat ramai. Ini isyarat, kompetisi
ini digarap serius. Panitia tampaknya tidak terlalu kesulitan mengeksekusi
event semacam itu. Mereka kelihatannya sudah terlatih. Pun kemudian tak perlu susah
payah bagaimana memanaj kegiatan.
Sembari
itu, mataku terus mencerajau hingga ke ujung selatan, dari Barat ke Timur, tak
kulihat baliho yang memamerkan gambar Kepala Desa, si raja kecil di tingkat desa
(meminjam istilah Usman Kusmana; penulis kompasiana.com). Saya pikir sayang
sekali jika sekedar spanduk/baliho—si raja kecil tak ambil jatah space untuk dibentangkan di sekitar
arena kompetisi sepak bola itu, biar wajah dan seragam kebesarannya terlihat. Apa
untungnya?
Saya
pikir, jelas untung. Di satu sisi, itu sebagai bentuk support terhadap para Pegila
sepak bola (baik tua dan muda). Di sisi lain, sebagai modal CAPER jika beberapa
tahun lagi, hendak mencalonkan diri merebut tampuk kekuasaan ‘desa’. Juga sebagai
modal bagus dia, jika hendak melenggang
agar bisa duduk manis, di gedung DPR di Giri Menang sana.
Intinya, paling tidak liga RT ini bisa membuat warga senang, bahagia. terlebih di tengah pandemi yang telah membuat aktivitas mayarakat terbelenggu.
Atau jangan-jangan si panitia tak punya restu menggelar kegiatan itu? Ah sudahlah itu urusan mereka. Intinya, kompetisi liga RT, ini sudah berjalan dan bisa bikin masyarakat happy. Gembira. Terlebih di tengah Pandemi yang sekian bulan menyiksa. “Intinya kan masyarakat happy. Bisa senang dan gembira,” bisik salah seorang kawan dua hari lalu.
Sepak Bola sebagai Gereget Ukhuwah
Tidak
seperti cabang olahraga lain, sepak bola memang punya daya magnetis cukup kuat.
Sepak bola bisa dikata bak sihir,
yang begitu kuat untuk mempersatukan dan mampu menghadirkan banyak orang.
Tak
heran, hampir seluruh warga; mulai dari anak-anak hingga orang tua, tumpah ruah
di arena kompetisi yang digelar anak-anak muda kreatif di salah satu dusun di
kecamatan Batulayar, tepatnya dusun Teloke.
Puluhan
hingga ratusan anak muda, laki-perempuan. Mereka rela datang ke stadion entah
berentah (sampai sekarang tak punya nama) untuk menyaksikan Club kesayangannya
masing-masing.
Sihir
sepak bola yang bisa menghadirkan banyak orang, tentu sangat potensial dimanfaatkan
agar greget ukhuwah antar sesama kian erat. Dengan potensi greget ukhuwah yang begitu melebar, sudah sepantasnya, kompetisi
sepak bola, bukan menjadi ajang adu otot, melainkan ajang silaturahmi, uji
nyali dan upaya memperkuat persatuan dan kesatuan.
Bukankah
sayang, jika kompetisi Liga RT yang jauh sebelumnya dirancang untuk
menggairahkan olahraga dan mempererat persatuan dan kesatuan antar warga, malah kian memperkeruh suasana dan menimbulkan sekat-sekat persaudaraan???
Permainan sepak bola, bukan permainan senang-senang belaka. Dari permainan sepak bola, kita harus belajar…dan belajar tentang banyak hal kehidupan
Saya
pikir semua sepakat bahwa kita tak ingin menimbulkan kericuhan dan ketegangan dari
hanya sekedar permainan sepak bola. Toh bertengkar juga tidak ada manfaatnya. Sebaliknya,
kerugian demi kerugianlah yang akan kita dapat. Lalu, apalagi yang kita andalkan
di desa yang kita cintai ini, selain, semangat ukhuwah (persaudaraan). Kita tak
ingin kehilangan lagi hal-hal berharga yang harus kita junjung tinggi, seperti:
semangat gotong royong, sikap simpati dan empati. Juga sikap-sikap positif lain
yang harus kita semaikan dalam hiup yang sebentar ini. Cukuplah kita kehilangan pantai, kehilangan
beberapa dusun yang sebenarnya sangat potensial untuk kita kembangkan bersama
demi kemaslahatan warga dan masyarakat. Anda tahu tidak: hanya Batulayar Induk saja
yang sudah banyak kehilangan asset-aset berharga yang semestinya milik kita dan
harus kita kembangkan agar punya nilai ekonomi. Apa yang mau kita tinggalkan
pada anak-anak cucu kita? Nah itulah yang harus kita ingat dan camkan
baik-baik.
Permainan sepak bola, bukan permainan
senang-senang belaka. Dari permainan sepak bola, kita harus
belajar…dan belajar tentang banyak hal. Alm Gus Dur, pernah bilang, kurang
lebih begini: “Sepakbola merupakan bagian kehidupan. Banyak hal tentang
kehiudpan yang bisa memperkaya diri kita”.
Menarik juga apa yang diungkapkan Rizal Mumazziq
(2018) ikhwal sepak bola. ia bilang, “Perkara si kulit bulat
yang selama ini kita pahami sebatas permainan-olahraga yang terpopuler nyatanya
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri.
Keseruan Pertandingan Sore Itu
Yang
dukung Club Bajank Mako
bersorak sorai. Gemuruh sorak sorai datang dari berbagai penjuru. Teriakan demi
teriakan di belakangku pun memekikkan telinga.
Pekik
para suporter dari Club Belabur juga begitu. Tak mau kalah. Tak hanya adu
taktik dan perang strategi dua Club di liga RT yang digelar Para PEGILA SEPAK
BOLA di dusun Teloke itu-- tapi juga perang suara masing masing Club pendukung,
saling sahut, berseliweran. Situasi tegang pun merasuk hingga ke jantung, ulu
hati.
BACA JUGA :Jangan Rusak Agama dan Harga Diri, Gegara Jual-Beli?
Saya
pikir situasi demikian, tak kalah menegangkan pengalaman,) saat pasangan
penganten menghadapi adegan the first night (malam pertama).hehe..wikwkkk.
Masing-masing
Club yang tarung tadi sore optimis menang. Sayangnya, dalam aturan persepak
Bola-an tak boleh ada dua Club yang sama-sama bertarung, dimenangkan bersamaan.
Harus ada salah satu Club yang tumbang. Salah satu dari meraka, Anda tahu:
harus jujur ngaku kalah.
Pertandingan
berlangsung seru. Skor 1-1 masih bertahan imbang hingga menit-menit terakhir.
Tak pelak adu finalti pun harus menjadi ajang pembuktian, siapa kalah siapa
menang?.
Yang
menang, ternyata Club Belabur Tembuku. Supporter Club Bajank Mako terpukul.
Saya merasakan hati mereka pasti seperti diiris duri sembilu. Sementara Club
Belabur, jingkrak jingkrak, loncat, dan teriak mengekspresikan kemenangan.
Melihat itu, hatiku pun spontan seakan hanyut di lautan asmara dan taman
dipenuh bunga-bunga.
Di
mana saja kompetisi digelar, menang-kalah itu kepastian. Sama pastinya dengan
'kematian'. Tapi yang perlu diingat: tak ada pemenang abadi. Kalah-menang itu
bergantian. Hari ini anda boleh menang, tapi suatu saat anda pasti takluk.
Sebaliknya begitu.
Olahraga
sepak bola full inspiring. Kita bisa belajar tentang kehidupan, dari salah satu
jenis olahraga ini. Banyak hal menarik. Banyak hal yang menginspirasi. Tinggal
kita, mau atau tidak memetik hikmah.
Oh
ya, yang menang jangan terlalu Jumawa. Yang kalah: tak baik larut dalam
kesedihan. Ayo semangat. Jadilah pejuang, juga petarung sejati.
Anda tahu: mental petarung (sejati) itu sangat dibutuhkan pada saat ini dan di masa masa yang akan datang. Di mana situasi dan kondisi hidup di saat itu, kian penuh dengan kemelut yang tak berkesudahan.
Akhirul kalam, siapapun pemenangnya saat final nanti, semoga sepak bola menjadi alat dan kekuatan kita semua untuk bersatu. Semoga melalui kompetisi hari ini, kelak di masa yang akan datang, lahir pesepak bola handal. Selamat hari Pahlawan.
*) Penulis berkhidmat di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB dan Lembaga Inisiatif Lombok
Post a Comment