Cerpen-Orliniza

 



 

PEREMPUAN bunting, kerap jadi bahan gunjingan dukun-dukun. Materi pergunjingan, sepele: kelak mereka melahirkan bayi laki atau perempuan? 

Benar saja, kali ini istriku kena batunya. Ia jadi buah bibir dukun sekampung. Saat perut tambah buncit, gunjingan itu menusuk kuping. Tak lain yang dipergunjingkan: kalau bukan jenis kelamin bayi, laki atau perempuan?  Prediksi ini-itu tersiar cepat. Hampir mirip berita di radio.

Nah, gunjingan tertuju ke istriku, dukun-dukun usil itu kebanyakan bilang, istriku akan melahirkan bayi laki. Bukan perempuan.

Entah mengapa para dukun tua di kampung banyak cincong. Harus repot. Mulut ikutan sewot tentang kelamin bayi calon anakku. Untuk apa mereka sibuk melakukan ritual—semedi, siang-malam. Lewat itu semua, katanya, kelamin bayi apa laki atau perempuan bisa diterawang? Apa mereka sedang adu ilmu. Mana kuat, mana lemah, untuk layak disebut dukun papan atas?.

Adalah Papuq¹ Ipin­­. Usianya kini 80 tahun. Jalannya  bongkok seperti seorang yang tak kuasa menahan perih, sakit, dalam tubuhnya. Telah ritual dua hari dua malam. Juga mengaku dihampiri lewat mimpi. Katanya, aku melihatmu diberi seekor gegaok² jantan. Pertanda, bayi yang dilahirkan istrimu: Lelaki. Persis, Tukang Pos, Papuq Ipin hanya melepas pesan itu ke Abah, tanpa pernah tatap muka, cerita padaku.

Dukun sakti berikutnya, Papuq Eyok. Betapa beruntungnya nenek yang satu ini diberi umur panjang Tuhan, hingga seratus tahun. Ia bilang bayi yang dilahirkan istriku sebentar lagi: laki. Nenek yang di dalam mulutnya sesak oleh susur tembakau, kian membuat pipinya lebih menonjol ke depan. Meski begitu, lipatan bibirnya begitu merah, serupa saos Tomat. Mungin pas muda dulu, ia rebutan pemuda di kampungnya. Dia, dukun sepuh. Sampai saat ini, papuq Eyok tak pernah salah prediksi. Tebakan, juga dugaannya sekalipun tak keliru, bagai pemanah kaliber sasaran tembaknya tak pernah meleset. “Tak kurang dari seribu ibu hamil pernah minta petuah padanya tentang kelamin bayi, selalu benar,” begitu cerita istriku.

Lain dua dukun tadi, lain pula yang disampaikan Amak Cembun. Sapaan Amaq Cembun lebih dikenal, ketimbang papuq Cembun. Musabbab ia tergolong dukun muda. Ohhh…. ternyata ada semacam tingkatan dalam perdukunan: mana dukun tua, sepuh.hehe.

Ia punya anggapan beda dengan ketiga dukun lainnya (Ipin, Eyok, Mahenep). Meski Amaq Cembun terlalu muda—gelar dukun begitu cepat ia sandang. Tak perlu semedi berbulan-bulan dalam gua.

BACA JUGA: Mengusir Sunyi dan Tangisan Si Kecil

Ilmu pengobatan Amaq Cembun super sekali, pasien lekas sembuh dari penyakit. Orang berduyun-duyun datang buat berobat ke rumahnya. Kalau si pasien sekedar kirim pesan, minta  didatangi, tak pernah mangkir.

Meski berumur muda, wajahnya keriput. Tampak tua. Kulitnya kasar-keras seperti tengkorak, kulitnya liat bak kawat-besi. Rokok buatan berkulit jagung (rokok pilitan³) tak bisa lepas dari bibirnya yang hitam-legam.

 “Keturunanmu esok, perempuan,” ujarnya filosofis. Berarti buah perkawinanku dengan si Pia istriku: bayi perempuan, pikirku.

“Lihat saja kelak. Bayimu menjelma gadis berparas cantik,” seru amak Cembun menggelora. “Siapkan saja nama bayi perempuan untuk putrimu. Percayalah,” sambungnya.  

Sedang Papuk Mahenep seorang dukun yang hobi dan faham betul hewan piaraan seperti burung, mimpi melihat rumahku dikerumuni banyak burung. Katanya, sekawanan burung pejantan yang mengerumuni genteng atap rumahku yang miring karena kayu-kayunya sudah lapuk. Dari mana Papuq Enep, begitu kerap ia dipanggil warga—tahu bahan kayu genteng rumahku hampir ambruk. Kayu-kusen peot.

Aku tak habis pikir. Hidup begitu cepat berubah. Jaman maju pesat. Kalau susah punya bayi: pakai bayi tabung. Mau tahu kabar nun jauh di sana, tinggal ketik: mbah google. Lha, sekarang mau punya anak, suami-istri bisa terapi. Semedi. Juga minum ramuan secara teratur. Biasanya, sumber dan bahan ramuan, tidak sulit didapat. Tapi butuh nyali besar. Berani nginap. Menyusuri hutan-hutan tua berhari-hari.


 “Istrimu akan melahirkan bayi laki. Jadi kau punya bidadari cantik” ujarnya suatu ketika, saat mampir di rumah, sepulang dari tetanggaku Burhan. Ini kali pertama ia mampir. Saat datang, dengan wajah sumringah kulihat ia menenteng seekor burung jantan lengkap kurungan. “Burung ini pemberian Burhan, katanya, buat saya. Sebagai balas budi, merasa telah dibantu”. “Bantuan apa?” “Saya buatkan ramuan alami, agar si Burhan punya keturunan.” “Emang bisa?. Yang benar saja?” “Di dunia ini tidak ada yang tak bisa. gampang. Tuhan telah sediakan smua buat kita.”

Aku tak habis pikir. Hidup begitu cepat berubah. Jaman maju pesat. Kalau susah punya bayi: pakai bayi tabung. Mau tahu kabar nun jauh di sana, tinggal ketik: mbah google. Lha, sekarang mau punya anak, suami-istri bisa terapi. Semedi. Juga minum ramuan secara teratur. Biasanya, sumber dan bahan ramuan, tidak sulit didapat. Tapi butuh nyali besar. Berani nginap. Menyusuri hutan-hutan tua berhari-hari.

Hebat memang. Dunia bisa diubah sesuka hati. Lewat cara-cara tak biasa sekalipun.

**

“Entah mengapa dukun-dukun tua di kampung banyak cincong. Harus repot. Mulut ikutan sewot tentang kelamin bayi dalam perut istriku. Untuk apa mereka sibuk-sibuk gelar ritual segala macam siang-malam. Sekedar memastikan jenis kelamin bayi yang jadi pewarisku: laki atau perempuan? Apa mereka adu ilmu. Mana kuat, mana lemah. Terus dapet gelar dukun papan atas.”

 Berkali-kali aku mengatakan ucapan seperti itu kepada istriku. “hmmmm….” Hanya senyum terlukis di wajahnya” 

Sebagai pasangan yang baru menikah, kami tak ingin nunda punya momongan. Aku beda dengan sebagian pasangan suami istri, nunda anak. Tak beranak pinak.

“Biar mereka bilang bayi kita perempuan, laki, emang peduli!. Bapak  mau bayi perempuan atau laki?”

“Mana-mana boleh.”

Sejenak kami membisu.  Hujan turun menyambut tiba-tiba. “Baru kali ini, tak ada mendung. Gerimis. Tiba-tiba hujan,” pikirku.

“Ayo buruan Mas.”

“Mama tak usah turun ambil jemuran. Biar mas saja.”

“Oh ya Mas. Istrimu hampir lupa tak sadar kalau ternyata, ada bayi dalam perutku, anak kita. Nggih Mas.”

Bergegas aku melompat. Kuamankan pakian yang ada di jemuran. Tapi sayang, langkahku kalah cepat dari rintik hujan yang jatuh ke tanah. Pakian lembab, kena hujan. Bisa saja, telat semenit, lacur. Semua jemuran basah kuyup.

Tak lama, jemuran telah hampir usai kupindah ke tempat lebih aman. Lantas, duduk kembali di ruang tamu. Sudah nongol di atas meja, secangkir teh panas. Istriku menyodorkan, “Ini tehnya mas. Lumayan. Biar tubuh”

Oh ya mas. Tadi pertanyaanku belum kau jawab, kata istriku melanjutkan. “Pengen bayi laki atau perempuan?” tanyanya. “Laki atau perempuan sama saja. Kedua-duanya kan sama-sama pemberian dari Tuhan, harus kita syukuri.”

“Kalau dia laki, mudah-mudahan bayi kita mirip bapaknya ya?”

 “Kalau perempuan harapanku juga sebaliknya.  Bayi kita mirip ibunya, pandai, pengertian. Cantik pula.” jawabku tersenyum.

“Ah Mas berlebihan,” ia meledek. “Naaah, ketahuan ni. Ternyata Mas suka dan mau jadi istriku karena aku cantik.”

Aku terdiam mendengar pernyataan istriku. Aku kaget hebat. Rasanya aku seperti sedang diinterogasi petugas di bandara lantaran nerobos masuk. Aku berusaha mencari kata menjawab pernyataan istriku agar tak tersinggung.

“Buuu..kan mama.” “Lalu?”

Lagi-lagi bibirku sepertinya beku. Susah menjawab tanya yang ia sampaikan. Sebegitu cepat wajah berubah. Yang tadinya senyum manis, berubah sendu. Cemberut.

“Kalau mas mencintaiku karena kecantikanku, sedang besok setelah melahirkan aku tak lagi cantik seperti sekarang, mas berpaling muka. Cari perempuan………Begitu?”

Istriku seperti mendesak aku menjawab. “Iya….ya…sabar Ma, akan kujawab.” “Aku mencintaimu sejak kali pertama bertemu. Karena kamu……..?” “Maksud mas, karena…. apa?” tanyanya.

“Dari awal sampai sekarang kemudian aku menjadikanmu pendamping hidupku bukan karena kecantikanmu, tapi kepandaianmu menghargai. Mengerti  aku apa adanya?” Kamu  perempuan luar biasa. Jika kelak wajahmu berubah, dan memang itulah dirimu, cintaku semata untukmu.”

Istriku melongo. Ia seperti termakan rayuanku. Wajahnya seperti ruangan yang tadinya gelap—berubah terang saat cahaya menembus celah jendela.  Jawaban yang ia dengar dari mulutku siang itu mengubah kusut mukanya.

**

Pagi sekali. Istriku merasakan nyeri hebat di perut.

“Ma…Mas. Mungkin sekarang bayi  kita kan keluar,” ujarnya terbata-bata. Kiri kanan tangan memegang pinggul, berusaha menahan perih. Mendengar itu, darahku berdesir naik. Rasanya bagai seekor kuda yang dipecut kusir cidomo. Aku panik. Entah datang dari mana cemas begitu cepat menghantui. Aku menelpon sana-sini tak ada yang angkat. Kukirim pesan singkat. Dibalas pun belum.

Untung saja motor Kaisar, milik pemerintah desa bisa dipakai kapan saja. Dengan cepat kurangkul istriku. Sepuluh menit sudah sampai Puskesmas. Belum satu jam. Bayi yang kunanti keluar dengan selamat. Tepat pukul 11.00. tanggal 26 Mei 2016. Semua keluarga berdatangan. Sang mertua, ayah, apalagi. Semua menyodorkan kertas yang ia potong kecil-kecil sperti irisan bawang merah, bertulis nama-nama untuk kupakai sebagai nama bayi. 

“Tidak. Terima kasih banyak. Nama bayiku, sudah ada. Sudah kupersiapkan sejak awal. Jauh sebelumnya,” jawabku.

“Siapa?” seru mereka serempak penasaran !” Kamar di rumah sakit seketika riuh. Puluhan mata, pengunjung yang ada, memandang ke arah kami.

“Namanya Orliniza.”

“Orliniza??” balas mereka kaget.

Entahlah. Apakah mereka tersinggung atau tidak, aku tak tahu. Apa mereka tidak setuju dengan nama yang sudah kusiapkan? Terserah, aku tak peduli. Kuterima, kuhargai nama yang mereka siapkan sejak awal. Tetapi bagiku, pemberian dari orang tua jauh lebih historis. Punya makna. Aku yakin, ayah dan mertuaku faham mengapa aku tidak manut. Apa mauku kali ini, pasti keduanya mengerti. 

Sesaat handpone di saku celana jeansku bergetar. Mungkin seorang teman telah mengirim pesan singkat kepadaku: “Innalillah wainna ilaihi rojiun 3 X. Telah meninggal Amak Cembun, ayah dari Riddan. Akan dimakamkan nanti sore,” demikian bunyi pesan yang masuk ke HP”.

Mengapa secepat itu keluarga ia tinggalkan. Juga aku. Padahal belum sempat kusampaikan terima kasih padanya, telah meyakinkanku, siapkan nama perempuan untuk bayi yang dilahirkan istriku. “Siapkan saja nama bayi perempuan untuk putrimu. Percayalah,” ucapan  itu membawa ingatanku pada pertemuan dengannya. Tiga hari sebelum ia benar-benar pergi. Saat itu, tak ada isyarat ia akan pergi. 

Betul, anakku perempuan. Tepat seperti yang ia utarakan sewaktu kami bertemu. Selamat jalan amak Cembun!. Cucumu kuberi nama: Orliniza. Ia juga ikut berduka cita.

 

*EL-NIZAM: Penulis lahir di Lombok Barat 05 April 1984. Penulis lepas dan Penikmat Karya Sastra.

 

Lombok Barat, Agustus 2017

 

 

Catatan:

1.          Papuq                 : Sebutan Kakek dan Nenek bagi masyarakat sasak di Lombok

2.          Gegaok               : Istilah yang dipakai untuk menyebut hewan piaraan seperti Ayam yang diberikan kepada seorang bayi/anak melalui perantara kedua orangtuanya. Juga siapa saja

3.          Rokok pilitan       : Rokok buatan yang kulitnya terbuat dari jagung.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post