Media dan Perubahan di Sekitar Kita




SempatBaca.com-Suatu hari, saya mengambil gambar (foto), di salah satu lokasi, di jalan Mataram. Saya pikir, lokasi foto saya ngambil gambar, mungkin tak asing bagi ribuan warga Mataram. Gambar itu, semacam Lapak (tetapi berbeda dengan lapak ‘jualan’ pada umumnya). Lapak itu difungsikan sebagai tempat memajang Koran/majalah.

Bagi warga Mataram dan ribuan orang yang lewat setiap hari di sana - perubahan fungsi tempat memajang koran, majalah dan tabloid - terutama koran Lombok Post (Jawa Post), telah disulap menjadi tempat lapak (jualan masker). Tersirat pesan, Lapak itu menunjukkan perubahan sekaligus perkembangan: bahan barang jualan pedagang kaki lima dari koran ke masker. Saya sendiri sering beli majalah, koran dan tabloid di lampu merah itu.

Lapak yang dulu difungsikan untuk tempat pajangan koran/majalah, kini telah berubah
sebagai tempat untuk menjual masker (foto:dok yusuf-tanthowi)

Bukan kah masker dibutuhkan banyak orang kala pandemi yang belum reda sampai sekarang. Sementara koran, majalah atau tabloid saat ini bukan menjadi kebutuhan semua orang. Orang malah bisa setiap detik mengakses berita dari media online hanya melalui genggaman. Para pedagang kaki lima itu tentu ingin mendapatkan keuntungan dari barang yang dibutuh banyak orang.


Beda saat lima hingga sepuluh tahun lalu--untuk mengakses informasi kita masih mengandalkan berita media lokal. Tidak cukup dibaca, bahkan kita kliping. Wartawan dan media lokal bahkan bisa menjadi mitra strategis untuk mendorong wacana publik bahkan advokasi kasus-kasus tertentu.

Kalau pedagang masker itu menggantung barang dagangannya pada alat yang disediakan perusahaan penerbit koran Lombok Post menunjukkan sikap adaptifnya terhadap perubahan yang sedang terjadi disekitarnya. Akibatnya perusahaan penerbit koran tidak dapat lagi memajang produknya disana, malah dipakai oleh produk lain meski ada tulisan Lombok Post.

Perubahan orientasi dari media cetak ke media digital sebenarnya sudah cukup lama dimulai. Pandemi yang muncul pertama kali dari Cina akhir tahun 2020 itu mempercepat perubahan itu. Kini perubahan itu kian terasa dan nyata didepan mata kita. Setiap hari pembaca media cetak makin tergerus dan berkurang.

Kalau untuk wilayah Mataram dan daerah-daerah lain di NTB, langganan utama koran cetak hanya bertumpu pada kantor dan instansi pemerintah. Pada kondisi seperti ini tentu agak susah mengatur energi menjadi media yang kritis dengan pemerintah daerah yang membawahi instansi/kantor.

Beda saat lima hingga sepuluh tahun lalu--untuk mengakses informasi kita masih mengandalkan berita media lokal. Tidak cukup dibaca, bahkan kita kliping. Wartawan dan media lokal bahkan bisa menjadi mitra strategis untuk mendorong wacana publik bahkan advokasi kasus-kasus tertentu.

Sekarang banyak wartawan yang bekerja di media cetak tertentu membuat media online sendiri. Selain menyikapi perubahan orientasi dan platform media yang berubah, mereka juga beralasan bisa menulis secara bebas dimedianya sendiri. Tanpa ada yang mengatur dan mengarahkan apa yang mau ditulis. Tentu saja ia juga bisa melihat jumlah pembaca medianya setiap detik.

Sebagian lagi membuat media online sendiri karena bisa mengakses dana realise berita dari berbagai instansi pemerintah dan perusahaan didaerah. Setelah terdaftar dibagian humas, mereka tinggal menunjukkan bukti berita press realase dari pemerintah daerah dimedia online mereka lalu diganti sebagai uang publikasi.

Kondisi itu tentu saja mengurangi buget iklan pemerintah daerah yang masuk ke perusahaan media cetak lokal. Kalau dulu uang publikasi masuk ke perusahaan, wartawan sekian persen sekarang semua masuk kekantong wartawan. Padahal wartawan bersangkutan hanya duduk-duduk di rumah tanpa perlu keluar rumah untuk wawancara. Bahan berita dari press realase berbagai kegiatan dinas-dinas tinggal buka email dan whatsap.

Kalau dulu media cetak menjadi salah satu aktor untuk mendorong perubahan sosial, politik, pendidikan, agama ditengah masyarakat, sekarang media cetak sendiri yang dikikis oleh perubahan itu sendiri. Sekarang peran itu diambil alih oleh media sosial dan online. Kini orang yang menguasai strategi media sosial dan algoritma lah yang menentukan arah percakapan dan perbincangan media online.

BACA JUGA : Amaq Dahri dan Kenangan Selaku Santri Tuan Guru Abhar Pagutan

Inilah beberapa gejala perubahan yang terjadi di sekitar media cetak dan online. Tentu saja banyak tanda - tanda perubahan lain yang tidak terungkap di sini. Bagaimana menghadapi perubahan - perubahan itu saya rasa pedagang kaki lima di lampu merah itu menyikapi suasana pandemi itu dengan mengganti dagangannya dari semula koran menjadi masker.

Itulah salah satu pelajaran untuk adaptif di tengah suasana pandemi yang merubah banyak hal secara cepat dan radikal.[]

YUSUF TANTHOWI, adalah Aktivis NU. Dan Penyuka Kuliner

 

Post a Comment

Previous Post Next Post