SempatBaca.com-
Belakangan kondisi cuaca tidak menentu. Hari ini kita berharap hujan turun, eh
tahu-tahunya malah cuaca panas. Besok berharap cerah, sebaliknya malah hujan
turun begitu lebat. Tak berlebihan sekiranya, kita bilang, mendung pun tidak
terlihat, begitu saja, air hujan berjatuhan.
Tidak
ada yang tak beresiko dalam hidup ini. Tiap pilihan ada resiko sendiri-sendiri.
Kalau
jarang hujan, penjual es pasti senang. Dagangan lebih laris. Beda jika hujan setiap
hari, pasti penghasilan penjual es dan berbagai jenis usaha yang punya
kemiripan, turun seret.
Yang untung kalau konisi lebih diominasi musim hujan (hujan lebih sering turun), contohnya penjual mie ayam, bakso dan lainnya. Orang kan sukanya yang makan atau menikmati sajian makanan yang hangat-hangat. Saya seringkali terjebak dengan kondisi itu, hingga kadang terpaksa beli. Pilihan harga, tentunya sesuai isi kantong; Rp. 5.000 hingga 10.000. Kondisi itu yang bikin dagangan yang jualan lebih laris.
Bisakah Jual-Beli, Merusak Agama dan Harga Diri? Tentu saja, jika kalian berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agama, bukan hanya agama yang kalian rusak, tetapi juga harga diri.
Kalau
jaringan internet sering terganggu, yang jualan online pastinya gelisah. Omset
bisa turun lantaran gangguan jaringan. Yang senang, yang punya duit cukup untuk
sekedar makan. Sebab uang yang lazimnya memaksa mereka harus beli kuota dan
yang lain, bisa menyisihkan uang kuota ke hal-hal yang lebih penting; misalnya uang
sekolah, belanja dapur dan sebagainya.
Begitulah
seterusnya. Problem ada di kita masing-masing. Saya juga begitu, lantaran kondisi
iklim yang tak menentu itu. Atau hujan lebih sering turun, beberapa bulan ini
tak pernah lagi ngangkut sekaligus panen kelapa. Persoalannya, bukan hasil
panen, menurun, tetapi masalah buruh, pekerja. Pasalnya, para buruh pemanjat
kelapa, sering geleng-geleng kalau diminta manjat saat musim-musim hujan begini.
Saya sich paham itu. Sebab, taruhannya, adalah nyawa. Pohon kelapa, kalau musim
hujan, pohonnya licin bak belut. Kata si pemanjat, “licin. Bahaya. Gak berani
kita. Nyawa taruhannya”. Mendengar ketakutan yang dilontarkan rekan-rekan
buruh, saya pribadi, orang tua juga: tentu tak mau ambil resiko berbahaya itu.
Itu
contoh kecil. Problem yang lain banyak dialami para pelaku usaha, UMKM dan
lainnnya. di tengah situasi pandemi karena ulah Covid-19. Mereka harus berpikir
seribu kali untuk melepas dana untuk investasi. Yang paling negeri, di hampir
semua kawasan pariwisata, para pekerja dan karyawannya hampir habis di-PHK. Pedagang
di sektor informal, para vendors dan yang lain juga harus gigit jari, bahkan
sebagiannya terpaksa gulung tikar.
Sejuta
problem semesta di atas dibicarakan dalam ekonomi, iya: ilmu ekonomi. Ekonomi?
iya kita bicara bagaimana seluk beluk dan dinamika dalam upaya pemenuhan
kebutuhan hidup dan yang berkenaan dengannya dalam kehidupan ini.
Islam sebagai agama sempurna, punya aturan. Ajaran Islam kemudian menjadi semacam rambu-rambu ‘lalu lintas’. Dengan kata lain, ada waktu kapan seseorang boleh jalan dan kapan berhenti.
Jangan Rusak Agama dan Harga Diri. Jaga Agama dan Harga Diri, setidaknya melalui aktivitas social ekonomi kita sehari-hari.
Hal
di atas sebagai isyarat, bahwa dalam aktivitas sosial ekonomi, ada yang boleh
dan sah sah saja dilakukan sekaligus dilarang agama. Yang dibolehkan saya pikir
jelas. Begitu juga yang tidak diperbolehkan ajaran agama. Imam Malik. ra,
menulis dalam kitabnya Arbain Nawawi,hadist
ke-VI “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, perkara yang haram juga
jelas….” (HR. Bukhari dan Imam Muslim).
Anda
untung banyak, tapi di atas penderitaan orang, itu saya pikir keji. Anda
mencuri, apalagi. Kejinya tak ketulungan. Anda ceramahi orang tentang etika,
moral, tapi pada saat yang sama, usai ceramah anda baru saja nilep uang yang
tak jelas asal dan sumbernya. Bahkan kadang baru saja, meraup untung banyak,
tetapi rekan pembelinya, kesel, marah-marah dan sangat kecewa karena merasa
tertipu, lantaran barang yang diterimanya, jauh bumi dan langit. Intinya tak
sesuai.
BACA JUGA : Ekonomi RI Lebih Buruk dari Perkiraan Jokowi, Ekonom Tak Menduga Sedalam Ini
Ajaran
Islam tentang ekonomi itu sederhana. (I): inputnya jelas. Tidak mengandung
subhat dan gharar. (P):. Prosesnya sesuai aturan dan dapat dibenarkan. Bukan
pembenaran. (O): Outputnya jelas.
Kalau
ada yang tidak jelas, salah satunya, entah I atau P dan mungkin juga O,
kesimpulannya pun sudah terjawab. Inilah yang disinyalir Imam Malik, ia
melanjutkan sebagai penegasan (lanjutan hadist di atas), “Tetap di antara keduanya,
terdapat hal-hal yang masih samar-samar dan banyak sekali orang tidak
mengetahuinya. Maka, lanjut Imam Malik, barang siapa yang memelihara diri dari
hal-hal yang samar itu berarti telah membersihkan agamanya dan harga dirinya”.
Kalau
mencermati seksama, ungkapan yang mulia Imam Malik itu, maka, jika kita
bersikap abai, bersikap tahu, tapi pura-pura tidak tahu, maka seseorang yang demikian
itu, seakan tidak punya harga diri sama sekali. Kata lainnya, seakan kita
merendahkan diri. Boleh jadi, kita lebih rendah dari binatang. Naudzubillah.
Mudah
mudahan kita terus berproses untuk hidup sesuai ajaran agama.
*) Penulis berkhidmat di UNU NTB dan Pengelola Lembaga Kajian Masyarakat Inisiatif Lombok (LKM-INISIAL)
Post a Comment