Bocah Pengamen dan Pengakuan Identitas

 



SempatBaca.com- Belum lama ini. Iya, siang saat itu. Kurang lebih sekitar pukul 14.15, Rabu (24/9), saya mampir di tukang foto copy. Di tempat itu, si tukang foto copy tak sekedar melayani pelanggan untuk ngopy tapi juga jilid dan nerima jasa print. Kurang lebih 15 menit saya duduk, dua bocah yang ngamen di toko sebelah menengok ke arahku. Rupanya ia sadar, sasaran berikutnya, aku. 

Langkah cepatnya ke arah di mana aku duduk, mendahului pikiranku.

Benar dugaanku. Dua bocah kecil dengan gontai ayunkan kedua kaki ke arahku. Si bocah pun berdiri tepat dihadapanku. 

Tak pernah kuminta ia menyanyikan lagu, tapi ia keliatan ngotot mulai nyanyi sembari memainkan gitar dengan jemarinya yang mungil.  Sepintas kulihat, tampaknya ia terbiasa memainkan gitarnya. Ia begitu lihai. Tak kaku sama sekali. 

Stop kataku. Kalau lagu saya request saja ya?.

Ia mengangguk. Juga menggeleng. "Apa bocah itu belum tahu maksudku?," ujarku. 

Kubilang padanya, saya milih lagu untuk kamu nyanyikan, itu maksudnya. Ia pun mengangguk cepat.

Apa judulnya? Ia tanya balik padaku.

Group Band nya Gholiat. Judul tembangnya, "Cinta Monyet". Coba nyanyiin ayo.

Ia bingung. Ia justru menyanyikan nama Gholiat dengan nada sesukanya. Dan menyambungnya berulang-ulang. Sesukanya pula. Bagaimana tak sumbang kudengar suara suara yang keluar dari mulutnya.

"Kamu kan ngamen. Paling gak kamu hafal banyak lagu iya,".

Ia hanya tersenyum. Dan berucap terima kasih, lantas pergi.


Identitas yang melekat dalam diri kita, harus mampu kita buktikan. Setidaknya dengan terus berproses dan belajar, pembuktian seutuhnya dapat kita lakukan


Apa yang menarik dari cerita tadi. Yang pasti, Setiap cerita, kisah, selalu ada saja yang bisa kita jadikan ibrah.

Tentang si bocah, yang tak bisa memenuhi lagu yang saya request, jelas bahwa seseorang yang ngaku sebagai pengamen, mestinya, tidak terlalu kesulitan untuk memenuhi apa mau objek yang ditujunya.

Seorang yang ngaku diri sebagai guru, paling tidak harus membuktikan bahwa ia seorang guru. Kalau bisa ia bisa membuktikannya, maka ia bisa dikatakan profesional. 

Begitu juga, kalau seseorang ngaku jadi: tukang, dosen, penulis, pengacara atau lainnya, ia harus mampu membuktikan dirinya sesuai apa yang melekat pada apa yang diakuinya itu. Sebut saja profesi yang sedang digelutinya.

Memang, tak ada yang betul-betul profesional secara kaffah. Yang paling professional itu adalah baginda nabi. Kalau kelas kita, jauh di bawah nabi. Kita tak hidup di zaman nabi-sebagai penegas bahwa kita ikut para ulama, kiyai dan guru-guru yang diangggap mumpuni di bidang agama.

Lantas bagaimana caranya agar bisa mampu menyatakan diri, membuktikan diri sesuai 'pengakuan' kita bahwa, taruhlah seperti anak kecil yang saya ceritakan: ngaku sebagai pengamen. Atau beragam jenis profesi yang telah kusebut tadi?

Tak lain, caranya adalah terus berproses. Terus belajar. Mau berusaha, mau  mendekatkan diri pada sesuatu yang bisa menunjang aktivitas dan sesuatu yang melekat sebagai identitas yang dikenal sama orang. 

Itu beberapa cara. Mungkin juga cara-cara yang lain banyak. Semoga kita termasuk orang yang terus mau berproses. 

So, perkuat identitas. Terus berproses dan belajar. Identitasmu adalah jati diri yang melakat pada kamu, bukan orang lain. Nah, itu yang perlu kita ingat.


MASYHUR: Penulis adalah Redaktur Pelaksana sempatbaca.com



Post a Comment

Previous Post Next Post